by

Aja Kesusu Fait Accompli

Oleh: Pepih Nugraha

Di simpang lima kota Tasikmalaya saat ini sedang terpasang baliho besar bergambar Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar dengan tajuk “Capres Cawapres 2024”.

Adakah yang salah dengan gambar maupun narasi baliho tersebut? Gambar dua politikus itu mungkin tidak, tetapi “tajuk” itu mungkin yang salah. Tidak benar, karena sampai sekarang belum ada deklarasi resmi berpasangannya Prabowo sebagai capres dan Muhaimin sebagai cawapres.

Tetapi, mengapa poster sebesar itu terpasang di tempat yang mencolok mata? Siapa yang memasang poster itu? Pertanyaan itu mudah dijawab, tetapi lebih dari sekadar jawaban; inilah gambaran bagaimana mesin politik itu berjalan. Salah satunya mesin “fait accompli”.

Arti harafiahnya adalah “telah dilakukan” atau sesuatu yang sudah tercapai dan tidak dapat diubah. “Fait accompli” sekarang tidak melulu digunakan sebagai mesin politik bagi para politikus, bahkan seorang “petualang politik” pun bisa menggunakan cara ini sebagai “bola kristal” yang biasa digunakan dukun peramal secara efektif, apalagi di dalamnya memang bermuatan politik.

Contoh seorang mantan pejabat tersangka kasus korupsi dengan entengnya mendahului putusan MK atas nama “bocoran A1”. Dalam cuitannya di medsos ia mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup dengan komposisi putusan, yakni 6 hakim setuju berbanding 3 hakim menolak.

Ini bukan hanya konyol sebagai “fait accompli”, tetapi lebih bernuansa “insinuatif”, halusinasi atas sesuatu yang belum terjadi, tetapi sudah pasti terjadi. Nyatanya, pernyataan mantan pejabat yang terlilit kasus korupsi itu meleset jauh. Sebagai “dukun” dengan embel-embel profesor, ia tidak perlu meminta maaf atas kehebohan yang telah dibuatnya sebab itulah cara yang dia lakukan atas nama “pansos”, berharap namanya tidak lenyap dari peredaran.

Sebagai “dukun”, kembali dengan entengnya ia menyebut bahwa bakal calon presiden Anies Baswedan akan dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sungguh celaka kalau ternyata ada politikus atau siapapun yang menanggapi serius ucapan ahli nujum itu, sekeren apapun posisi dan kedudukannya. Orang ini tidak berkaca pada ramalannya yang meleset jauh tentang putusan MK, terhanyut dalam irama gendang yang ditabuhnya tanpa berpikir jauh.

Kembali pada poster besar bergambar “Prabowo-Muhaimin”, ini jelas “fait accompli” yang telanjang. Mesin politik “Cak Imin” -sebutan populer Muhaimin Iskandar- telah bekerja, meski belum tentu efektif. Bagi orang-orang yang melek politik, tentu ada pertanyaan mendasar: benarkah pasangan ini sudah resmi dideklarasikan? Bagi yang belum melek politik, hanya ada dua pilihan; mengiyakan atau masa bodoh saja.

Cak Imin sadar, sebagai ketua umum PKB, ia harus “gercep” memanfaatkan setiap momentum yang berkelindan. Selain ada kewajiban menaikkan elektabilitas partainya dengan memanfaatkan “coat-tail effect”, ia juga tengah memagari dirinya agar jangan cawapres lain nyelonong begitu saja dengan anggapan, PKB-lah kamerad dekat Gerindra yang telah mengusing Prabowo sebagai calon Presiden sejak awal. Cak Imin, selain ada “amanat” dari para ulama, juga amanat PKB bahwa dialah calon presiden.

Tetapi, sekarang Cak Imin sudah rela menurunkan derajatnya dengan “hanya” menjadi cawapres bagi Prabowo. Dengan demikian pesan baliho itu jelas, yaitu tidak ada lagi “matahari kembar” di tubuh Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Jika pesan ini yang disasar, itu benar. Tetapi jika “fait accompli” bahwa pasangan Prabowo-Muahaimn telah dideklarasikan, belum tentu benar.

Persoalan penentuan cawapres saat ini sedemikian dinamis. Sekarang ini baru ada tiga kandidat capres yang telah mengkristal, yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Tidak adan satupun dari ketiga bakal capres itu yang sudah menentukan cawapresnya. Ganjar yang disorong PDIP relatif “nyantai”, tetapi tidak untuk cawapres bagi Anies dan Prabowo. Masih tarik ulur.

Di KKIR, Prabowo belum sudi menetapkan Cak Imin sebagai cawapresnya. Kalau sudi, tentu sudah dilakukannya dari dulu-dulu, tidak menggantung harapan Cak Imin sedemikian lama hingga tersiksa. Di Koalisi Perubahan di mana Nasdem berkongsi dengan PKS dan Demokrat, Surya Paloh sebagai “Kingmaker” belum mau melirik Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres bagi Anies. Kalau sudi, pasti sudah dilakukan sejak dulu-dulu.

Ketidakpastian ini membuat AHY bermanuver. Salah satunya adalah pertemuannya dengan Puan Maharani. Tidak keliru, sebab selain elektabilitas AHY merayap naik, juga memiliki mesin partai (Demokrat) militan di lapangan. Bandingkan dengan Anies yang sesungguhnya “tuna partai”, capres yang hanya bergantung pada “belas kasih” partai pengusungnya, dalam hal ini Nasdem.

Sudah barang tentu meski narasi yang keluar “Anies bebas menentukan cawapresnya”, tetapi kenyataannya Surya Paloh-lah yang punya kuasa menentukannya, bukan Anies. Anies bukanlah petugas partai, melainkan sekadar pajangan partai saja.

Apakah sudah terjalin pertemuan antara Surya Paloh dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai “gimmick politik”, itupun belum ada, bukan? Maka, ditunjuknya AHY sebagai cawapres bagi Anies, masih jauh panggang dari api.

Pun saat Prabowo masih menggantung harapan Cak Imin dan masih pilih-pilih pendampingnya, wajar pula kalau ketua umum PKB itu bermanuver dengan caranya sendiri; “fait accompli”.

(Sumber: Facebook Pepih Nugraha)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed