by

Dosa Kolektif Kita Sebagai Sebuah Bangsa

Oleh : Saiful Huda Ems

Entah kita sadari atau tidak, keterpecahan dari bangsa ini sesungguhnya tidak hanya berawal dari kerasnya hati dan bebalnya pikiran Kaum Kadrun saja, melainkan juga karena malasnya kita untuk melandaikan hati sedikit saja dalam menyikapi kekerasan hati dan kebebalan Kaum Kadrun. Kadrun disini bukan berarti orang keturunan Arab, melainkan sekelompok orang yang selalu merasa benar, merasa paling islami dan selalu merasa berhak melabeli orang atau kelompok lain itu sesat, kafir dan pasti masuk neraka.

Kadrun juga bermakna suatu pemikiran yang menganggap semua tindakan pemerintah itu salah, anti islam, gemar mengkriminalisasi ulama, budak asing dan aseng, serta berhaluan Komunis.Kenapa Kadrun tak berarti orang Keturunan Arab? Karena nyatanya meski Kadrun banyak didukung dan dikomandani orang-orang keturunan Arab, tapi fakta menunjukkan bahwa banyak orang keturunan Arab juga yang tidak sepakat dengan pemikiran dan tindakan kelompok Kadrun, bahkan sebagian dari mereka justru aktif mengkritisi pemikiran dan tindakan kelompok Kadrun, dan malahan ada juga dari mereka yang menjadi korban persekusi kelompok Kadrun.

Masih ingat bukan, seorang habib keturunan Arab bersama keluarganya di Solo yang menjadi korban intimidasi dan persekusi kelompok Kadrun karena Sang Habib dianggapnya pengikut aliran Syiah? Padahal Syiah juga Islam.Pemikiran Kadrun ini terus berkembang biak di negeri ini justru karena kita terlalu sering memprovokasinya, baik melalui ejekan politik (political bullying), ataupun melalui berbagai kekerasan verbal lainnya seperti seringnya kita yang terlalu membesar-besarkan pernyataan Kadrun yang sebenarnya kadang tidak serius (humor), namun kita anggap sebagai sesuatu yang serius hingga harus kita sikapi dengan berbagai pernyataan-pernyataan keras.

Jika keadaan sudah seperti ini, maka kita sebenarnya sudah 11, 12 dengan prilaku mereka, alias sama saja tiada bedanya. Provokasi dilawan dengan provokasi, ya akibatnya Kadrun semakin menjadi-jadi.Kadang kita ini tidak mau terlalu capek untuk meneliti terlebih dahulu kenapa mereka jadi Kadrun dan selalu gemar bicara kasar dan provokatif. Padahal sesungguhnya tidak semua Kadrun itu berjiwa jahat seperti para dedengkot mereka yang gemar mempolitisasi agama untuk uang dan kekuasaan, melainkan ada juga Kadrun itu yang sesungguhnya karena berangkat dari kepribadian yang polos dan lugu, minim pengetahuan dan pengalaman, hidupnya miskin dan sengsara, mendapatkan akses informasi yang sangat minim namun terus menerus tanpa sadar selalu disuguhi berita-berita hoax yang sangat susah dilacak validitas beritanya untuk orang-orang awam seperti mereka.

Nah, bisa jadi karena jiwa patriotik mereka itu sangat militan, juga komitmen keagamaannya sangat kuat, mereka lalu terprovokasi hingga menjadi anti pemerintah dan anti terhadap kita yang selalu mendukung pemerintah. Inilah bahanya kesenjangan moral dan intelektual itu.Indonesia ini masyarakatnya komunal dan religius, atau sering berkelompok (berteman, bertetangga dan berorganisasi) serta sangat mencintai agamanya, meskipun banyak juga diantara mereka yang gemar maksiat.

