by

Naluri Menghabisi yang Berbeda

Oleh: Vika Klaretha Dyahsasanti

Mengapa kita hidup di antara begitu banyak orang yang membenci keberagaman dan memuja keseragaman? Mungkin segalanya berawal dari memory purba yang tertanam di DNA.

Bayangkan kita hidup di era minim informasi, mobilitas masih rendah. Seseorang yang berasal dari tempat berjarak 100 km dari kita bisa jadi akan memiliki bahasa dan busana yang sangat berbeda. Yang berarti juga nilai-nilai dan etiket yang sangat berbeda. Masing-masing akan merasa saling terancam dengan adanya orang asing tersebut. Sesuatu yang asing, dalam memori purba kita, akan membangkitkan insting kita untuk merasa terancam, dan bersiap untuk bertempur.

Tidak bisa dipungkiri, sifat ‘menghabisi yang bukan kelompoknya’ ini bisa jadi mengalur kuatdalam diri manusia. Mengapa, karena homo sapiens menjadi satu-satunya spesies manusia yang masih bertahan. Entah benar atau tidak, bisa jadi di masa lalu homo sapiens adalah spesies yang kejam terhadap spesies manusia lain seperti Neanderthal. Walaupun mungkin juga spesies-spesies lain itu terlalu lemah untuk bertahan hidup.

Jadi mungkin memang manusia punya akar tradisi berdarah dan kejam. Peradaban membuat manusia semakin melunak dan makin jauh dari ‘tradisi berdarah’. Meski mungkin tidak pernah benar-benar mampu menghilangkan sifat ‘menghabisi’ musuh, dimulai dari kecurigaan pada yang berbeda.

Berbeda dengan spesies manusia yang kini hanya tersisa homo sapiens. Kuda, zebra dan keledai merupakan contoh spesies dengan banyak kemiripan dan masih lestari. Entah benar atau tidak, agresivitas kuda mungkin tak seseram manusia. Atau manusia lebih lestari karena kecerdasannya, termasuk kecerdasannya untuk bertarung dengan cara-cara kejam.

Anjing, hewan yang namanya sering menjadi sarana manusia untuk memaki, dikenali sebagai hewan pertama yang mampu bekerja sama dengan manusia. Entah apakah mampu bekerja sama dengan hewan-hewan lain. Dari sana dapat dilihat bahwa anjing di era modern adalah spesies yang paling punya aneka varian yang bisa berbeda satu sama lain. Mungkin anjing hewan yang paling bisa bekerja sama, paling tak punya prasangka buruk pada yang lain. Paling adaptif. Suatu kecerdasan sendiri yang kita manusia mungkin tak terlalu memilikinya.

Ketika kita kita bicara kecerdasan pada makluk hidup, ternyata arti kecerdasan yang terutama adalah kemampuan untuk mempertahankan kehidupan. Jadi bila kita bicara simpanse atau lumba-lumba, kecerdasan bukan berarti kemampuan mereka untuk tampil di sirkus.

Kecerdasan manusia modern tetap bertumpu pada kemampuan bertahan hidup. Meski kini bukan dalam artian bertarung hidup mati berdarah-darah. Kemampuan mencari makan, mencari uang, memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Minimal kebutuhan pokok, yang kini semuanya harus diperoleh dengan uang.

Ketika manusia tak lagi mempertahankan hidupnya dengan bertarung, manusia mulai mengenal kerja sama dengan orang lain. Mengurangi agresivitasnya untuk menghabisi orang lain. Dan ketika manusia semakin mobile dan informatif, manusia makin mengurangi kecurigaannya pada mereka yang berbeda.

Artinya, penampilan dan etnisitas, ataupun budaya semestinya bukan lagi penanda untuk mencurigai orang lain. Kecuali bila masih ada budaya yang menyuburkan tradisi menolak perbedaan dan keberagaman. Budaya purba. Masa kita manusia kalah dengan anjing, kuda, zebra dan keledai dalam kecerdasan?

(Sumber: Facebook Vika Klaretha D)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed