by

Kaum yang Suka Dema Demo Itu

Oleh : Sunardian Wirodono

Bayangkan, dengan baju agama, dalam sebuah demonstrasi menentang kebijakan Menteri Agama, ibu-ibu berbaju yang katanya sesuai syariah, menginjak-injak foto Menteri Agama. Dengan alasan agama pula, agama yang mana ya, seorang Menteri Sosial ditolak para korban bencana alam. Karena kedatangannya dengan bansos dituding hanya pencitraan. Apalagi? Banyak hal. Hal apa saja. Soal adzan dan TOA saja bisa bertele-tele. Sampai-sampai, dan lagi-lagi putri Gus Dur yang bernama Alissa, setelah bikin statemen lucu soal Wadas, bikin pernyataan lagi; Bahwa harus dibedakan suara adzan dengan suara TOA.

Ya, iyalah, kudu dibedakan. Apalagi desibelnya. Wong Gus Dur saja juga mesti dibedakan dengan anaknya, meski sama-sama pimpinan PBNU. Tapi ya, begitulah. Betapa wacana dan literasi demokrasi kita terus saja melingkar-lingkar dalam kubangan. Makanya tidak kaget kalau ada aktivis gemagus, mendefinisikan; Bahwa kritis itu ya mesti terlibat ke aksi. Turun ke lapangan. Kalau kritis hanya dengan menulis, menulis di medsos pula, patut mendapat sinisme. Mungkin kelasnya kritis genit. Ya, mungkin saja, karena mimpinya, gimana demokratisasi harus terus dibangun di jalanan, sampai tujuh turunan. Karena demokrasi juga merupakan proyek manusia modern.

Bisa diproyekkan pula. Karena jika demikian, tidak perlu mendirikan sekolah dan berbagai lembaga publik. Jika ada masalah, tinggal turun ke jalan ramai-ramai. Kan fox populi fox dei? Menang-menangan akeh. Dan kita akan terus terseok-seok dalam literasi demokrasi. Makanya untuk hal yang sederhana saja, misal soal surat edaran Menteri Agama dalam hal aturan tata-suara masjid, yang muncul kemudian adalah kerja sama antara Kemenag dengan DMI, untuk melatih para takmir masjid dan mushalla. Terus nanti muncul sound-engineer terbaik dalam ajang festival pemutar potentio-meter amplifier.

Padal cuma soal tinggal mematuhi aturan saja, bukan main ribetnya, juga uanehnya jalan keluar yang diambil. Bahkan katanya Kemenag punya ribuan tenaga pendampingan untuk soal ini. Soal aturan dari pemegang otoritas tapi mbleber ke mana-mana. Sampai perlu ada pengumuman bahwa penemu loudspeaker (yang sering disebut TOA itu), adalah seorang pastor, imam Katolik Jerman. Kalau ada yang menemukan, siapa yang menghilangkannya? Itu semua berkait kualitas literasi demokrasi, di mana dalam proses demokratisasi upaya-upaya literasi juga disingkiri, bahkan disinisi.

Karena dianggap sebagai kegenitan semata. Maka wajar dalam semua pertengkaran yang muncul adalah identitas masing-masing, yang tanpa identitas. Ya, wislah, sakarepe sing nduwe donya. Saya mah, nunggu lahirnya seorang maestro sound-engineer dalam gedung-gedung pertunjukan kita. Juga dalam jagat sinema dan pertunjukan musik kita. Agar bisa jadi tempat pacaran yang asyik.|

Sumber : Status Facebook Sunardian Wirodono III

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed