by

Urgensi Mencari Penerus Jokowi

Oleh: Andi Setiono Mangoenprasodjo

Berbeda dengan presiden-presiden Indonesia lainnya, Presiden Jokowi selalu saja banyak menelurkan anomali. Nyaris dari keenam presiden sebelumnya, tak pernah benar2 memikirkan tentang “Presiden Penerus”. Satu-satunya yang bisa dianggap penerus adalah transisi dari Soeharto kepada BJ Habibie. Tapi bukankah itu penerus dalam artian terpaksa diteruskan? Karena Suharto juga terpaksa “mengundurkan diri”.

Karena itulah, nyaris setiap alih jabatan presiden, konteksnya harusnya dipahami sebagai “Presiden Pengganti”. Atau bila dalam bahasa yang paling netral disebut sebagai “Presiden Selanjutnya”.

Barulah pada masa Jokowi kemudian tiba-tiba muncul kebutuhan tentang Presiden Penerus. Figur yang bukan saja dianggap pantas, namun terutama mampu meneruskan kerja baik, besar, dan bermanfaat yang telah dilakukan Jokowi.

Hal ini tentu menjadi polemik. Karena realitasnya tidak semua orang suka Jokowi. Terlepas bahwa yang sebelumnya mendukung berbalik membenci, atau sebaliknya yang semula bersikap oposan berbalik masuk koalisi. Itu soal pergeseran selera berpolitik yang biasa saja.

Tapi realitasnya, gagasan mencari “Sang Penerus” itu muncul dari segala jurusan. Sulit dipungkiri sebagai fenomena yang unik dan pertama kali terjadi dalam sejarah politik Indonesia modern. Mengapa itu terjadi? Apa konsekuensi lanjutannya?

Pertama, ada “jebakan batman” di konstitusi kita, dalam hal pembatasan masa dua kali menjadi Presiden atau Wapres, yang dilematis. Konstitusi tersebut memang berhasil menghentikan sepuluh tahun periode buruk di bawah SBY. Tak diragukan lagi, inilah periode paling buang waktu sejak Indonesia merdeka. SBY adalah presiden yang melulu sekedar cari selamat, agar tidak dijatuhkan di tengah jalan.

Namun konstitusi tersebut menjadi “barikade” bagi Presiden Jokowi menyelesaikan banyak program besarnya. Ya, entah bagaimana ceritanya. Di tengah tantangan internal politik dalam negeri yang “super gila”, di tengah jet coaster ekonomi dunia yang tak pernah stabil. Bahkan masih di tambah kurun panjang pandemi yang sulit dipahami. Ia bisa bertahan, bahkan maju terus dengan banyak gagasan besarnya.

Ibukota Negara atau IKN tentu saja bagian terpentingnya. Tapi bukankah banyak program besar yang tiba-tiba saja secara ajaib juga terwujud?

Di titik inilah, absurditas terjadi. Keinginan para pembencinya untuk menjatuhkannya tak pernah surut. Tapi gelombang besar yang lain untuk mempertahankannya tak kalah kuat. Bahkan yang ingin melanggengkannya juga sangat santer.

Kedua, realitasnya banyak sekali figur yang telah “memperdagangkan dirinya”. Baik secara terang-terangan melalui baliho yang “waton wagu” itu. Yang sedemikian norak, karena nyaris tanpa apresiasi, miskin ambience, dan tak lebih masturbasi pencitraan belaka. Buang duit untuk sesuatu yang muskil bakal terjadi. Hingga sulit dimengerti, bagaimana mungkin para konsultan politik bayaran itu masih merekomendasikan baliho sebagai cara menaikkan popularitas?

Dalam lingkaran ini nama-nama seperti Puan Maharani, Muhaimin Iskandar dan Erlangga Hartarto dapat dianggap sebagai figur yang terlalu berambisi, namun miskin apresiasi. Mereka adalah figur-figur yang masuk kotak terlalu cepat.

Ada juga yang “mencoba meniru-niru” gaya Jokowi, tapi masih tampak malu-malu. Berciri aktivitas sosialnya sangat gencar. Eksistensinya dalam event-event yang menyedot perhatian publik sangat rajin. Media soaial adalah ajang lain yang tak kalah intensifnya digunakan.

