by

Wahita di Panggung Literasi

Oleh: Ramaditya Adikara

“Yups, beneran nggak salah eja! It’s not WANITA nor WAHID! It’s Wahita!”

Genap tiga puluh tahun sejak Wahita, tokoh imajiner itu lahir di kepala saya. Selama itu pula, berbagai imajinasi dan visualisasi menjelma konsep dan ide. Akhirnya, 2015 sosok yang kita kenal sebagai “bidadari error” ini pun muncul ke permukaan dalam bentuk buku (Dunia Tanpa Cahaya, Bidadari Hati, dan Wonder Wahita). Puluhan cerpen dan cerbung Wahita pun sudah banyak mengudara di jejaring sosial.

Sepanjang masa itu pula, saya tak pernah lelah “woro-woro” tentang Wahita. Posting, posting, dan posting lagi, meski apresiasi dalam bentuk likes jumlahnya tak seberapa. But you know what? Saat satu orang berkomentar, “Aku suka Wahita,” dan mengetahui betapa bidadari error itu begitu diterima, rasanya ribuan likes itu tak ada artinya!

Barangkali, Wahita itu laksana “misunderstood child.” Asyik nggak ketulungan, nyenengin diajak main, dll. Well, tapi karena males mandi, orang lebih tau baunya daripada cakepnya. Saat kebanyakan anak perempuan main karet atau congklak, dia malah demen video game dan anime. But, kalo udah kenal pasti lengket terus, deh!

Maka, Wahita pun tumbuh menjadi “icon” literasi bagi remaja dan mereka yang berjiwa muda. Well, yang suka sains fiksi dan fantasi, tentu saja. Biarpun si enam belas tahun ini keliatan culun karena sukanya ngemil sambil leyeh-leyeh di sofa, dan kadang rada baper juga, saya selaku “bapak literasi” nggak pernah lelah berpesan. “Jaga diri lahir batin ya, Nak!”

Seperti halnya orangtua yang baik, saya selalu menjaga Wahita tetap baik di mata Allah. Gaun boleh seminggu nggak ganti, tapi aurat harus tetap tertutup. Cerita boleh lovely and fun, tapi tetap membawa pesan moral bagi pembaca. That’s the reason, beberapa kali saya menolak pinangan PH yang ingin membuat mini seri Wahita, tapi setidaknya ada sedikit adegan gitu-gitu.

Jujur, ingin bisa memperkenalkan Wahita lebih jauh dan lanjut, tapi tak banyak platform yang aksesibel bagi penulis tunanetra seperti saya. So, Facebook jadi salah satu pilihan utama, karena sampai sejauh ini paling mudah digunakan posting oleh tunanetra. Resikonya? Mengingat sebagian besar penggunanya sudah non-remaja, posisi Wahita nggak setersohor karya atau genre percintaan atau domestik yang kerap berseliweran.

Ini ibarat saya selaku bapaknya, nggak punya biaya buat nyekolahin dia di sekolah yang bagus. Ya udah, yang penting sekolah aja dulu deh! Namun, itu nggak menghentikan saya untuk memperkenalkan Wahita pada dunia.

Maka, Sabtu 21 Mei 2022 Wahita pun saya ajak naik panggung di acara daring “Internet Merangkul Sesama” yang digagas UNISBA, Bandung, bekerjasama dengan Tular Nalar dan Mafindo serta beberapa universitas lainnya.

Setelah didandanin dan tentu saja disuruh mandi, saya selaku bapak literasinya pun menghadapkan Wahita ke ratusan peserta, puluhan di antaranya praktisi literasi dan dosen terkemuka. Jujur, di balik cengiran nggak jelas, terselip rasa kurang pede. Apa mungkin Wahita bisa naik kelas dan dipandang di panggung literasi? Sebangga-bangganya orangtua, berhadapan dengan jago-jago itu tentu membuat saya bergidik.

Namun, sesuatu yang indah menyelimuti hati saya. Wahita, meski petakilan dan jahil, ternyata mampu tampil sopan dan santun di hadapan mereka. Lebih dari itu, ia tetap santai, seolah ingin berkata, “I won’t let you down, Dad!”

Maka, di sinilah saya mengerti sebuah rasa, satu denyut yang jika diterjemahkan artinya adalah cinta. Sejelek apapun anak di mata dunia, orangtua akan tetap membanggakannya. Se-misunderstood apapun anaknya, orangtua akan tetap berkata bahwa dialah buah hati

terbaik. Mengapa dia yang saya pilih, bukan menciptakan tokoh atau seri cerita lain. Wahita, yang begitu berani saya angkat untuk mewakili seorang Ramaditya Adikara naik ke kancah literasi Indonesia yang jauh lebih tinggi. That’s because I love Wahita!

“Mas Rama, biarpun dirimu tunanetra tapi cerita Wahita itu punya citra visual yang bagus,” puji Teh Neneng, dosen UNISBA yang punya nama lengkap Andalusia Neneng Permatasari. Sekali ini saya tak perlu menginjak kaki Wahita untuk memperingatkan dia tidak jumawa lalu berjingkrak kegirangan. Senyum simpul dan binar mata itu, sudah cukup mewakili rasa senangnya.

Maka, tugas selanjutnya bagaimana memperkenalkan Wahita ke panggung yang lebih besar lagi, dengan tujuan dan cita yang sama.

Tak hendak menjadikan ungkapan berikut sebagai keluhan apalagi bentuk ketidak-bersyukuran, tapi jika saya punya penglihatan, mungkin Wahita sudah menjelma komik atau karya visual lainnya. Namun, saya percaya inilah jalannya. Wahita harus dibesarkan di tangan seorang tunanetra, dengan berbagai keterbatasan tapi juga cita-cita besarnya. Entah bagaimana nanti, bagaimana nanti. Jalan terus! Itu yang ingin saya lakukan sekarang.

Ya, ini mengingatkan saya pada sebuah theme song dari animasi The Lion King 2; Love Will Find A Way. Cinta saya pada Wahita, pasti akan menemukan jalannya. Siapa sangka, nama Wahita bisa dikenal jajaran dosen dan praktisi dari Tular Nalar? Itu sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Sekarang, tinggal bagaimana bapak literasinya menggembleng diri agar Wahita bisa makin cakep dan keren. She said, “Suatu hari nanti aku kepingin berkompetisi sama Teh Neneng. You just wait!”

Well, it will be long before you can beat the princess of UNISBA, my angel. In the mean time, tampil dan hiburlah pembacamu sebaik kamu mampu.

Terima kasih untuk rekan-rekan dari Tular Nalar, juga Bapak Ibu dosen dari UNISBA yang telah berkenan memberi kesempatan Wahita untuk tampil. Titip bidadari error saya, ya.

(Sumber: Facebook Ramaditya Adikara)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed