Kini, asumsi itu terbantah, ketika pers dalam negeri tidak takut dibrangus. Pers dalam negeri kini terbukti bisa terus terang seperti halnya pers luar negeri. Kini bisa dikatakan dengan yakin, mutu jurnalis asing, juga McBeth, tak harus lebih baik ketimbang jurnalis Indonesia.
Juga terus terang dalam mengutarakan pikiran tak niscaya membawa “kebenaran”. Bagaimana pun juga, kerja jurnalisme hanyalah tafsir. Kata-kata Nietzsche dalam hal ini bisa diingat: Nein, gerade Tatsachen gibt es nicht, nur Interpretation. Tak ada fakta, yang ada hanya interpretasi.
Jika tafsir McBeth atas prestasi Presiden Jokowi terasa negatif, itu karena ia memilih beberapa kasus yang (seperti sudah ditunjukkan media kita) merupakan salah langkah Pemerintah. Maka tak bisa dikatakan opininya “obyektif”. McBeth tidak mengemukakan prestasi Pemerintahan Jokowi yang tak kalah penting, bahkan setidaknya bagi saya lebih penting: turunnya angka kemiskinan (dari 11.46 % di tahun 2013 menjadi 10.12 % di tahun 2017), dan pengangguran terbuka (6.25% di tahun 2013 menjadi 5.50% di tahun 2017).
Pendek kata, kita tak perlu bertepuk tangan untuk tulisan pendek McBeth, dan sebaliknya tak perlu juga mengepalkan tinju.
Pelbagai survei menunjukkan tingkat kepercayaan rakyat kepada pemerintahan Jokowi tinggi, dan pada saat yang sama pelbagai pembahasan dengan bebas mengingatkan pemerintah agar lebih baik dalam merumuskan kebijakan, lebih terkoordinir, lebih efektif — meskipun dengan birokrasi yang berpuluh-puluh tahun mengenaskan.
Artinya: gading yang retak bukan gading yang patah. ***
Sumber : Status facebook Gunawan Muhammad
Comment