Ciri lain dari kelompok kedua ini, tentu saja tumpang tindih antara tugas kenegaraan sebagai pemangku jabatan publik, dengan aktivitas sosial yang bersifat privat. Tiga tokoh yang sudah “terhukum” terlalu dini dalam konteks ini adalah Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil. Entah bagaimana ceritanya, alam telah menghukum mereka atas kegilaan mereka “demi konten”. Dengan profilingnya masing-masing, mereka bisa dianggap sebagai usaha terlalu eksplosif tapi kepagian. Sebuah kepedean yang tak terkira.

Apa hukuman bagi mereka? Aah kura-kura dalam perahu. Mosok pura2 tidak tahu….

Ketiga, dalam konteks inilah kemudian para kelompok relawan Jokowi mengambil inisiatif. Hal tersebut tentu saja menyikapi kedua fenomena di atas. Kegagalan para pemimpin partai politik dalam mencitrakan dirinya, yang dilengkapi juga mampatnya para pemimpin alternatif yang masuk dalam “para peserta polling”. Di sisi lain, muncul fenomena yang tak kalah menariknya: Banyak lembaga survei yang jatuh harga, bukan sekedar tak dianggap lagi hasil risetnya.

Ini karena citra sebagai “lembaga pesanan” sulit dipungkiri. Independensi lembaga-lembaga survei jadi bahan pertanyaan. Bahkan sudah menyangkut pada lembaga-lembaga survei kawakan. Mereka tak ayal dianggap “menyesatkan masyarakat”.

Di sinilah, kembali terjadi berbagai gerakan akar rumput dengan mengandung unsur nama “rakyat”. Sekelompok relawan berinsiatif mulai bulan Agustus ini, membuat “Musyawarah Rakyat” yang akan mulai melakukan aktivitasnya untuk dan atas nama menjaring suara rakyat di Bandung. Aktivitas awal tersebut semula akan dilakukan di Solo. Tapi entah kenapa malah pindah ke “kandang macan”. Apakah hal tersebut sebagai bentuk “show of force”? Mengingat justru di Jawa Barat dukungan terhadap Jokowi sangat rendah. Jumlah pembencinya makin besar. Apapun prestasinya selalu diabaikan.

Fenomena sekaligus peluang tersebut, kemudian juga ditangkap oleh Partai Solidaritas Indonesia—PSI yang melakukan aktivitas yang sama dengan brand “Rembug Rakyat”. Dan setelahnya, banyak sekali kelompok-kelompok relawan lainnya hilir mudik, silih berganti datang ke Istana Bogor atau Istana Merdeka menemui Jokowi untuk melaporkan bahwa mereka akan melakukan aktivitas serupa. Serupa spiritnya: Menemukan siapa yang paling pantas menjadi penerus Jokowi.

Fenomena ini menjadi menarik, lebih pada reaksi Jokowi. Ia selalu pada sikap khasnya untuk menyarankan menahan diri. Idiom khasnya: “AJA KESUSU”, selalu terlontar dan dinyatakan pada tetamu relawannya yang sedemikian membanjir. Hingga memunculkan ejekan dari para oposan yang tersisa yang menyebut Istana Kepresidenan tak lebih sebagai Pos Pemenangan.

Sekali lagi inilah anomali politik terbaru Indonesia terkait Presiden Penerus: Di mana relawannya merasa sudah sangat urgen dan mendesak. Sebaliknya Jokowi justru menganggap belum waktunya.

Bagaimana memahami fenomena di atas, seorang filsuf science Indonesia, Lukas Luwarso menganggap hal tersebut tak lebih sebagai budaya latah. Dalam konteks bahasan fenomena di atas ia tak lebih sebagai “latah politik”.

Entah apakah Jokowi justru menjadi “tersandera” atau tidak. Tentu saja hal ini bisa menjadi “harapan baik”, bahwa banyak kerja besar yang tertunda karena banyak alasan atau memang memang butuh jangka waktu yang jauh lebih panjang.

Tapi bila dikaji lebih mendalam kenapa Jokowi masih sedemikian adem, kalem dan tampak tak terburu. Pantas diyakini bahwa dalam situasi paling genting, ketika tak ada pilihan terbaik, ketika justru para calon menimbulkan polemik dan konflik…

Ia bisa merendahkan diri.
Bahkan mungkin termasuk menyediakan dirinya sebagai cawapres…
Di mana jadi tak penting lagi siapa pun presidennya kelak…

(Sumber: Facebook Andi Setiono)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed