Ia tampaknya tak seberuntung saya. Ia sama sekali tak tahu tentang kisah perang Bharatayudha. Walau tak begitu mendalam, setidaknya ketika belajar di sekolah dulu (SMP), guru sejarah saya pernah mengisahkan tentang Sengkuni, Dursasana, Setyaki, Kreshna, Bima, Yudhistira, “si ganteng” Arjuna dan “si kembar” Nakula-Sadewa. Mereka inilah yang menjadi tokoh utama dalam keluarga yang “berperang”, keluarga Pandawa dan Kurawa.
“Mengapa kami tak belajar tentang ini ?”.
“Tak tahu ayahmu ini, nak. Mungkin karena kisah ini merupakan kisah atau epos yang berbasis teologi-Hindu, maka kalian dianggap tak perlu mengetahuinya. Ini dugaan ayah saja. Sehingga, ayah tak sanggup menceritakan kisahnya satu demi satu. Panjang nian. Cukup saja kamu tonton di ANTV, itu pun kalau ada !”, jawab saya.
“Ceritakan saja tentang Sengkuni. Siapa dia ? Mengapa sering disebut-sebut. Pasti tokoh ini bukan tokoh yang bijak lagi bestari”, tanya sulung kembali.
Betul, nak. Sengkuni yang patih itu digambarkan sebagai orang yang licin. Pendengki. Sebenarnya ia sudah tua. Harusnya lebih bijak. Tapi, tidak. Patih sengkuni ini menjadi salah seorang yang memicu konflik antara keluarga Pandawa dan Kurawa. Walau masih satu keturunan, karena kekuasaan, diantara dua keluarga seketurunan ini, dikisahkan berperang berkuah darah. Ya … perang Bharatayudha tadi. Patih Sengkuni masuk dalam bagian keluarga Kurawa. Menjadi penasehat. Harusnya sebagai seorang penasehat, apatah lagi sudah tua, Sengkuni harusnya memberikan nasehat untuk menyerukan persatuan di antara keluarga Pandawa dan Kurawa. Tapi ia justru menjadi minyak dan api di bagi alang-alang kering. Membakar.
Ayah masih ingat sebuah kisah yang diceritakan oleh guru ayah dulu. Tentang Patih Sengkuni ini. Waktu itu, posisi Kurawa yang dipimpin oleh Dursasana berada dalam posisi yang terjepit. Hampir kalah oleh keluarga Pandawa. Perang Bharatayudha banyak menelan korban di pihak Kurawa. Tokoh-tokoh penting seperti pangeran dan adipati dari keluarga Kurawa banyak yang gugur. Sedangkan dari pihak Pandawa, boleh dikatakan sedikit. Ini membuat Dursasana merasa bingung bercampur dengan rasa dendam-marah bergejolak.
Dalam keadaan seperti ini, Patih Sengkuni memberi nasehat.
“Kita serang pihak Pandawa di malam hari. Kita gempur mereka selagi mereka tertidur. Kerahkan prajurit-prajurit Kurawa. Para Pangeran dan adipati tidak usah berada di depan medan pertempuran. Kalian cukup mengawasinya di belakang !”, kata Sengkuni.
“Paman, bukankah itu perbuatan yang nista. Menggempur para prajurit Pandawa ketika mereka sedang tertidur ?”, tanya Dursasana. Dursasana menganggap ini sebagai tindakan pengecut. Menyerang orang dalam keadaan tak siap. Baginya, ini bukan tindakan seorang ksatria. Hatinya meronta.
“Ini justru menguntungkan kalian. Kalian bisa menghemat tenaga. Tak penting kamu bicara tentang perasaan nista. Dalam pertempuran, tak ada yang namanya nista itu. Jangan bicara tentang budi pekerti. Untuk meraih kemenangan, lakukan saja apa yang mungkin kamu lakukan. Tugas kamu meraih kemenangan, walau dengan membunuh !”, kata Sengkuni sedikit marah.
“Tapi, sejak kita kecil, bukankah kita diajarkan untuk meraih kemenangan dengan cara-cara yang Ksatria”, sanggah Dursasana.
“Ini persoalan hidup mati, buyung. Kamu ingin menang ?. Kamu ingin mengalahkan Pandawa. Diakui memiliki kekuasaan besar ?. Maka lakukan apa yang saya sarankan itu. Jangan bicara ksatria di sini. Licik tak licik, itu hanya persoalan penilaian. Kalau kamu lembek terhadap orang-orang Pandawa, maka kamu akan kalah. Kalau tidak dengan cara seperti ini, kamu tidak akan mampu mengalahkan mereka. Apalagi mengalahkan Bima yang kuat itu !”, kata Patih Sengkuni dengan provokasi.
Dursasana punya dendam tersendiri pada Bima. Mendengar nama Bima, darahnya menggelegak.
“Baik, Paman. Tengah malam nanti, kita serang”, kata Dursasana.
Patih Sengkuni tersenyum. Ia merasa bahagia, strateginya diterima oleh Kurawa, sambil tak lupa mengingatkan kembali nasehat awalnya, “prajurit yang di depan, kalian para pangeran dan adipati, cukup di belakang, mengawasi saja !”.
Singkat cerita, setelah rencana disusun dengan matang, maka penyerangan itu pun dilakukan. Target mereka Cuma satu, membunuh sebanyak mungkin prajurit Pandawa. Perkiraan Sengkuni dan Dursasana tak meleset. Pasukan dari keluarga Pandawa telah tertidur. Kecuali satu, Bima, yang malam itu, entah mengapa begitu resah. Pembantaian pun berlangsung. Prajurit Pandawa yang tidak siap, diserang. Untung Bima yang malam itu belum tidur, masih sanggup melakukan perlawanan, sehingga suara Bima yang keras menggelegar tersebut, membangunkan para kstaria Pandawa. Akhirnya, prajurit Kurawa mulai kewalahan. Mereka kemudian lari.
Paginya, Bima melihat para prajurit banyak mati bergelimpangan. Sebagian besar dari pihak Pandawa. Dari pihak Kurawa, cukup banyak. Umumnya mati di tangan Bima. Dengan perasaan penuh kengerian, Bima mengamati satu demi satu prajurit-prajurit yang mati itu. Tak ada satupun yang berasal dari kalangan pangeran maupun adipati Kurawa. Mereka semuanya adalah prajurit.
Sementara di markas Kurawa, Sengkuni dan Dursasana merasa kecewa. Gundag bercampur kesal. Target mereka tak maksimal. Harusnya mereka mampu membunuh lebih banyak prajurit Pandawa. Terlebih lagi, membunuh Bima dan pangeran-pangeran Pandawa lainnya. Tapi justru dari kalangan prajurit yang banyak mati, termasuk prajurit-prajurit Kurawa yang mati di tangan Bima. Untuk menghibur Dursasana, Sengkuni berujar, “untung kalian Paman sarankan berada di belakang. Bukan di depan medan pertempuran. Kalau kalian yang di depan, tentu banyak pula yang meninggal di tangan Bima dan pangeran-pangeran Pandawa !”.
“Kasihan prajurit kita, paman. Termasuk prajurit-prajurit Pandawa. Mereka yang banyak mati itu, sebenarnya tak tahu nmenahu tentang urusan negara’, kata Dursasana.
“Helllloooowwwww, Dursasana. Jangan cemen. Jangan cengeng. Itulah gunanya rakyat jelata. Mereka adalah pihak yang kita manfaatkan. Itulah gunanya bagi kita !”, kata Sengkuni setengah berteriak.
Demikianlah …. nak.
Itulah Sengkuni. Di setiap zaman, “sengkuni-sengkuni” itu ada.
(Sumber: facebook Muhammad Ilham Fadli)
Comment