2. Mengapa Indonesia dan Turki disebut berawal sama? Karena Indonesia dan Turki sama-sama menjadi korban jatuhnya harga komoditas dunia, yang dimulai pada tahun 2010, hingga puncaknya pada 2012-2013 dengan kejatuhan sekitar 57%, dan kondisi ekonomi Indonesia terdalam terjadi pada 2015. Rinciannya silakan dibaca di Wikipedia berjudul commodity booming, 2000-2010.
Lalu mengapa Indonesia berpisah jalan dengan Turki? Berawal dari kerja cerdas pemerintah SBY, dengan Bappenasnya, yang segera menyikapi kejatuhan itu, di paruh akhir masa jabatan kedua. Apa yang dilakukan? Dikembangkan gagasan dan program MP3EI, 6 koridor ekonomi, dll. Diangkat juga permasalahan rendahnya FDI (foreign direct investment) di Indonesia, terendah di antara negara tetangga, jauh lebih rendah dari FDI Thailand, apalagi dari Singapura.
Selain memetakan potensi ekonomi seluruh daerah di Indonesia, saat itu Tim SBY juga meningkatkan FDI, salah satunya adalah meresmikan kerjasama pertambangan nikel (dan pemberian nilai tambahnya) dengan Cina, di Morowali, Sulawesi. Program itu amat berbeda dengan kerjasama dengan AS pada pertambangan tembaga di Papua yang lebih tepat disebut penyerahan kedaulatan (bukan kerjasama) kepada Freeport. “Kerjasama” itu ditandangani sebulan setelah Soeharto dilantik menjadi presiden untuk pertama kalinya (sebelum akhirnya berkali-kali).
Apa perbedaannya? Kerjasama dengan Cina, disertai dengan rencana pengurangan bertahap ketergantungan terhadap pekerja Cina, dan rencana alih teknologi. Pemerintah Jokowi melanjutkannya dengan penghentian ekspor nikel ke Eropa, yang membuat marah Eropa, sehingga membawanya ke arbitrase internasional, dan mulai Januari 2021, Eropa membawanya ke pengadilan internasional.
3. Berbagai langkah di atas, memberikan dampak kemajuan yang luar biasa. Sebelum membaca artikel pada Desember 2018 di atas, pada 31 Agustus 2018, saya sudah terheran-heran dengan data nilai rupiah di bank-bank Eropa. Saya memeriksa data itu di bank Eropa, setelah seorang dosen Kimia ITB berbagi artikel di grup internal, tentang kebangkrutan ekonomi Indonesia, karena pada saat itu harga dolar AS hampir menembus batas psikologis Rp 15 ribu.
Saya langsung mengecek ke data di bank-bank Eropa. Ternyata, di rentang 20 Oktober 2014 sampai 31 Agustus 2018, harga dolar dalam rupiah meningkat sebanyak 1,21 kali, sedangkan harga dolar dalam Lira Turki naik sebesar 2,96 kali! Hampir 3 kali lipat untuk rentang yang sama!
Pada 2020, kenaikan harga dolar AS dalam rupiah sempat menjadi yang terendah dibanding SELURUH mata uang Eropa dan Asia. Saat itu, kenyataan ini sempat menjadi berita besar di bebagai media dunia.
Saya kira, bukan hanya hal-hal di atas yang menyebabkan, setelah keadaan terendah pada 2015, kita secara perlahan berhasil membalikkan keadaan. Ada komitmen yang terjaga, untuk tidak mentolerir korupsi. KIta sempat pula membaca, ratusan orang ditangkap saat pembongkaran mafia harga menjelang lebaran. Karena itulah, dalam beberapa tahun terakhir, tidak ada kenaikan harga gila-gilaan di bulan puasa dan menjelang lebaran. Ketegasan diberikan pula kepada pemilik HPH, dll.
Terakhir, sejak menjadi salah satu penandatangan program PBB, yaitu Sustainable Development Goals pada September 2015, yang bermotto “NO ONE LEFT BEHIND”, Indonesia menjadi volunteer untuk di-review pencapaiannya oleh international experts pada 2017. Kurang dari seperempat negara penandatangan, yang menjadi volunteers. Pada 2019, Indonesia kembali menjadi volunteers. Kurang dari sepersepuluh negara yang pernah 2 kali. Tahun 2021 ini, kalau tak salah Indonesia akan menjadi negara yang bersedia dinilai lagi. Mungkin baru Indonesia yang akhirnya di-review 3 kali, mumpung ada international experts yang membantu memberikan masukan.
Saya bersyukur atas semua ini. Apakah Anda turut bersyukur?
MAM
—-
(*) Paman Sam mengangkat isu utang Cina ke Srilanka, dengan menyebutnya penjajahan Cina. Padahal ternyata utang Amerika ke Srilanka berlipat kali lebih besar. Utang dari Cina kecil sekali.
Sumber : Muhamad Abdulkadir Martoprawiro
Comment