Dan karena Indonesia didominasi oleh penduduknya yang Muslim, maka karakter bangsa ini banyak yang dibentuk oleh para pemimpin agamanya. Kalau dalam Islam, Ulama itu pewaris para Nabi, olehnya ucapan dan prilaku ulamanya akan diikuti oleh para jamaahnya. Celakanya, banyak orang yang tidak jelas keilmuan dan moralitasnya menyamun menjadi ulama dadakan atau jadi-jadian, maka banyak orang yang tidak kritis mudah tertipu dan menjadi pengikut-pengikutnya yang setia. Melihat fenomena prilaku keagamaan yang seperti ini kita harus bisa bersikap dewasa menghadapinya, karena untuk bisa menjadi kritis itu juga tidak mudah bukan?

Orang-orang muslim (maupun yang non muslim) yang kaya, mapan dan berpendidikan tentu akan lebih banyak memiliki akses informasi, sedangkan orang miskin dan tak berpendidikan akan lebih sedikit memiliki akses informasi. Namun demikian kadang juga terjadi keadaan yang sangat ironis, orang-orang (muslim khususnya) kaya dan mapan serta berpendidikan kebanyakan belajar untuk disiplin ilmu terapan (Applied Science) atau penerapan dari teori dan prediksi kedalam problem-problem partikal seperti teknologi atau teknik (biasanya dalam penelitian dan pengembangan), maka jadilah mereka ahli-ahli di bidang science dan teknologi, namun sayangnya mereka kebanyakan awam tentang pengetahuan agama.

Akibatnya, begitu mereka mengenal ilmu agama sedikit saja, mereka gampang terkesima hingga mabuk agama. Sedangkan kaum muslimin yang miskin di negeri ini, kebanyakan hanya bisa mencicipi dunia pendidikan hanya sebatas sampai di Pondok Pesantren saja, yang tidak banyak belajar ilmu sosial apalagi ilmu pengetahuan terapan atau teknologi. Kesenjangan antara pengetahuan umum dan agama dari kedua kelompok status sosial di dalam masyarakat kita inilah, yang rupanya memperparah kesenjangan cara berpikir mengenai keagamaan, kenegaraan dan kebangsaan kita.

Kelompok yang satu selalu mendasarkan analisa sosialnya pada teori-teori kenegaraan (politik dan hukum), sedangkan kelompok yang satunya lagi selalu mendasarkan analisa sosialnya dari pemahamannya terhadap ajaran-ajaran agamanya saja khususnya (Ilmu Fiqh). Maka yang kemudian terjadi adalah benturan !. Misalnya: satu kelompok setuju dengan aturan Pemerintah tentang larangan mudik lebaran karena untuk menghindari penyebaran Covid 19, namun kelompok satunya lagi yang mendasarkan diri pada Ilmu Fiqh tidak setuju terhadap aturan larangan mudik karena bagi mereka silaturrahmi pada orang tua dan sanak keluarga di saat Idul Fitri merupakan perbuatan yang sangat mulia.

Olehnya bagi kelompok kedua ini, aturan pelarangan mudik lebaran merupakan bentuk kebijakan pemerintah yang tidak menghormati keyakinan agamanya. Rumit sekali bukan?Padahal kalau mau dibedah Ilmu Fiqh itu sesungguhnya tidak sekaku itu, seperti apa yang tertera dalam kaidah ushul Fiqh, “Dar’ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih”, bahwa menghindari resiko atau keburukan itu haruslah lebih diutamakan daripada meraih kebaikan. Namun sayangnya karena kelompok Kadrun itu kebanyakan salah memilih ustadz atau ulama, maka yang terjadi adalah taqlid buta.

Sang Ustadz bicara keputusan pemerintah melarang mudik lebaran itu merupakan tindakan yang tidak menghormati tradisi kaum muslimin, mereka langsung percayai saja. Nah, sayangnya kita seringkali tidak pula mau bersabar untuk memberikan penjelasan yang baik dan mudah diterimah oleh keterbatasan pikiran mereka, lalu kita mencomoohnya hingga hati mereka semakin mengeras dan menjadi antipati terhadap pemerintah dan kita.

