by

UAS, Taqiyya dan NU

 

Teman (T): Cak, UAS sowan kiai-kiai NU. Sampeyan seneng kan?
Saya (S): Biasa saja. Fulitik. Isuk dele, bisa jadi sore tempe.
T: Sampeyan meragukan ketulusan UAS? 
S: Aku senang persowanan itu. Namun, hanya dia dan Gusti yang tahu tentang ketulusan itu. Terasa agak aneh saja melihat orang yang belum lama begitu bersemangat menggaungkan tegaknya negara Islam dan mencela keras rezim saat ini tiba-tiba berbalik 180 derajat. Namun jika Tuhan berkehendak seperti itu, siapa yang akan mampu menahanNya.

–***–

Sejujurnya, memoriku kembali mencoba menjumputi remahan tulisan menyangkut doktrin taqiyya dalam politik Islam beberapa hari lalu. Taqiyya dalam bahasa sederhana bisa diartikan “takut (atas sesuatu yang membahayakan dirinya), berhati-hati,”

Dalam penggunaan sehari-hari, kata tersebut bisa digunakan untuk menunjukkan seseorang yang tengah berpura-pura agar jiwanya selamat. Misalnya, seseorang berpura-pura mati agar selamat dari tangkapan musuh.

Posisi taqiyya sangatlah fundamental dalam Islam. Hampir semua golongan Islam sepakat atas hal itu dan mempraktekkannya. Sami Mukaram, dalam “At-Taqiyya fi ‘ l-Islam,” sebagaimana diterjemahkan Raymond Ibrahim, menyatakan;

“Taqiyya is of fundamental importance in Islam. Practically every Islamic sect agrees to it and practices it … We can go so far as to say that the practice of
taqiyya is mainstream in Islam, and that those few sects not practicing it diverge from the mainstream … Taqiyya is very prevalent in Islamic politics, especially in the modern era,”

Dalam diskursus politik Islam awal, taqiyya erat kaitannya dengan persekusi kelompok Sunni terhadap Syiah sebagai dampak perang saudara pertama (first Fitnah) dalam sejarah Islam tahun 656-661 masehi. Kelompok Syiah yang terus diburu dan coba dihancurkan oleh rezim Sunni di banyak negara berupaya agar tetap hidup dengan berbagai cara, salah satunya dengan menerapkan taqiyya.

Bisa dikatakan strategi ini erat kaitannya dengan upaya minoritas agar terlepas dari jerat persekusi mayoritas. Minoritas merasa perlu, bahkan wajib, untuk “berpura-pura,” agar tetap hidup.

Contoh penggunaan strategi ini, saya kira, dilakukan banyak teman-teman saya yang LGBT ketika menghadapi keluarga dan lingkungannya yang tak jarang mengancam jiwa mereka.

Dalam urusan konversi agama, saya pernah mendengar ada anak yang harus bertaqiyya, menyembunyikan agama barunya, karena takut dibunuh keluarganya.

Doktrin taqiyya di al-Quran nampak sangat kuat dalam konteks melindungi keyakinan serta keselamatan. Seorang Muslim dimungkinkan bertaqiyya seandainya dipaksa pindah keyakinan, apalagi jika sampai membahayakan jiwanya.

“Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar.” (QS. An-Nahl 16:106)

Dalam politik modern saat ini, konsep taqiyya lazim digunakan sebagian Muslim untuk menggangsir rezim politik yang dianggap tidak mencerminkan “syariat Islam,” dengan harapan bisa sesegera mungkin menegakkan Negara Islam.

Siapapun yang melakukan taqiyya dengan motif tersebut sangat mungkin telah menginstal asumsi-asumsi dalam benaknya, salah satunya “perintah” al-Quran untuk tidak menjadikan Kafir sebagai pemimpin mereka, atau mendukung rezim Muslim yang rela “mengotori” pemerintahannya dengan mengakomodasi Kafir sebagai pembantunya.

“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali.” (QS. Ali ‘Imran 3:28).

Anda boleh tidak percaya, namun ayat ini di mana beberapa ahli tafsir al-Quran klasik di kalangan Sunni, mendorong mereka perpandangan seorang muslim boleh menunjukkan persahabatannya di hadapan publik namun hatinya tidak boleh “bersahabat,”

Jarir al-Tabari (838-923 M) konon memaknai QS. 3:28 sebagai berikut.

“If you [Muslims] are under their [infidels’] authority, fearing for yourselves, behave loyally to them, with your tongue, while harbouring inner animosity for them… Allah has forbidden believers from being friendly or on intimate terms with the infidels in place of believers – except when infidels are above them [in authority]. In such a scenario, let them act friendly towards them,”

Ibn Kathir berpandangan, jika Muslim merasa terancam jiwanya oleh rezim yany dianggap zalim dan bersekutu dengan kafir, maka “…such believers are allowed to show friendship to the disbelievers outwardly, but never inwardly,”

Dia juga mengutip pendapat Abu Darda’ yang ada di Bukhari, “We smile in the face of some people although our hearts curse them,” Kathir juga mengamini pandangan al-Hasan bahwa taqiyya diperbolehkan sampai Kiamat tiba.

Para pengusung Khilafah di Indonesia memang pantas kuatir. Setelah keputusan politik Jokowi yang dengan berani membubarkan HTI, satu per satu aktifis yang punya kedekatan ideologis dengannya berurusan dengan hukum, sebut saja HRS, RS, AD, dan terakhir SM –ketua Alumni 212 wilayah Solo. Tiarap untuk sementara waktu, atau bahkan “berpura-pura bergabung” dengan rezim yang akan didongkel merupakan hal jamak dalam peperangan politik.

Peperangan merupakan salah satu dari tiga situasi di mana seorang Muslim bisa melakukan taqiyyah. Dua yang lain adalah ketika ia terlibat dalam merekonsiliasi konflik, dan pertikaian domestik (suami-istri).

Apakah Indonesia berada dalam situasi perang? Tentu tidak. Indonesia baik-baik saja secara umum. Peperangan dilakukan pemerintahan Jokowi terhadap korupsi dan ketidakadilan yang masih menganga di berbagai sektor.

Namun dalam perspektif kelompok pengusung Negara Islam –baik versi radikal maupun moderat, Indonesia adalah medan laga peperangan, sampai kelompok ini berhasil mengislami semua struktur sosial yang ada. Berbagai cara dilakukan untuk hal itu, dari pilihan mengangkat senjata hingga model taqiyya.

Merle Ricklefs dalam “Islamisation and Its Opponents in Java c. 1930 to the present,” menggambarkan aktifitas kelompok ini sebagai berikut; ‘influencing, infiltrating and taking over state, semi-state and civil society organisations, in which they are having considerable success. …Dakwahism [proselytism] continues powerfully at grass-roots level, supporting deeper Islamisation in all its forms.’

Kelompok ini juga tentunya terlibat dalam kontestasi menjelang pilpres. Peta politik organisasi-organisasi Islam sudah tergambarkan secara jelas. Semua tahu siapa merapat ke mana dan apa motivasinya.

Nahdlatul Ulama sendiri secara institusional bukanlah organisasi politik praktis, meskipun merestui rais aamnya menjadi calon wakil presidennya Jokowi. Secara kultural, organisasi ini ibarat samudera yang bisa menampung aneka air dari berbagai jenis dan kategori, dari radikal hinggal progresif.

Itu sebabnya NU sangatlah berwarna, termasuk munculnya tiga faksi dalam NU menyangkut aspirasi negara Islam. Pertama, kelompok konservatif, yakni mereka yang setuju Negara Islam. Kedua, kelompok moderat, tidak setuju negara Islam model ISIS dan HTI namun tidak keberatan dengan perda-perda bernuansa Islam. Dan ketiga, kelompok progresif, mereka yang menginginkan negara demokrasi yang menjamin kesetaraan seluruh keragaman identitas di dalamnya.

“Lha kalau UAS kelompok endi, Cak?” tanya kawanku.
“Embuh, takokno dewe!”
“Nek sampeyan?” ia bertanya kepo.
“Progresif lah….” jawabku
“Gak percoyo. Jangan-jangan sampeyan taqiyya,” 
“Oooo..asuuuuu,” 

 

(Sumber: Facebook Aan Ansori)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed