by

Temui Tuhanmu Di Rumah Bedeng

Dia ikut menonton penyembelihan hewan kurban di mesjid dekat lokasi proyeknya. Beberapa ekor sapi dan banyak kambing. Banyak orang sekitar datang membawa kupon. Sedangkan dia dan teman-temannya tidak punya kupon. Panitia masih sibuk membersihkan kulit hewan yang sudah disembelih,lalu mereka memotong-motong daging. Ada yang lain memasukkan ke dalam plastik.

Saat pembagian daging kurban tiba, setiap orang memberikan kuponnya untuk ditukar seplastik daging.
“Mas..anu… saya..saya bisa minta jatah?”
“kupon?”
“Ngga ada”.
“nggak bisa mas. harus punya kupon”.
Ya kupon dibagikan bagi warga setempat yang punya KTP. Sedangkan Ngadimin hanya buruh migran, nggak punya KTP setempat.

“Nggak ada jatah untuk kami para buruh to Pak?” tanya Ngadimin ke ketua uban mesjid itu.
“Aturannya begitu mas”.
“Apa nggak boleh kami ikut menikmati daging itu Pak?’ tanya teman Ngadimin.
“Bukan begitu..kami hanya ikut aturan. Nanti kalau sampeyan diijinkan yang lain akan ikut-ikutan. daging kurban nggak tepat sasaran.”
“Bukannya kami sasaran yang tepat pak?” Ngadimin memberanikan diri.
“Ada aturannya mas.”

Seseorang yang kelihatan terpelajar dan memperhatikan pembicaraan itu berusaha menengahi.
“Pak kenapa tidak diberikan beberapa bungkus untuk mereka?”
“Tapi mereka tidak punya kupon. Daging kan sudah dihitung mas”.
“Sedikitlah keluar dari aturan demi memberikan keadilan. “.
“Tapi kami kan harus bertanggungjawab mas. kami ditugaskan menjadi panitia, harus mengikuti aturan. Kami takut dosa mas.”
“Lihatlah mereka. para buruh migran. Jauh dari keluarga, kerja berat tiap hari. Fisiknya kelihatan kan? pantas mereka mendapatkan jatah.”
Panitia diam. Mereka masih memberikan jatah ke para pemegang kupon yang lain.
“Pak jangan terlalu formal.”

“Kalau nggak formal berarti kami nggak ngikuti aturan mas. Nanti infaq mesjid pun bisa diambil seenaknya kalau nggak pakai fomalitas”.
“Nggak usah jauh-jauh pak. Ini soal daging kurban saja. Bisa diatur kembali biar lebih banyak yang dapat bagian pak. Toh aturan yang dibuat juga untuk kebaikan bersama”.

Para kuli itu merasa tidak enak telah menyebabkan perdebatan yang panas diantara jamaah mesjid dan panitia kurban. Mereka telah terbiasa menjadi orang tidak beruntung.

Mereka pun segera pergi. Mencoba pergi ke mesjid lain dimana ada pembagian daging. Tapi lagi-lagi harus punya kupon sebagai syarat. Mereka akhirnya pulang menuju rumah bedengnya dengan perasaan sedih, tersisih.
Mereka tiduran di bedengnya sambil menghidupkan HPnya memutar lagu-lagu dangdut koplo. Melupakan sejenak derita.

Tidak diduga, orang yang tadi di mesjid mengusulkan daging diberikan untuk para kuli itu menyusul membawa beberapa bungkus daging datang ke bedeng mereka. Segera ia turun dari mobilnya.
“Mas ini bagian saya untuk sampeyan saja.”
“Lho Pak nggak usah Pak. Kami sudah terbiasa kok makan lauk seadanya, tanpa daging.”
“Ya sampeyan lebih membutuhkan. kami di rumah sudah banyak lauk”.
“Maturnuwun pak. Maturnuwun. Mudah-mudahan lancar rezeki bapak.”

Wajah Ngadimin kembali sumringah seperti tadi pagi ketika mau berangkat sholat ied. Dia ingat istri dan anaknya pasti sedang makan gule dari daging kurban. Dia dan teman-temannya akan menikmati makanan yang berbeda siang ini.

Pengantar daging itu pun merasa ada sebongkah rasa bahagia di lubuk hatinya yang tak kunjung pergi. Serasa ia telah menemui Tuhannya di rumah bedeng itu.

Sumber : Status Facebook Budi Santoso Purwokartiko

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed