by

Umat Saling Hujat

Oleh : Ahmad Sarwat

Tidak ada pemandangan paling menyedihkan melebihi umat Muhammad SAW yang terlibat saling hujat. Memang kita tidak bisa menyetop perbedaan pendapat, tapi urusan saling hujat tentu cerita lain. Beda pendapat itu manusiawi bahkan Qurani. Maksudnya Al-Quran secara tegas menyebutkan bahwa manusia diciptakan dengan berbeda warna kulit, bersuku dan berbangsa, yang pastinya isi kepalanya pun beda-beda. Kalau pun ada yang dilarang di dalam Al-Quran, yang diarang bukan perbedaannya, tapi yang dilarang justru berpecah belahnya. Jadi mohon bedakan mana perbedaan dan mana perpecahan. Dua hal yang berbeda, meski sering dianggap sama

oOo

Contoh sederhana dalam masalah ini adalah perbedaan riwayat bacaan ayat Qur’an (ilmu qiroat). Ayat Quran itu aslinya turun dari langit memang satu ayat yang sama, tapi banyak yang tidak tahu ternyata bisa saja satu ayat itu turunnya berkali-kali. Misalnya awalnya sudah turun satu ayat. Lalu sangat boleh jadi ayat yang sudah turun itu kemudian turun lagi untuk yang kedua kalinya. Bahkan bisa juga turun lagi untuk yang ketiga kalinya dan seterusnya.

Dari situlah kemudian lahir perbedaan qiroat (bacaan) meski pada satu ayat yang sama. Satu ayat tapi lafazh bacaannya berbeda. Ada bacaan riwayat Hafsh, Nafi’, Qalun, Warsy, Kisa’i dan seterusnya. Namun tenang saja, semuanya dibawa oleh Jibril dan diriwayatkan secara mutawatir. Beda tapi benar semua. Namun karena keterbatasan ilmu dan wawasan, nyaris hampir terjadi baku hantam dengan sesama shahabat nabi sendiri nun jauh di negeri seberang. Kisahnya terjadi ketika pasukan muslimin dari Kufah bertemu pasukan muslimin dari Damaskus. Sebenarnya mereka sedang dikerahkan bertugas di Armenia / Azerbaijan. Sama-sama muslim dan sama-sama membaca Al-Qur’an, tapi kedua pasukan membacanya dengan dua riwayat yang berbeda. Sebab guru qiroat mereka berbeda dan membawa riwaayt yang berbeda pula.

Untung lah Amirul Mukminin Utsman bin Affan turun tangan. Itu pun setelah dikabari oleh Huzaifah ibnul Yaman yang cepat-cepat melapor pulang ke Madinah. Oleh Amirul Mukminin, masing-masing pasukan dibenarkan bacaan mereka. Dan secara resmi kepada mereka dikirimkan mushaf standar Imam. Tapi rasm-nya disesuaikan dengan bacaan masing-masing. Dalam hal ini para ulama ahli qiraat berbeda dengan apa yang ditulis oleh Manna’ Al-Qaththan dalam Mabahits fi Ulumil Quran yang mengira bahwa mushaf itu hanya diperbanyak alias dicopy. Padahal sebenarnya mushaf itu dibuat dalam banyak versi disesuaikan dengan ragam qiraat yang berkembang di negeri itu. Urusan pun selesai. Semua sadar dan tahu diri, bahwa qiraat temannya yang berbeda itu ternyata sama-sama mutawatirnya. Perbedaan memang sudah dari sono-nya. Jadi ngapain diributin?

oOo

Hal yang sama persis dulu pernah terjadi, bahkan di depan hidung nabi SAW langsung. Waktu itu yang geregetan ingin menghabisi sesama muslim adalah Umar bin Al-Khattab ra. Gara-garanya beliau mengira bacaan Hisyam bin Hakim keliru dan menyimpang. Konon surat Al-Furqan. Ternyata bacaan Hisyam itu malah dibenarkan oleh Nabi SAW. Beliau kasih komentar :هكذا أنزلت Seperti itulah diturunkannya.Akhirnya Umar malah kena kick balik, jangan-jangan justru malah bacaannya Umar yang keliru dan menyimpang. Padahal Umar sudah terlanjur main tuduh bacaan orang lain salah dan keliru, bahkan nyaris mau main kasar. Rupanya Nabi SAW tahu kegelisahan Umar. Maka nabi SAW pun minta Umar membaca ayat itu sesuai yang diketahuinya. Dan ternyata Nabi SAW membenarkan juga bacaan Umar. وهكذا أنزلت Dan seperti itu juga diturunkan. So, dua-duanya bertentangan, tapi dua-dua shahih bahkan mutawatir. Masalah pun clear.

oOo

Dua contoh di atas memang ideal sekali. Sebab ditengahi oleh pihak yang punya otoritas paling tinggi yaitu Nabi SAW dan Ustman bin Affan di masa masing-masing. Masalahnya, bagaimana dengan di masa kita? Siapakah pihak yang bisa menengahi kalau ada saling klaim sesama muslim saat ini? Nabi SAW sudah wafat, begitu juga para shahabat. Lalu siapa yang menengahi? Sebenarnya jawabannya sederhana yaitu para ahli waris nabi. Maksudnya mereka yang Allah beri ilmu sebagai warisan dari nabi SAW. Masalahnya keberadaan para ulama ahli waris nabi ini tidak mudah dikenali. Banyak masyarakat kita salah duga dan salah orang ketika menetapkan siapakah para ahli waris nabi ini. Namun yang paling mudah untuk mengenalinya dari sikapnya.

MAksudnya bagaimana?Dari sikap mereka yang pandai menengahi dalam perbedaan dan perselisihan. Mereka diyakini sebagai ulama ahi waris nabi justu karena punya banyak ilmu dan tahu banyak hal dalam agama. Termasuk juga paham semua seluk-beluk semua perbedaan dan masalah khilafiyah. Dan pengetahuan yang luas ini menjadi jaminan sekaligus modal dasar dalam mendamaikan umat dan menengahi semua perselisihan. Karena dia tahu bahwa sikap saling hujat antar sesama umat Islam pastinya adalah sebuah kekeliruan dan kesalahan fatal.Tugas mereka menjelaskan bagaimana kedudukan perbedaan pendapat itu. Kenapa terjadi perbedaan dan bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan itu. Bukannya malah memihak salah satu sambil ikutan menghujat sesama umat Islam.

Sumber : Status Facebook Ahmad Sarwat

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed