by

Tragedi Abdullah bin Zubair dalam Perebutan Khalifah

Imam Suyuthi menceritakan riwayat dari Ibnu Aisyah bahwa Abdul Malik berada di masjid dan tengah membaca al-Qur’an ketika berita ayahnya, Marwan, wafat. Itu artinya Abdul Malik akan menggantikan ayahnya sebagai khalifah. Abdul Malik menutup mushaf al-Qur’an seraya berpamitan: “Ini masa terakhir untukmu”.

Berdasarkan riwayat inilah kita bisa memahami bagaimana sejak menjadi Khalifah, Abdul Malik berubah total. Dari seorang alim pecinta al-Qur’an menjadi politikus yang tindak-tanduknya tidak lagi mengikuti petunjuk al-Qur’an. Misalnya, Imam Thabari dan Imam Suyuthi melaporkan Abdul Malik membunuh rivalnya, Amr bin Said bin al-Ash al-Ashdaq, yang di bagian atas sudah saya sebutkan seharusnya menjadi khalifah pengganti Marwan.

Rivalnya yang lain, Khalid bin Yazid, dibiarkan hidup karena mundur dari dunia politik dan memilih menjadi ahli kimia.

Abdul Malik diriwayatkan juga mengakui bahwa dia meminum khamr setelah ibadah. Abdul Malik juga yang mengirim al-Hajjaj bin Yusuf memerangi Abdullah bin Zubair hingga sahabat Nabi ini wafat dengan  tragis. Kekejaman Hajjaj di bawah komando Khalifah Abdul Malik sudah sangat melegenda dan tercatat dalam literatur keislaman.

Abdullah bin Zubair dikenal kealimannya sejak di masa Nabi. Setelah wafatnya Sayyidina Husain di Karbala dan wafatnya Yazid bin Muawiyah, Abdullah bin Zubair dibai’at oleh penduduk Mekkah sebagai Khalifah. Pertarungan perebutan khalifah ini berujung pada kekalahan Abdullah bin Zubair dan berjayanya Dinasti Umayyah.

Atas perintah Abdul Malik, al-Hajjaj berangkat dengan dua ribu pasukan mengepung Mekkah. Masih belum berhasil. Maka dating lagi bala bantuan lima ribu pasukan membantu Hajjaj. Mereka berhasil menduduki kota Thaif. Lantas mengalahkan pasukan Abdullah bin Zubair yang menyingkir.

Tiba musim haji dan Hajjaj memimpin sebagai amirul haj. Namun beliau tidak ikut thawaf dan tidak mengenakan pakaian ihram. Dia membawa pedang dan memakai baju besi. Abdullah bin Zubair tidak bisa berhaji karena tidak bisa masuk ke padang Arafah yang dikuasai Hajjaj.

Peperangan terjadi 6 bulan. Selama pengepungan itu, kota Mekkah dan juga Ka’bah dilaporkan menjadi terbakar akibat panah-panah api yang dilepaskan pasukan Hajjaj. Imam Thabari melaporkan tiba-tiba langit menggelegar dan kilat menyambar seolah melindungi Hajar Aswad dari serangan api panah pasukan Hajjaj.

Pasukan Hajjaj menjadi ragu, namun panglima Hajjaj terus memerintahkan mereka menyerang. Kiswah Ka’bah mulai terbakar, setelah itu kilat menyambar 12 pasukan Hajjaj yang mati seketika. Hajjaj meminta pasukannya untuk tidak mundur, meski banyak yang ragu melihat langit seolah melindungi Ka’bah.

Keesokan harinya ada berita kilat menyambar di sekitar Ka’bah dan kali ini sejumlah pasukan Abdullah bin Zubair terkena. Hajjaj yang mendapat laporan peristiwa itu segera bangkit dan berkata kepada pasukannya: “Lihat mereka kena sambar kilat. Kita dalam keadaan yang benar; dan mereka yang durhaka!” Ternyata sejak dahulu banyak yang mengklaim kebenaran seenaknya sendiri.

Melihat betapa perkasanya pasukan al-Hajjaj, sejumlah sahabat dan penduduk Mekkah mulai meninggalkan loyalitas mereka terhadap Abdullah bin Zubair dan bergabung kepada al-Hajjaj. Imam Thabari melaporkan 10 ribu penduduk Mekkah pindah mendukung Hajjaj, termasuk kedua anak Abdullah bin Zubair, yaitu Hamzah dan Khubayb.

Abdullah bin Zubair pergi menemui ibunya, Asma’ binti Abu Bakar, dan meminta saran. Asma’ yang merupakan putri khalifah pertama, Abu Bakar, meminta anaknya terus bertahan melawan. Abdullah bin Zubair mencium kening ibunya, dan kembai ke medan perang.

Imam Thabari meriwayatkan dengan lengkap dialog anak dan ibu ini. Mereka tahu bahwa hanya tinggal menunggu waktu saja Abdullah bin Zubair akan terbunuh. Sebuahdialog perpisahan yang sangat mengharukan. Dilaporkan bahwa kemudian Abdullah bin Zubair dibunuh oleh pasukan al-Hajjaj dengan cara kepalanya dipenggal dan tubuhnya disalib. Dan pasukan al-Hajjaj lantas berteriak mengumandangkan takbir.

Ibunya, Asma binti Abu Bakar, menyaksikan itu semua. Begitu juga dengan Abdullah bin Umar. Keduanya masing-masing adalah keturunan dua khalifah pertama dalam Islam: Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Mereka menyaksikan takbir disuarakan atas pembunuhan yang begitu kejam bertempat di tanah suci, kota Mekkah. Abdullah bin Zubair wafat saat usianya sekitar 68 tahun.

Sejarah politik kekhilafahan mengandung berbagai pengkhianatan, peperangan, perebutan kekuasaan hingga pembunuhan dan intrik-intrik politik. Ada yang berargumen bahwa sejarah demokrasi pun seperti itu. Benar, namun demokrasi tidak pernah mengklaim dirinya bagian dari ajaran kesempurnaan agama tertentu. Demokrasi dimulai dari ide manusia yang lemah dan banyak kekurangan namun kemudian belajar memperbaiki sistemnya dengan berkaca dari pengalaman sejarah.

Sistem khilafah kebalikannya: mengklaim sempurna karena dianggap bagian dari kesempurnaan ajaran Islam, tidak punya kelemahan, menjadi jawaban dari berbagai persoalan dan karena telah dianggap sempurna, maka tidak mau belajar dari kesalahan dan kekacauan yang terjadi.

Akibatnya, kita melihat demokrasi semakin lama semakin diperbaiki praktiknya; sedangkan sistem khilafah menutup diri dari perbaikan hingga akhirnya tumbang. Lakon khilafah selesai.

Maka, kita perlu terus ngaji sejarah politik Islam agar kita bersedia belajar dari kesalahan masa lalu dan terus berusaha membenahi kondisi umat. Itu hanya bisa kita lakukan jikalau kita mampu mengakui bahwa sistem pemerintahan khilafah itu tidak sempurna.

Bagaimana Anda bisa belajar dari kesalahan masa lalu kalau Anda merasa khilafah adalah solusi umat? Solusinya saja bermasalah, kok!

Sumber : facebook Nadirsyah Hosen

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed