Oleh : Dimas Budi Prasetyo
(Disclaimer: tulisan cukup panjang ini adalah opini pribadi, tidak bermaksud ‘menyerang’ salah satu atau dua pihak, atau mendukung pihak lain. Mohon pembaca bisa lebih jernih membaca sekaligus bijak menyikapinya. Kalau malas baca, skip saja.)
Beberapa waktu lalu ibu mertua—
kami memanggil beliau Mama—kedatangan tamu, salah seorang sahabatnya. Sahabat Mama itu kemudian bercerita, lebih tepatnya curhat keadaannya saat ini. Sahabat Mama itu, sebut saja Bu Nana.
Di usianya yang menjelang 60 tahun, Bu Nana dan suaminya yang sudah pensiun, masih harus memutar otak membiayai kedua putrinya yang sama-sama kuliah kedokteran. Keduanya memang sama-sama kuliah kedokteran dan alhamdulillah sudah lulus.
Tetapi, keduanya ingin mengambil spesialis. Tentu, uang yang dikeluarkan tidak sedikit. Ratusan juta, hampir mendekati angka milyar. Itu hanya untuk satu orang anak saja. Jika ditotal sejak kuliah S-1, tentu sudah bisa dibayangkan sendiri berapa biayanya.
Apalagi, kedua putri Bu Nana berkuliah di kampus swasta dengan jalur mandiri. Saya sendiri sudah bisa membayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan untuk studi kedokteran kedua putrinya itu.
Sebenarnya kedua putrinya tersebut juga sudah menikah. Tapi Bu Nana dan suami masih harus ‘turun tangan’ membantu biaya untuk mengambil spesialis. Mungkin, karena para suami dari anak-anaknya tersebut sudah berusaha maksimal dan belum cukup untuk membiayai mengambil program spesialis.
Kenapa harus mengambil spesialis? Seperti yang kita tahu bersama, gaji dokter umum saat ini, jika dibandingkan dengan biaya dan usaha mereka ketika kuliah yang sungguh berat, bisa jadi tak sebanding.
Menurut penuturan Bu Nana, gaji salah satu putrinya sebagai dokter umum bahkan ‘hanya’ sekitar 4 juta.
Sebagai sahabat kemudian sama-sama memiliki dua anak perempuan, Bu Nana kemudian melihat kondisi Mama. Di usia yang relatif sama, Mama sudah tak perlu pusing memikirkan biaya putri-putrinya.
Bahkan, justru Mama dan Papa bisa diajak putrinya berkeliling dunia. Selain itu, Mama jika ingin meminta apa saja bisa langsung tunjuk.
Kedua putri Mama, Imee dan adiknya sama-sama berkuliah di bidang sama, Teknik. Si Imee sudah lulus S-3 dan adiknya saat ini sedang menempuh jenjang S-3. Dan alhamdulillah, keduanya sejak berkuliah S-1, selalu mendapat beasiswa.
Dari sini, saya tidak ingin mencela pilihan Bu Nana itu menguliahkan anaknya di kedokteran. Bisa jadi atau mungkin saja, itu juga memang pilihan dari anak-anaknya sendiri.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa jika ada orang tua memiliki rezeki lebih, jurusan kedokteran memang seksi sekali. Siapa yang tidak ingin punya anak seorang dokter? Menantu seorang dokter?
Bahkan Mama sendiri, sebenarnya dulu ingin Imee dan adiknya kuliah kedokteran. Tetapi, Papa lebih condong anak-anaknya kuliah di Teknik. Imee dan adiknya sendiri akhirnya memang cocok dengan Teknik, sesuai anjuran Papa.
Sebagai lulusan Teknik dan lingkungan sekitar saya banyak orang-orang lulusan Teknik, bisa jadi pendapat saya ini akan subyektif sekali. Di sini saya tidak ingin menyenggol bidang kedokteran atau lain, tapi memang peluang di dunia Teknik saat ini luas sekali.
Tahu negara India? Jangan dikira mereka cuma bisa joget-joget saja. India saat ini itu banyak sekali melahirkan lulusan-lulusan Teknik, terutama di bidang IT.
Akibatnya apa? Saat ini, di seluruh belahan dunia akan banyak dijumpai orang-orang India. Karena mereka mengisi sektor-sektor pekerjaan di bidang teknologi. Dan mereka memang jago sekali.
Apakah jurusan lain tidak memiliki peluang sama? Saya kurang paham. Tetapi, sejauh yang saya tahu, bidang teknik memiliki peluang besar. Tidak hanya untuk berkarir di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.
Sebagai contoh, banyak yang saya tahu ketika di Indonesia berkarir atau lulusan di bidang non teknik, semisal bidang hukum dan kesehatan, kemudian saat pindah di Belanda mereka akhirnya ‘banting setir’ ke bidang lain.
Kenapa? Karena jika ingin tetap di bidangnya, mereka harus sekolah lagi di sini, menyesuaikan dengan standar yang ada.
Contohnya bidang kesehatan. Pernah membaca atau mendengar cerita tentang Herdiansyah Reza, youtuber Indonesia di Belanda? Mas Reza dulu ini dulu di Indonesia adalah seorang dokter. Tetapi setelah menikah dengan perempuan Belanda dan pindah ke negara asal istrinya, Mas Reza banting setir menjadi filmmaker dan konten kreator.
Sebelumnya, Mas Reza juga bekerja pekerja di restoran Indonesia. Padahal di Indonesia Mas Reza sudah bisa buka praktik dokter.
Kenapa kemudian di Belanda tidak lanjut praktik? Tentu saja, kebijakan praktik dokter berbeda tiap negara. Standarnya pun banyak yang beda. Salah satu contoh kecilnya adalah soal bahasa. Seorang dokter, tentu wajib bisa bahasa lokal setempat.
Tidak mungkin bukan seorang dokter yang akan melayani pasien di negara asing, hanya bermodal Bahasa Inggris saja? Bagaimana jika pasiennya tidak bisa Bahasa Inggris?
Belanda yang mayoritas warganya bisa Bahasa Inggris saja, syarat untuk jadi dokter di sini wajib bisa Bahasa Belanda. Apalagi negara yang mayoritas warganya tidak bisa Bahasa Inggris.
*
Berbeda dengan keilmuan di bidang teknik. Ilmu teknik bisa diterapkan dimana saja. ‘Bahasa’ teknik pun sifatnya lebih universal. Tidak percaya? Silakan tanya teman-teman yang bekerja di bidang IT.
Pun saya pernah memiliki pengalaman soal itu. Saat bekerja di Kupang, kami pernah kedatangan seorang ahli dari Tiongkok, untuk membereskan masalah yang berkaitan dengan mesin. Orang Tiongkok tersebut, Bahasa Inggrisnya tidak terlalu fasih.
Tetapi saya dan rekan-rekan tetap bisa bekerja sama dengan baik dengannya. Karena tadi itu, ‘bahasa’ yang berkaitan dengan ilmu teknik sifatnya lebih universal.
Di Belanda sendiri, terutama di kota kami tinggal, Eindhoven, banyak sekali kantor-kantor berbasis teknologi. Syarat rekrutmen mereka yang menarik adalah, tidak memperdulikan bisa atau tidak Bahasa Belanda.
Kenapa? Ya, karena memang nggak penting.
Perusahaan tempat saya dan istri bekerja, sama-sama di bidang teknologi. Sama-sama full English. Yang dicari adalah memang kemampuan sesuai di bidang masing-masing, terutama di bidang teknik. Dan, tidak peduli soal bahasa.
Itulah kenapa, lulusan teknik bisa bekerja dimana saja tanpa terkendala, misalnya soal bahasa. Cukup bisa berbahasa Inggris dengan baik, masalah selesai.
*
Saat ditanya kenapa tidak ambil beasiswa untuk program spesialis anaknya, Bu Nana kemudian menjawab,
“Ada salah satu beasiswa dari pemerintah. Tapi syaratnya nanti kalau sudah lulus spesialis harus mau ditempatkan atau mengabdi di seluruh wilayah Indonesia.”
Bu Nana kemudian melanjutkan,
“Mending saya usahakan sendiri uangnya. Daripada nanti anak-anak harus dibuang ke Papua atau daerah terpencil lain misalnya, selama bertahun-tahun. Nggak tega saya.”
Saat bercerita kepada kami, begitu Mama bersyukur akhirnya tidak harus mengalami hal seperti sahabatnya itu.
Putri-putri Mama sudah mapan. Tidak hanya itu, mereka berdua juga sama-sama bisa dibanggakan.
Mendengar itu, saya yang juga ikut nimbrung video call saat Mama bercerita tentang itu, menanggapi dengan bercanda,
“Alhamdulillah dulu manut sarannya Papa, ya, Ma?” ucap saya sambil nyengir.
Mama kemudian tertawa.
“Aku dulu juga masuk Teknik Elektro UB kan karena nurut perintah Bapak, Ma. Ujungnya malah ketemu sama Nila.”
Nila adalah panggilan Imee di rumah. Kenapa panggilannya bisa begitu? Kapan-kapan saya ceritain kalau nggak lupa.
Meskipun pada akhirnya saya sendiri tidak bisa maksimal kuliah di Teknik Elektro—karena memang passion saya bukan di bidang teknik—tidak seperti ibunya anak-anak yang bisa sampai S-3, toh saya bisa mengambil pelajaran penting.
Pertama, betapa nurut dan manut kepada pilihan orang tua itu baik sekali. Berdasarkan pengalaman kami, mengikuti saran orang tua itu seperti kita sudah mengerjakan setengah urusan. Kita hanya perlu menyelesaikan setengahnya lagi.
Kedua, jika kamu laki-laki tetapi nggak pinter, setidaknya minimal kamu harus punya soft skill yang bagus. Apa itu? Yak, betul. Namanya Cocot Kencono.
Sumber : Status facebook Dimas Budi Prasetyo
Comment