by

Mencermati Kerusuhan di Iran

Oleh: Supriyanto Martosuwito

Kerusuhan yang merebak di berbagai kota di Iran mengirim pesan kepada kita betapa kacaunya negara yang diatur menurut agama, dan betapa terbelakangnya sebuah negara yang dipimpin oleh ulama garis keras dan Islam radikal.

Atas nama agama, kaki tangan rezim bertindak brutal pada warganya. Dan yang memalukan, negara sibuk mengurusi pakaian perempuan, mengatur penutup kepalanya, dan tak ragu menganiaya dan bahkan membunuh perempuan yang melawan.

Kerusuhan di seantero Iran sudah memasuki seminggu, dan sudah meluas ke 80 kota di Iran. Televisi Pemerintah memberitakan puluhan orang tewas, antaranya dari pihak petugas keamanan. Foto foto di twitter memperlihatkan pembakaran fasilitas umum, bentrok warga pendemo dengan aparat dan para perempuan yang ramai ramai membuka jilbabnya dan membakarnya.

Dalam upaya untuk melemahkan protes, pihak berwenang membatasi akses internet di Teheran dan Kurdistan sementara juga memblokir Instagram dan Whatsapp, platform media sosial populer terakhir yang tidak disensor di Iran. Namun di Twitter, berbagai pesan darurat di negara Mullah yang mendzalimi kaum wanitanya ini beredar.

Bermula dari cerita pilu Mahsa Amini, perempuan Kurdi 22 tahun, dia ditangkap polisi moral dan dipukuli, dibawa tempat “pusat bimbingan” dan meninggal di rumah sakit pada hari Jumat (16/09) lalu, setelah sebelumnya dirawat tiga hari dalam keadaan koma.

Amini ditangkap di ibu kota pekan lalu oleh polisi moral Iran, dituduh melanggar hukum yang mewajibkan perempuan untuk menutupi rambut mereka dengan hijab, dan lengan dan kaki mereka dengan pakaian longgar.

Namun saksi mata yang menyaksikan penangkapan menyatakan, Mahsa Amini dipukuli pakai tongkat oleh polisi moral yang menangkapnya.

Polisi Teheran beralasan penangkapan Amini karena “pendidikan” tentang hijab yang wajib dikenakan oleh semua perempuan Iran.

Insiden brutal dan mematikan terhadap terhadap Amini adalah yang terbaru dari serangkaian laporan kebrutalan terhadap perempuan oleh pihak berwenang di Iran dalam beberapa pekan terakhir.

Polisi moral ini dikenal sebagai “Gasht-e Irsyad”, yang berarti patroli bimbingan Islam. Dalam literasi saat ini, didirikan lebih dari 15 tahun yang lalu.

Pemerintah Iran sebelumnya telah menggunakan berbagai jenis patroli untuk menegakkan aturan jilbab wajibnya, baik melalui Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) atau pasukan lain yang kemudian digabung menjadi pasukan penegak hukum.

Polisi moral menggunakan kendaraan Van putih dengan garis-garis hijau dan sering ditempatkan di tempat-tempat di mana pejalan kaki sering atau orang-orang muda berkumpul.

Di Iran, patroli polisi moral biasanya terdiri dari enam personel: empat laki-laki dan dua perempuan. Lokasi patroli adalah tempat-tempat di mana banyak pejalan kaki dan tempat-tempat orang berkumpul.

POTENSI kekerasan penguasa atas nama agama pada rakyatnya juga mulai nampak di sini, di Indonesia, di negeri kita – yang jauh dari jazirah Arab – yaitu di wilayah di mana Perda Syariat Islam diberlakukan. Bukan hanya pemaksaan namun juga skandal, akibat penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi syariah itu.

Jilbabisasi yang dipaksakan oleh penguasa lokal, di berbagai daerah, lewat sekolah dan kampus berpotensi melanggar HAM, melanggar kebebasan berekspresi perempuan Indonesia, di negara berdaulat di abad 21 di bumi Nusantara. Mencerminkan kemunduran berpikir.

Saat negeri Arab Saudi – tempat bermula didakwahkan ajaraan Islam ke seantero dunia – sedang melakukan perubahan untuk menjadi negeri yang ramah pada perempuan, menghormati kesetaraan, negeri negeri di luarnya justru meningkatkan puritanismenya.

Paham salah kaprah yang terpaku di mata penganutnya, “tugas polisi moral melindungi perempuan, karena jika perempuan tidak berpakaian secara pantas, laki-laki bisa berulah dan mencelakai mereka,” kata seorang di antaranya kepada BBC.

Negeri Iran, sebelum berubah menjadi Republik Islam pada 1979, adalah negeri Persia dengan sejarah ribuan tahun (sejak abad 6) dalam kekasisaran dan berubah menjadi modern, demokratis, dimana perempuan yang memakai rok mini dan tidak berkerudung adalah hal yang umum di Kota Teheran — walau banyak pula perempuan Islam memakai hijab di Iran kala itu.

Istri Shah Iran, Shah Reza Pahlevi, Farah Diba, biasa mengenakan busana Barat dan dipandang sebagai contoh perempuan modern di Iran.

Akan tetapi, beberapa bulan setelah pendirian Republik Islam, 1979 dan jatuhnya Shah Iran, undang-undang yang melindungi hak-hak perempuan mulai dicabut. Saat itu, Ayatollah Khomaeni, menetapkan bahwa semua perempuan wajib memakai hijab di tempat kerja. Apa pun agamnya. Adapun perempuan yang tidak berjilbab, dia golongkan sebagai perempuan “telanjang”.

Paham seperti itu sudah merebak di sebagian Islam radikal di sini. Dan celakanya, mereka jadi penguasa daerah.

Indonesia bukan negara Islam. Dan jilbab juga bukan pakaian muslimah. Sebab di jazirah Arab, jilbab juga dipakai umat Kristen, Yahudi dan agama lain. Namun jilbabisasi dan Arabisasi sedang dipaksakan di sini. Juga upaya menghapus budaya lokal, sebagai Idendtias bangsa Indonesia.

Apa yang terjadi di Iran bisa terjadi di sini. Bibit bibitnya sudah nampak.

Kita semua harus mewaspadainya.

(Sumber: Facebook Supriyanto M)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed