Oleh: Pepih Nugraha
Kadang, gertak itu diperlukan dalam berpolitik. Entah itu yang disebut “gertak sambal” alias gertak yang hanya untuk menakut-nakuti liyan atau gertak sungguhan dengan konsekuensi yang layak dipertimbangkan pihak yang terkena gertak. Sebab, kalau tuntutan tidak dipenuhi, maka bangunan rencana yang sudah tersusun rapi akan berakhir berantakan.
Dalam konteks inilah nyali Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar -biasa disapa Cak Imin- sungguh luar biasa besar. Tidak tanggung-tanggung, Cak Imin mengancam mundur dari koalisi Gerindra-PKB, sampai “desperado” sekalipun.
Ihwal “ngambek”-nya Cak Imin bermula dari adanya kabar “perjodohan” antara Prabowo Subianto dengan Ganjar Pranowo, dua politikus yang digadang-gadang sebagai capres potensial karena pemilik elektabilitas tertinggi.
Yang lebih memanaskan kuping Cak Imin, beredar sas-sasus susulan bahwa Presiden Joko Widodo merestui “perjodohan” ini. Sinyalemen ini dikuatkan dengan pernyataan Jokowi di HUT Perindo beberapa waktu yang sempat berucap, “sekarang giliran Pak Prabowo” dalam konteks Presiden RI setelah dirinya tidak menjabat lagi.
Jokowi perlu “pindah kelas” menjadi “kingmaker” untuk mendorong capres-cawapres yang menjamin keberlangsungan program-program yang masih dijalankan namun belum tuntas seperti pemindahan ibukota negara dan proyek infrastruktur prestisius lainnya. Itu sebagai contoh kecil saja.
Dengan “perjodohan” Prabowo-Ganjar ini, sesuai survei yang sudah beredar, akan memenangkan kontestasi pilpres dengan angka di atas 60 persen, jauh mengungguli lawan-lawannya, Anies Baswedan sekalipun dengan komposisi cawapres siapa saja.
Hasil survei IndoStrategi menunjukkan, pasangan Prabowo-Ganjar meraup 60 persen suara. Dengan besaran angka ini, niscaya pilpres Hanya berjalan satu putaran karena telah memenuhi rumus “50 persen plus 1”.
Survei IndoStrategi itu dilangsungkan periode 27 Oktober – 5 November 2022 dengan jumlah responden 1.230 orang berusia 17 tahun ke atas. Responden tersebar di 34 provinsi Indonesia di mana margin “of error” berada di 2,83 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Dalam empat simulasi pasangan capres dan cawapres yang diambil, Prabowo-Ganjar paling tinggi yakni 60,3 persen. Di bawahnya pasangan Anies Baswedan-Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan 29,6 persen di mana sisanya tidak menjawab.
Dengan “perjodohan” yang diperkuat hasil survei tersebut, nama Cak Imin absen alias terlempar dalam pusaran penjaringan nama capres potensial melalui metode survei itu.
Senyampang itu keluarlah gertak bahwa dirinya akan membatalkan koalisi Gerindra dan PKB yang telah dideklarasikan. Cak Imin akan membangun poros tandingan untuk mengalahkan Prabowo-Ganjar jika sas-sus tentang konfigurasi tersebut menjadi kenyataan.
“Saya bikin komposisi lain,” kata Cak Imin, saat diwawancarai di Kantor DPP PKB, Jakarta, Senin 21 November 2022 sebagaimana tersiar di media massa.
Namanya gertak, Cak Imin merasa belum perlu mengungkap dengan partai mana koalisi atau poros tandingan itu nantinya akan dibangun, ia masih merahasiakannya.
Sesungguhnya dengan polarisasi dan kerumunan partai koalisi saat ini sudah nampak dipermukaan, tidak perlu ada rahasia-rahasiaan.
PDIP, misalnya, bisa jalan sendiri tanpa berkoalisi. Di poros lain ada Koalisi Indonesia Baru (KIB) yakni perkongsian PPP, Golkar dan PAN. Di poros lain yang selama ini disebut-sebut yaitu Nasdem, Demokrat dan PKS yang mengelus-elus Anies Baswedan.
Memang menarik juga jika ternyata gertak Cak Imin merupakan gertak sungguhan, bukan gertak sambal. Tentu Prabowo dengan Gerindra yang dibangunnya akan berantakan dalam mengusung dirinya. Elektabilitas tinggi bisa dimentahkan oleh Cak Imin. Luar biasa!
Adalah dua politikus Gerindra yang memunculkan wacana “perjodohan” Prabowo-Ganjar yang menjadi perbincangan publik selama sepekan terakhir. “Bocoran” yang sesungguhnya sudah menjadi rahasia umum bahwa Jokowi ingin Prabowo dipasangkan dengan Ganjar di Pilpres 2024.
Tentu saja jika “perjodohan” ini mendapat restu semesta, maka Gerindra bakal “head to head” dengan PDIP secara diametral, sebab sudah pasti PDIP bakal memajukan Puan Maharani sebagai “putri mahkota”. Di poros ketiga ada KIB. Sedang Cak Imin bisa membawa PKB ke PDIP atau KIB.
Tinggallah Gerindra yang wajib “membajak” salah satu dari partai agar memenuhi 20 persen presidential threshold, pilihan bisa jatuh ke partai mana saja, secara jika Ganjar yang diajak serta tidak bisa mewakili suara PDIP.
Bukti lain menguatnya “perjodohan” Prabowo-Ganjar adalah pertemuan Prabowo dengan relawan Jokowi yang diwakili oleh Ketum Projo Arie Budi di Kertanegara di saat Cak Imin belum berhasrat menurunkan ambisinya sebagai cawapres dari capres yang selama ini sengaja dibiarkan melekat sebagai instrumen posisi tawar.
Alhasil, sampai saat ini masih terdapat dua capres dalam satu perahu koalisi, yaitu Prabowo dan Muhaimin Iskandar. Sesungguhnya ini lucu.
Serba dilematis bagi Prabowo, meminta Cak Imin menurunkan ambisinya menjadi sekadar cawapres, berarti pasangan Prabow-Cak Imin sudah siap dideklarasikan di saat mantan Danjen Kopassus itu masih bisa memilih “jodoh” lain yang lebih seksi.
Dari “sekadar” Cak Imin, tentu saja.
(Sumber: Facebook Pepih Nugraha)
Comment