Saat Ustadz Maher Thuwailibi marah-marah dan terus memprovakasi ummat Islam untuk melawan pemerintah, kita tidak pernah mau sedikit saja menyelami apa latar belakangnya hingga ia sekeras itu? Lalu ketika kita tau di suatu hari ia memperkenalkan barang dagangannya yakni parfum yang biasanya ia jual Rp.150.000 dan ia naikkan jadi Rp. 300.000 karena ia sedang hidup sulit karena susah pendapatan di musim pandemi, kita tidak malah iba, berbelas kasihan padanya, namun malah membullynya habis-habisan sebagai Sang Penjual Parfum. Tragisnya ketika Ustadz Maher ditangkap Polisi karena provokasi lalu mati karena sakit, kita tidak mendoakannya yang baik-baik malah terus kita membullynya.

Pun demikian dengan Ustadz Tengku Zulkarnain, selama di akhir sisa hidupnya penuh dengan fitnah dan hasutan agar ummat Islam semakin membenci pemerintah dan membenci para pendukungnya, lalu beliau meninggal dunia, kita masih tega-teganya mentertawakan kematiannya dengan berbagai cibiran dan caci makian. Apakah kita sudah sekejam itu sebagai manusia?.Saudara-saudara sebangsaku, melawan para provokator kebencian umat beragama memang suatu tindakan yang 100 % baik dan benar. Selalu berusaha membungkam dan menghadang gerakan kaum Kadrun Radikalis Takfiri memang merupakan tindakan yang tepat dan terpuji.

Bersikap tegas untuk menolak dan mengcounter opini kelompok Kadrun yang ingin merubah dasar dan falsafah negara, Pancasila memang bentuk tindakan yang mencerminkan sikap patriot bangsa. Tetapi ada satu hal yang perlu kita catat: menghadapi kelompok Kadrun yang bodoh dan terkapar dalam kelumpuhan pengetahuan, apalagi untuk mereka yang hidup susah dalam kemiskinan dengan cara mencemoohnya saja tanpa gerakan pencerahan itu juga merupakan kejahatan dalam pandangan Tuhan !. Ingatlah, dalam kebodohan berjamaah sedikit banyak terdapat ikut andil kita yang tidak benar-benar serius untuk sabar dalam memberikan pemahaman.

Maka dosa individual ataupun dosa kelompok akan dapat bergeser menjadi dosa kolektif yang melibatkan kita, jika kita sebagai suatu bangsa tidak memiliki rasa simpati dan empati untuk bersama-sama menyadarkannya. Nafsu jahat bisa mengalahkan orang-orang yang berpengetahuan, namun nafsu jahat tak kan pernah bisa mengalahkan orang-orang beradab yang berdiri kokoh dalam kesadaran. Kita bisa mentertawakan orang-orang yang berada dalam kegelapan, namun kita tak akan pernah bisa mengalahkan orang-orang yang akhirnya dapat keluar dari kegelapan atas perkenan Tuhan. Maka jadilah anak-anak bangsa yang rendah hati, dan selalu berorientasi pada kemenangan perang melawan kekejian diri sendiri. Ada waktunya kita gigih melawan arogansi Kelompok Kadrun dengan perlawanan opini, ada waktunya pula kita berdiam diri dan sibuk mencari kesalahan diri sendiri.

Begitulah kita seharusnya sebagai manusia yang ingin diberkati oleh Tuhan. Semoga kita segera kembali menjadi bangsa yang bersatu padu, dan bersama-sama aktif mengupayakan terwujudnya perdamaian dan kedamaian, hingga kita bisa menjadi bangsa maju, kuat, makmur dan beradab yang diberkati Tuhan…(SHE).

Sumber : Status Facebook Saiful Huda Ems

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed