by

Tidak Ada Political Will Terkait Kesehatan Nasional

Oleh: Erizeli Bandaro

Sedara saya terpaksa tutup dagangannya di Mall. “ Sepi dagangan sejak ada COVID-19. Pendapatan bulanan engga nutup biaya. Ya terpaksa tutup aja.” katanya. Sementara Jualan online juga semakin turun. Engga tahu kenapa. Ada juga yang kerja ojol. Dia semakin stress. Karena penumpang sepi. Walau ada PPKM tetapi permintaan gofood juga berkurang. Engga sebanyak sebelumnya. Sebisanya saya bantu. Tetapi juga bingung memberikan jaminan apa untuk masa depan mereka. Karena engga tahu kapan program pembatasan sosial ini selesai. Belum lagi dengar cerita teman yang punya usaha kuliner di kawasan wisata. Sebagian besar tengkurep.

Ekonomi Nasional kita itu digerakan oleh UMKM. Kita ambil contoh data sederhana saja. Jawa Barat termasuk provinsi yang strategis karena kedekatannya dengan Jakarta, dimana Jabar mampu memberikan kontribusi terhadap PDB nasional sebesar 13 persen. Dari 13% itu kontribusi UMKM terhadap PDRB sebesar 58 persen. Jakarta menyumbang 17,7 hingga 18 persen PDB nasional. Sebagian besar itu kontribusi UMKM. Jadi bayangkan. Dengan adanya PPKM, jawa barat dan jakarta benar benar lumpuh ekonominya. Belum lagi Bali yang 90% PDBnya dari sektor wisata, yang juga lumpuh dengan adanya COVID.

Pemerintah memang menghadapi dilema dalam membuat kebijakan sosial distancing ( PPKM). Apakah utamakan sehat atau ekonomi. Keduanya tidak mungkin dicapai dalam situasi normal. Harus ada salah satu yang dikorbankan. Jelas bagaimanapun PPKM ini akan segera berakhir dan diganti dengan prokes ketat. Ekonomi bisa lagi bergerak. Yang jadi pertanyaanya adalah hikmah apa yang bisa diambil dari adanya kasus COVID-19 ini.? Yaitu kita belum ada UU Sistem Kesehatan Nasional. Yang ada hanya Peraturan Pemerintah. Jadi bagaimana mungkin negara sebesar ini tidak punya UU sistem kesehatan nasional.

Apa yang dimaksud dengan UU Sistem kesehatan nasional ? Intinya ada tiga. Pertama. Perubahan gaya hidup masyarakat. Ini upaya promotif melalui Puskesmas. Termasuk perbaikan lingkungan hidup yang sehat. Daerah kumuh harus ditata agar memenuhi syarat kesehatan. Perbaikan sarana dan prasarana kesehatan. Kedua. Health security, yaitu keamanan kesehatan. Caranya? memperbanyak laboratorium riset untuk mengantisipasi penyakit menular. Ketiga, membangun sistem database kesehatan nasional. Termasuk perbaikan sarana dan prasarana kesehatan dan gaji nakes.

Sejak tahun 2003 sudah ada draft RUU SKN. Tetapi tidak pernah diajukan ke DPR. Barulah tahun 2019 masuk proglegnas DPR. Belum juga di bahas di DPR. Dengan adanya Pandemi COVID-19 ini adalah bukti bahwa sistem kesehatan nasional kita rapuh. Tidak ada data.

Sehingga pembangunan sarana dan prasarana kesehatan tidak terprogram. Akibatnya sedikit ada lonjakan pasien. RS langsung full bed. Penyebaran virus corona baru varian delta yang sangat cepat, itu bisa saja gaya hidup sebagian besar masyarakat kita tidak sehat. Makan asal kenyang. Imun rendah. Mengidap komorbid macam macam. Belum lagi lingkungan hidup yang sebagian besar kumuh yang memang tidak sehat.

Mengapa lambat sekali proses RUU SKN? Ini pasti masalah politik. Dan politik jelas bersinggungan dengan Lobi business yang tidak ingin RUU ini disahkan. Mengapa? bisa saja mengganggu agenda bisnis mereka. Entahlah. Jadi memburuknya dampak Pandemi dari segi kesehatan dan ekonomi, memang by design, sistem kita tidak mendukung. Pegangan Jokowi hanya PP , yang jelas lemah dihadapan kekuatan besar dibalik big pharma. Akui sajalah. Mari secepatnya DPR kerja dan segerakan RUU itu jadi UU. Itu demi rakyat kini, dan besok.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed