by

Merendah

Oleh : Agung Wibawanto

Satu berita yang tengah viral minggu ini adalah tentang Gibran. Mas Wali yang anak Presiden Jokowi ini semakin ‘mengembangkan sayap’ dalam arti sesungguhnya. Tidak seperti tokoh yang ingin mengepakkan sayap tapi hanya bisa mengepakkan tanpa mampu terbang kemana-mana. Ini soal kompetensi dan juga karakter.

Selain melakukan kerja nyata menata kota Solo, Gibran juga merupakan ‘kader’ yang mau patuh kepada partai pengusungnya (PDIP). Selain itu dia juga memiliki otak dan hati yang pandai ‘merangkul’ siapa saja bahkan musuhnya dalam tanda petik. Tidak banyak yang bisa bersikap seperti Gibran yang mau mendatangi, mengakui dan merendahkan hatinya.

Kalau hanya sekadar safari politik, banyak tokoh yang sering bahkan hobi datang ke sana-sini, tapi tidak mendapatkan apa-apa, terutama simpati dari masyarakat. Dengar apa yang dikatakan Gibran paska bertemu dengan RG? “Baru saja saya bertemu dengan salah satu idola saya,” tulis Gibran di medsosnya. Kaget? Jangan.

Orang yang sudah mengenal, Jokowi dan keluarganya, pasti sudah tidak gumunan lagi. Begitulah bapak-anak, dan semua anggota keluarganya, suka merendah. Tapi bagi yang belum tahu ya pasti merasa aneh. RG sering menyentil kebijakan pemerintah bahkan kerap menyindir dan menghina Jokowi. Gibran pun tidak luput pernah dihinanya sebagai ‘otak kosong’.

Marah kah Jokowi dan Gibran kepada RG? Tidak. Itu yang bikin aneh bin gregetan. Kok bisa? Ya bisa. Sebenarnya, Gibran tengah menunjukkan atau pun bahkan memberi pembelajaran kepada masyarakat, apa dan bagaimana itu nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake. Hal ini juga pernah dicontohkan oleh bapaknya Gibran sendiri kala menaklukan Prabowo.

Siapa yang tidak kenal Prabowo sebagai rival Jokowi di dua kontestasi pilpres? Dia lugas, keras menjadi pimpinan oposisi kala itu. Beberapa kali menyerang hingga pribadi Jokowi. Tapi kini Prabowo menjadi salah satu orang yang dianggap setia kepada Jokowi. Kok bisa? Inilah ilmu merendah dan menjadi kosong.

Merendah itu berarti mengalah. Namun mengalah bukan berarti kalah. Karena mengalah, bahkan Gibran siap untuk mendatangi lawannya (di mana-mana orang yang mendatangi berarti inferior, dan sebaliknya yang didatangi adalah superior). Gibran pun bersedia memuji RG sebagai tokoh idolanya. Posisinya sudah 2-0, meski Gibran tidak bawa pasukan grudukan.

Di mata masyarakat, RG sudah kalah telak, tapi tanpo ngasorake, tidak membuat malu RG. Atau RG tidak merasa dipermalukan untuk itu dia tidak marah, padahal sudah kalah. Inilah aji dari ilmu merendah. Seolah kita menyerahkan kepala kita untuk diinjak ataupun dipenggal, membuat lawan tidak merasa terancam dan bahkan bisa lengah untuk balik dikuasai.

Berapa banyak di antara kita yang bersedia merendah kepada lawannya? Alih-alih merendah, bahkan sudah dipisah pun masih saja terus dilanjutkan. Kalau lawan belum kalah minta maaf, atau belum mendapat malu, maka dirinya belum puas dan terus menyerang. Apa hasilnya? Rasa puas? Berapa lama? Setelahnya akan menjadi beban yang harus dipikul dalam sisa hidupnya.

Mengalah bukan kalah. Menyerang tanpa terlihat menyerang, apalagi dengan kekerasan (lisan/tulisan). Taklukan dan pikat lawan dengan kerendahan hatimu (rogoh ati). Tabik.

Sumber : Status Facebook Agung Wibawanto

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed