Oleh : Gunadi
Sekian tahun lampau, di awal 2000an, saya mengikuti sebuah acara seminar di kompleks kantor PBNU. Saya lupa acara apa, yang jelas seingat saya sebuah acara peluncuran buku.
Acara mulai setelah ashar (pkl.15.30) dan berlangsung hingga menjelang magrib. Yang hadir banyak sekali, karena acaranya memang terbuka untuk umum. Di antara yang hadir ada seorang Frater, yang telah kami kenal sejak di Yogya.
Setelah acara selesai, kami (saya lupa siapa saja ‘kami’ waktu itu) hendak ke Ciganjur. Ya ke siapa lagi kalau bukan ke rumah Gus Dur. Siang sebelum acara kami telah menemui beliau, dan beliau bilang nanti malam saja ke rumah.
Seusai acara itu dan sehabis magrib, kami pun memantapkan rencana untuk ke rumah GD. Besar kemungkinan sekalian menginap, karena di tengah macet Jakatta, kami baru akan sampai sana pukul 21.00an, jadi ya tentu akan sekalian menginap. Lagi pula kalo mo balik memang mo ke mana? Hotel? Kayak punya duit aja.
Mendengar rencana kami itu, si Frater bilang apa dia bisa ikut? Dia bilang, dia sangat ingin bertamu ke rumah GD dan ngobrol lebih dekat. Kami sempat bimbang, menjawb ‘ya’, jangan2 GD tidak berkenan, tapi untuk menolak rasanya kami juga tak punya wewenang.
Akhirnya mengingat pribadi Gus Dur yang terbuka di satu pihak, dan di pihak lain, toh juga tidak ada hal rahasia dan penting yang akan kami bicarakan, permintaannya kami iyakan saja.
Menjelang pkl 21.00 kami tiba di rumah Ciganjur. Tapi ternyata Gus Dur malah belum pulang. Jadinya kami ngobrol-ngobrol antara kami saja. Larut malam Gus Dur baru pulang. Kami hanya sempat ngobrol sebentar, dan kemudian istirahat tidur.
Pada pagi hari, kami diajak sarapan bersama. Di meja makan sudah menunggu GD dan beberapa anggota keluarga yang lain, tapi yang saya ingat sekali hanyalah Bu Shinta. Sebelum makan mulai saya memberitahu GD kalau di antara kami juga ada seorg Frater. GD bilang, kok baru ngasih tahu sekarang.
Setelah kami sudah duduk semua, GD pun membuka kira2 begini: “Saudara sekalian, mari kita sarapan pgi. Dan karena di antara kita ada seorang frater, maka saya dengan penuh hormat, mohon Frater untuk mimpin doa. Selain itu terima kasih frater sudi berkunjung ke rumah kami. Maaf saya baru tau, karena org2 ini baru kasih tau”.
Si Frater tentu saja kaget dengan permintaan itu. Ia mencoba mengelak dan menolak. Ia bilang ia justru ke rumah ini untuk memperoleh doa dan berkah yang punya rumah. Untuk menguatkan penolakannya, ia tambahkan bahwa ia di sini hanya tamu, tamu yang tak diundang dan Katolik sendirian lagi.
Gus Dur menjawab: “Justru saya mendapatkan kehormatan karena didatangi dan akan lebih terhormat jika Anda bersedia memimpin doa untuk kami sebelum sarapan ini.”
Si Frater tidak berkutik. Ia akhirnya, dengan wajah merah dan suara agak gemetar, lalu memimpin doa. Doa khas Katolik, berbahasa Indonesia, isinya verbal dan konstektual, tetapi sekaligus terasa akrab dengan Tuhan.
Dmkianlah, kmi semua sarapan dengan nikmat, dan seusai makan, kami sama2 kenyang.
Dan hampir 20 tahunan telah berlalu. Gus Dur sekeluarga tetap muslim. Kami semua juga tetap muslim. Sementara si frater, meski kabarnya sudah tidak jadi frater, tetap Katolik.
Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Teringat kata2 Gus Dur : “Agama itu jangan jauh dari kemanusiaan”
Sumber : Status Facebook Gunadi
Comment