by

Audit Saja MUI!

Oleh: Karto Bugel

Kita tak diizinkan melakukan intervensi pada kebijakan rumah tangga orang lain meski itu adalah saudara kita. Kita tak bisa ujug-ujug merasa boleh apalagi wajib hadir meski dengan alasan kebaikan. Itu wilayah privat dan dilindungi undang undang.

“Bagaimana bila anak-anaknya terlihat tak disekolahkan padahal ada wajib belajar sebagai hukum yang juga harus dipatuhi keluarga itu?”

Apakah sekolah selalu harus keluar dan kehadiran pada sebuah kelas adalah syarat harus terpenuhi? Tidak. Mereka bisa berkilah bahwa homeschooling sudah mereka pilih. 

Ya untuk urusan dapur orang lain kita tak boleh ikut campur. Bahwa bahkan ketika istrinya saja tak kita lihat pernah keluar rumah, itu urusan mereka. 

Kita boleh menebak nebak atas kenapa keluarga itu demikian tertutup. Kita boleh berhandai handai dan bahkan membuat komentar bahwa keluarga itu tak beres dan maka kita juga boleh menjauhinya.

Keyakinan mereka atas pilihan hidup dengan menjauh dari kebiasaan normal masyarakat pada umumnya bukanlah sebuah kejahatan.

Menjadi berbeda ketika keyakinannya itu telah mengganggu masyarakat di sekitarnya. Menjadi berbeda ketika apa yang dianggap benar oleh keluarga itu mengusik ketenangan masyarakat. 

Selalu menyetel khotbah junjungannya dengan volume tinggi misalnya, meski hal itu diperuntukkan bagi seluruh keluarganya yang berjumlah banyak agar mereka semua dengar dan belajar, itu bukan wilayah privat yang tak boleh tetangga kritisi. Cara mereka memilih hak privat ternyata juga telah merampok apa yang menjadi hak orang lain.

Ketika tetangga menegur, bukan tetangga itu turut campur dalam urusan rumah tangga, tetangga hanya ingin haknya untuk hidup tanpa terganggu juga dihormati. Tetangga tersebut tidak serta merta dapat dimasukkan dalam konteks intervensi pada ranah privat. Tetangga itu masuk pada ranah sosial dalam hidup bermasyarakat.

Bila cara itu justru berpotensi menjadikan keributan, datang dan protes pada pak RT adalah solusi terbaik. Meminta pak RT untuk menjalankan fungsinya sebagai ketua RT. Dengan kata lain, tetangga itu juga menegur dan menuntut ketua RT untuk berjalan pada koridor benar apa itu sebuah aturan main.

Demikianlah seharusnya cara pandang yang sama ketika kita berbicara tentang MUI. MUI memang organisasi agama tapi dia bukan agama. Dia adalah produk politik. Dan politik, bukan wilayah privat. Itu wilayah paling amat sangat terbuka bagi kritik dan saran. Oleh siapa pun tanpa batas agama, suku dan ras atau golongan.

“Jadi siapa pun boleh membicarakan MUI meski mereka non muslim?”

Non muslim tak perlu atau tak boleh masuk pada ranah keyakinan atau agama manakala MUI sedang membuat fatwa misalnya. Itu wilayah privat. Itu bukan wilayah abu-abu bagi pemeluk agama lain.

Pada satu sisi, kehadirannya adalah untuk kemaslahatan umat. Tapi dia bukan satu satunya. 

MUI dibentuk Soeharto dengan Orde Baru nya pada 26 Juli 1975. Tujuannya sangat politis. Konon, agar distribusi kekuasaan miliknya dapat menjangkau hingga tempat paling sakral sekalipun, agama.

Fakta bahwa Soeharto tak punya kendali pada dua ormas besar Islam di Indonesia yakni NU dan Muhammadiyah, padahal dia butuh mengendalikan rakyat yang pada faktanya mayoritas adalah muslim telah membuatnya perlu membentuk LSM berbasis agama.

Bukankah kebanyakan pemeluk agama di mana pun pasti sangat mendengarkan pemimpinnya? Itu adalah poin penting dan maka penting pula dia membuat wadah bagi tancapan cakar kekuasaannya dalam rupa LSM keagamaan dan maka MUI lahir.

Paling tidak, bila dia butuh dukungan rakyat, dia tak perlu bicara sendiri apalagi harus mengemis pada Kyai-kyai NU atau Muhamadiyah. Ada pemimpin umat berbasis LSM pilihannya yang duduk di lembaga bentukannya itu dengan senang hati akan berbicara. Dan itu sangat laku apalagi ketika himbauan itu dalam rupa fatwa.

Pemerintah Soeharto saat itu memegang kendali penuh MUI. Siapakah tak patuh pada dia yang melahirkan apalagi dia pula yang menghidupinya? Faktanya, dana operasional MUI diperoleh dari APBN dan APBD kan?

Ya, MUI bukan seperti NU dan Muhamadiyah yang lahir dan berakar hingga memiliki tradisi yang hidup pada masyarakat. MUI dilahirkan karena sebuah kebutuhan politik. 

Adakah sesuatu yang berbau politis harus dianggap sakral dan rakyat Indonesia dengan latar belakang apapun tak boleh membicarakannya? TIDAK..!! 

Siapa pun boleh berpendapat dan kritis pada apapun yang dibuat oleh MUI terkait sikap politik. Itu tak ada konsep intervensi apapun apalagi turut campur dalam masalah agama orang lain. Itu politik. Itu tak terkait dengan ayat atau dogma sebagai bahan yang tak perlu didebat pihak lain.

Dalam sikap agama, dalam hal fatwa atau aturan haram halal, mereka yang selayaknya kritis adalah mereka yang terkena dampak atas fatwa yang dibuat misalnya. Bukan mereka yang beragama lain.

“Terkait salah seorang anggotanya yang duduk pada komisi fatwa dan ditangkap oleh Densus 88 dan maka muncul ide pembubarannya, apakah itu tepat?”

Adakah pantas kita membakar lumbung hanya karena tikusnya? Bila hanya karena satu orang itu terindikasi, tentu bukan alasan tepat. Jangankan MUI, BUMN seperti Krakatau Steel dan Kimia Farma saja pernah tersusupi. Kenapa tak ada tuntutan kedua BUMN itu dibubarkan?

Atas sebab satu orang kita tak boleh gebyah uyah bahwa MUI adalah sarang ter*ris. Itu tidak adil.

Menjadi masalah adalah tersangka ter*ris bernama Ahmad Zain An-Najah ini ternyata diduga juga merupakan Dewan Syuro Jam*ah Isl*miah dan sekaligus Ketua Dewan Syariah Lembaga Amil Zakat BM Abdur*hman Bin Auf (LAZ BM ABA).

Dan ternyata, keterkaitan keduanya memiliki tali temali yang rapat. LAZ BM ABA terafiliasi dengan ter*ris Jam*ah Isl*miah sebagai Yayasan yang bertugas untuk menghimpun dana dari masyarakat.

Kelompok Jam*ah Isl*miyah konon menggunakan LAZ BM ABA untuk mendanai aksi ter*risme. Itu terkait dengan banyaknya jihadis dari Indonesia yang dikirim ke Suriah atau daerah konflik.

Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan kepada wartawan 3/11/2021 berkata bahwa Program penggalangan dana tersebut merupakan sebuah kebutuhan organisasi JI yaitu pengkaderan atau menyiapkan kader-kader dari generasi JI. Di mana program tersebut dinamakan jihad global.

Modus ini sudah terungkap oleh polisi dan Kemenag bersama BNPT dan pihak terkait lainnya saat melakukan monitoring dan evaluasi.

Hasilnya adalah terbitnya SK pencabutan izin operasional oleh Kakanwil DKI Jakarta.

Dan kini, tersangka Ahmad Zain An-Najah ini ternyata diduga sebagai Ketua Dewan Syariah LAZ BM ABA. Dia diduga bertanggung jawab atas banyak dana yang mengalir ke kelompok ter*ris. Inilah poin krusial bagi MUI. 

Tiba-tiba tuntutan agar MUI melakukan audit secara menyeluruh bergema.

“Realistiskah?”

Jika memang MUI menerima dan menggunakan dana yang diterimanya dari APBN dan APBD secara baik, maka pastinya MUI akan membuka diri untuk dilakukan audit secara menyeluruh. 

Untuk membuktikan kredibilitas MUI dalam menggunakan dana dari masyarakat, itu memang perlu. Ini adalah peluang bagi MUI membuktikan diri bahwa uang negara tidak disalahgunakan. 

Menjadi masalah manakala MUI justru menolak. Rasa curiga masyarakat akan semakin tinggi. Opini liar hanya dengan menghubungkan Ahmad Zain yang adalah donatur ter*ris namun sekaligus sebagai pengurus Komisi fatwa MUI akan dikaitkan dengan kucuran APBN dan APBD yang tak mau diaudit.

“Dapatkah negara meminta audit paksa?”

Bila ada bukti yang cukup, meski dia yang dicurigai adalah seorang Presiden, negara memiliki kewenangan dan Presiden pun harus tunduk. MUI tak akan memiliki kekuatan untuk menolak.

Dan bila itu terbukti, tidak usah harus rakyat mendesak, hukum secara otomatis akan berjalan pada relnya.

*Tapi bukankah pak Mahfud sudah bilang tak gampang membubarkan MUI karena kekuatan hukumnya sangat kokoh?”

Suara sumbang dalam rupa penghinaan terhadap Konstitusi dan ajakan melawan konstitusi serta penolakan terhadap Konstitusi sering kita dengar. Itu jelas tidak boleh dibiarkan, tidak boleh ditolerir dan justru harus dilawan.

Bukankah wacana pembubaran Densus 88 sudah pernah dihembuskan oleh Anwar Abbas?

Bukankah dia juga pernah berkata Bubarkan Departemen Agama?

Tidak masalah pelarangan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang disampaikan Ustadz Khalid Basalamah?

Bahkan Bubarkan NKRI dengan menggunakan nalar pembubaran MUI?

Itu adalah beberapa polemik yang pernah muncul dan kemudian beberapa diantaranya oleh Anwar Abbas diklarifikasi. Dan atas komentar-komentar seperti itu pula maka sering digunakan oleh banyak pihak sebagai alasan bahwa ke Indonesiaan MUI mulai pudar.

Sekokoh apapun bangunan hukumnya namun bila keIndonesiaan kita bersama telah dilukai, pasti akan runtuh juga.

Bukan justru dengan konfrontatif setiap isu harus dihadapi oleh MUI, namun dengan membuka diri. Dan pada kasus ini, audit secara menyeluruh adalah cara paling elegant.

Apapun kata pak Mahfud, nilai sahihnya tak sebesar bila MUI mau diaudit. 

“Mau ga MUI diaudit?”

Sama seperti tetangga yang terganggu dan sebaiknya datang pada pak RT, tak pada tempatnyalah masyarakat memaksa dan mendatangi MUI. Cukup minta pada negara untuk hadir demi kemaslahatan bersama.

Ini masalah politik bukan masalah agama. Tak pantas dikotomi harus ditautkan pada masalah kita bersama sebagai satu bangsa.
.
.
RAHAYU

(Sumber: Facebook Karto Bugel)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed