by

Yang Bikin Islam Jadi Nyebelin

 

Kita sudah capek kan, dengerin orang yang teriak-teriak takbir gak juntrungan. Semakin sering teriakan takbir itu disuarakan di jalan-jalan, saya semakin merinding. Saya gak tahu, kok nama Tuhan yang semestinya menenangkan itu kini jadi bikin takut.

“Saudara-saudara, kita bela tauhid!”

Takbir!

“Saudara-saudara, kita ganti Presiden.”

Takbir!

“Saudara-saudara, pilihlah Presiden yang bisa ngobrol sama kuda.”

Takbir!

“Saudara-saudara, sudah sarapan bubur ayam belum?”

Takbir!

“Saudara-saudara, siapa diantara kalian yang masih jomblo?”

Takbir!

“Saudara-saudara, takbir!”

“Lebaran masih lama, woy…”

Gema takbir jadi inflasi. Besok dalam ucapan lebaran, kita susah lagi untuk menulis : Ketika Gema Takbir terdengar syahdu membelah langit yang kelabu…

Sebab setiap hari yang kita dengar bukan takbir yang syahdu. Yang kita dengar adalah takbir yang penuh kemarahan. Takbir yang bikin deg-degan.

Nama Tuhan disebut dengan rasa menghardik. Padahal Tuhan itu maha rahman dan maha rahim. Tapi di tangan para peternak ‘takbir’ Tuhan jadi begitu menakutkan.

Tapi, sekali lagi ini hari Sabtu. Sebaiknya kita membahas yang ringan-ringan saja.

Kalau membahas soal bendera bertuliskan tauhid, pasti rasanya berat. Apalagi dikait-kaitkan bahwa bendera itu adalah bendera Rasul. Siapa yang bisa memastikan bendera Rasul modelnya seperti itu?

Setahu saya di kalangan ulama saja masih terjadi perdebatan warna, bentuk, gambar dari bendera tersebut. Jika kita merujuk pada hadist, ya pasti multi tafsir juga. Hadist kan bentuknya teks, bukan gambar. Sementara yang diperdebatkan adalah sebuah bentuk bendera.

Lagipula apa di jaman Rasul sudah ada teks Arab yang computerize kayak tulisan pada bendera HTI itu? Lengkap dengan tanda bacanya segala. Padahal tanda baca pada Quran saja baru dirumuskan pada jaman Usman bin Affan. Jauh setelah Rasulullah wafat.

“Jadi itu bukan bendera Rasul?”

Setidaknya belum pasti bentuk bendera Nabi seperti itu. Yang pasti itu adalah bendera HTI. Kesimpulan yang gampang toh.

Nah, saya ingat ada statemen seorang ulama Lebanon. “Jika di negaramu mulai sering berkibar bendera hitam, kamu harus lebih hati-hati…”

Ulama itu memetik pelajaran dari Sturiah, Irak atau Libya. Disana bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid sering dikibarkan. Bersama dengan tangisan penderitaan rakyat. Bendera itu seperti pertanda bahwa bau anyir darah semakin tercium. Asap mesiu mendekat. Dan

Hati-hati? Kita sudah deg-degan setiap kali takbir diteriakkan di jalan. Kesannya berangasan. Kini saya juga khawatir ketika bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid dikibarkan.

Ah, siapa sih, gerombolan yang membuat sesuatu yang tadinya sakral dan suahdu kini jadi menakutkan?

Terus kalian mau dakwah dengan cara seperti itu? Siapa yang tertarik dengan ketakutan dan hidup yang mencekam.

Tapi ini hari Sabtu. Kita gak pantas membahas persoalan yang berat-berat begitu. Itu merusak suasana libur saya.

Sebaiknya saya memang harus berhenti berfikir barang sejenak. Meskipun sudah dicoba sejak pagi, fikiran saya gak juga mau berhenti.

“Jangan menyerah. Mas harus berfikir lebih keras bagaimana caranya berhenti berfikir. Kalau gagal. Coba berfikir lebih keras lagi : cari cara bagaimana caranya berhenti berfikir,” saran Abu Kumkum.

“Ini hari Sabtu, mas. Berusahalah untuk berhenti berfikir,” kali ini Kumkum menasehati saya.

Ok, saya akan mulai memikirkan cara bagaimana agar saya bisa berhenti berfikir. Sebab ini adalah hari Sabtu. Waktunya leyeh-leyeh…

 

(Sumber: Facebook Eko Kuntadhi)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed