Oleh: Supriyanto Martosuwito
“Orang muda yang tidak ‘kiri’ tandanya dia tidak punya hati, “ kata aktifis kawakan, Hermawan ‘Kikiek’ Sulistyo, belum lama ini.
“Tapi kalau sudah tua, masih ‘kiri’, artinya dia tak punya otak, ” selorohnya.
‘Kiri’ dan pikiran ‘kiri’ atau penganut ideologi ‘kiri’ identik dengan sikap kritis, galak, anti kemapanan, perlawanan, pembrontakan, turun ke jalan, demo, angkat tinju, ngamuk dan masuk penjara!
Karl Mark, Tan Malaka, Sutan Sjahrir Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, adalah inspirator mereka.
Mereka yang menjadi ‘kiri’ adalah mereka yang terpanggil untuk memperjuangkan keadilan, kesetaraan, membela kaum tertindas, kaum lemah, miskin, terpinggirkan, seperti buruh, petani, dan mereka yang dianaya majikan, kaum pemodal, penguasa. Mereka menantang dan sengaja membentur tembok kekuasaan.
Orang orang muda yang tidak menjadi ‘kiri’ adalah orang orang yang tak punya hati, karena tak peduli pada lingkungan, nasib warga sekitar, masyarakatnya, bangsanya. Hidup nafsi nafsi. Egois.
Panggilan juang kaum ‘kiri’ adalah melawan kapitalis, melabrak kaum mapan, orang kaya, kelompok snob, establis, hedonistik, warga makmur, mewah, dan seterusnya.
Kiri tak kenal kata menyerah. Militan!
DALAM KENYATAANNYA, orang orang kiri berhasil memperjuangkan apa yang diinginkannya, lalu dapat kedudukan, meraih jabatan, menikmati kemakmuran, dan pindah ke kanan.
Lalu menikah dan berkeluarga dan membuat mereka yang kiri menjadi realistis, bahwa mereka perlu rumah, kendaraan, keajegan, kenyamanan, membahagiakan anak isteri, dan pelan pelan kompromi.
Sampai pada akhirnya menjadi “kanan”. Menjadi orang orang mapan.
Fajroel Rachman, Rizal Ramli, Budiman Soedjatmiko, Adian Napitupulu, Andi Arif, Anas Urbaningrum, dulunya pejuang aktifis, dan kritis, menganut paham kiri, di masa 1980-an dan generasi 1998.
Namun setelah reformasi, mereka masuk lembaga, birokrasi, bahkan ke pemerintah, mendapat kedudukan, jabatan, kenyamanan, dan akhirnya menjadi kanan. Pakai jas dan dasi, simbol kapitalisme.
Profesor Hermawan ‘Kikiek’ Sulistyo, yang menulis buku “Palu Arif di Ladang Tebu” tentang tragedi PKI, mewakili ideologi kiri, kemudian menjadi penasehat Kapolri. Mapan. Bahkan kini bergelar profesor.
Maka perubahan terjadi: ‘kiri’ adalah kegiatan anak anak muda, sedangkan mereka yang sudah berhasil memperjuangkan apa yang telah diperjuangkan, menjadi mapan dan bergeser ke kanan dengan sendirinya.
Tak hanya di kalangan aktifis politik. Di bidang hukum, pada awaknya sarjana yang baru lulus, membala gratisan rakyat kecil. Lalu masuk firma dan jadi pengacra perlente, necis, membela orang kaya. Hidup mengawang awang.
Di dunia seniman, dan kebudayaan juga dikenal para pejuang kiri, yang menyuarakan penderitaan rakyat, melukis orang desa, sajak sajak perlawanan, dan menyuarakan kaum pinggiran. Lalu mendapat sambutan masyarakat dan pejabat, pameran tunggal dan pentas di hotel, mendapatkan banyak uang, dan hidup wah. Dan nyaman, sehingga menjadi kanan.
Realitas baru kemudian muncul lah. Seperti kata Kiki, yang juga para mantan aktifis lainnya, “Orang muda yang tidak kiri, tanda tak punya hati ” katanya.
“Tapi sudah tua masih kiri, tanda tak punya otak!” ***
PS :
Oh, ya, gerakan ‘Kiri’ terbagi dua, yaitu: ‘Kiri Lama’ dan ‘Kiri Baru’. ‘Kiri Lama’ membawa isu anti kapitalisme, anti globalisasi, feminisme, dan egalitarianisme.
Sedangkan ‘Kiri Baru’, memperjuangkan kesetaraan gender, hak LGBT, aborsi, reformasi kebijakan obat obatan, dll.
(Sumber: Facebook Supriyanto M)
Comment