by

Tegas Gibran Berantas Pungli

Oleh: Nia Megalomania

Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka, mencopot seorang lurah dari jabatannya karena diduga terlibat dalam praktik pungutan liar dengan modus pemungutan zakat dan sedekah kepada sejumlah warga. Ketegasan seorang Gibran pun menjadi pembicaraan. 

“Harus membiasakan tindakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa, apalagi salah,” kata Gibran saat ditanyai wartawan mengenai tindakannya mencopot Lurah Gajahan. Pungli itu menyertakan surat bertanda tangan Lurah Gajahan melalui surat dengan kop bertulisan Paguyuban Perlindungan Masyarakat (SATLINMAS) Kelurahan Gajahan yang berlogo Pemerintah Kota Surakarta.

Praktik pungli tersebut sesungguhnya sudah terjadi sejak lama, dan tak pernah ada tindakan tegas dari pemerintah kota. Gibran pun menegaskan, bila berkaitan zakat, hanya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang berwenang memungutnya. Bukan Linmas apalagi Lurah.

Berita itu membukakan mata banyak orang tentang praktik-praktik serupa yang mungkin juga terjadi di tempat-tempat lain. Mayoritas masyarakat mengapresiasi tindakan tersebut sebagai lompatan besar Pemerintah Kota Surakarta dalam melakukan good governance. Sebagian besar lainnya berharap tindakan good governance yang dilakukan Gibran segera dicontoh banyak institusi pemerintah lainnya. 

Namun agak mengagetkan juga ketika ada spanduk-spanduk gelap di Kelurahan Gajahan yang mendukung Lurah “S”yang dicopot. Mereka seolah membenarkan tindakan-tindakan pungli yang terjadi di masyarakat. Banyak yang menduga tindakan ini politis, didukung pihak-pihak yang mungkin berkepentingan.

Sekarang mari kita periksa aturan-aturan hukum yang berkait pungli Linmas itu. Aturan terbaru tentang Linmas Kota Surakarta diatur dalam Peraturan Walikota Nomor 12 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Masyarakat, yang ditandatangani oleh Walikota Surakarta saat itu, FX Hadi Rudyatmo. Pasal Pasal 19  ayat 1 Perwali tersebut mengatur tentang Partisipasi Masyarakat dalam Perlindungan masyarakat:

“Masyarakat dapat berpartisipasi dalam Perlindungan Masyarakat secara sukarela peduli terhadap ketenteraman, ketertiban, dan kenyamanan lingkungan.”

Lalu dilanjutkan pada ayat 2 : 

“Partisipasi masyarakat dapat berupa: a. menyampaikan informasi terkait gangguan ketertiban, ketenteraman dan kenyamanan lingkungan; dan/atau b. pendanaan. “

Pasal ini sering disalahtafsirkan bahwa masyarakat dapat membantu penyelenggaraan perlindungan masyarakat melalui pendanaan. Pasal ini pula yang dijadikan pembelaan bagi pihak-pihak yang membenarkan pungli oleh satuan linmas tersebut. Padahal pasal tersebut merujuk kepada kegiatan perlindungan masyarakat yang bersifat umum, dan bukan pendanaan satuan linmas.

Selanjutnya Pasal 20 Perwali nomor 12 Tahun 2018 membahas tentang pendanaan. Ditulis dalam pasal 20 tersebut:

“(1) Pendanaan dalam rangka Penyelenggaraan Perlindungan Masyarakat digunakan untuk kegiatan: a. operasional Perlindungan Masyarakat; dan b. pemberdayaan anggota Satlinmas.

(2) Pendanaan Perlindungan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah yang dialokasikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(3) Selain Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pendanaan Perlindungan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dapat bersumber dari pendapatan lain yang sah dan tidak mengikat.

(4) Pendanaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah.”

Merujuk pada pasal 20 tersebut, menjadi jelas bahwa pendanaan Satlinmas adalah tanggung jawab Pemerintah Daerah, dalam hal ini adalah Pemkot Surakarta. Meski pasal tersebut juga memperbolehkan pendanaan yang bersumber dari ‘pendapatan lain yang sah dan tidak mengikat’, tetapi tentu saja penggunaannya bukan untuk donasi bagi anggota satuan Linmas, apalagi zakat. Dalam ayat satu jelas tertulis pendanaan tersebut digunakan untuk operasional dan pemberdayaan anggota Satlinmas.

Kedua pasal tersebut, jelas memperlihatkan kesalahan yang dilakukan oleh Paguyuban Linmas Kelurahan Gajahan. Ini masih ditambah dengan kesalahan BESAR yang dilakukan oknum Lurah Gajahan yang menandatangani surat permohonan shodaqoh dan zakat yang dibuat Paguyuban Satuan Linmas Kelurahan Gajahan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu mengeluarkan Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tertanggal 28 April 2021 tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian Gratifikasi terkait Hari Raya. Dalam Surat Edaran yang ditandatangani oleh Ketua KPK, Firli Bahuri itu, KPK mengingatkan para penyelenggara negara dan pegawai negeri bahwa “permintaan dana dan/atau hadiah sebagai tunjangan hari raya (THR) atau dengan sebutan lain oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara baik secara individu maupun atas nama institusi merupakan perbuatan yang dilarang dan dapat berimplikasi pada tindak pidana korupsi.” Demikian tertulis pada butir ke 4 (empat).

KPK juga meminta penyelenggara negara dan pegawai negeri agar memberikan teladan yang baik bagi masyarakat dengan tidak melakukan permintaan, pemberian, dan penerimaan gratifikasi dengan memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19 untuk melakukan perbuatan koruptif. Dalam butir kedua surat tersebut jelas tertulis:

Surat edaran itu diawali dengan penekanan bahwa perayaan hari raya “sepatutnya tidak dilaksanakan secara berlebihan yang menyebabkan peningkatan pengeluaran yang dibutuhkan, peka terhadap kondisi lingkungan sosial, dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Demikian tertulis pada butir pertama. 

Menilik hal tersebut, apa yang dilakukan Lurah Gajahan jelas tidak menunjukkan kepekaan terhadap kondisi sosial. Apalagi bila mengingat masa pandemi ini, terjadi penurunan ekonomi masyarakat yang sangat signifikan. Pendapatan masyarakat menurun drastis. Banyak usaha gulung tikar atau kembang kempis, tetapi Lurah gandekan justru menambah beban pengusaha dan masyarakat dengan permohonan sedekah dan zakat yang bukan merupakan kewenangannya.

Dari semua peraturan perundang-undangan tersebut, kita melihat semakin jelas poin-poin kesalahan Lurah Gajahan. Ia tak memahami aturan-aturan tentang Penyelenggaran Perlindungan Masyarakat. Kedua, ia jelas melanggar apa yang ditulis dalam Surat Edaran KPK.  Mulai dari ketidakpekaan pada kondisi lingkungan sosial hingga tak mematuhi aturan yang berlaku.

Tentu menjadi mengherankan bila ada masyarakat atau warga yang membelanya. Ini artinya masyarakat tersebut tidak paham aturan-aturan perundang-undangan, sekaligus tidak peka pada kondisi pandemi, yang nyata-nyata melemahkan kemampuan ekonomi masyarakat. Menjadi lebih tidak pas lagi jika ternyata, pembelaan warga terhadap Lurah gajahan itu mengandung nuansa politis. Ini artinya kepentingan kelompok telah berada di atas kepentingan pribadi. Belum lagi bila ditemukan motif-motif ‘cuci tangan’, bahwa pembela adalah bagian dari sistem pungli itu sendiri, meski seringkali berdalih karena kasihan satuan Linmas tidak mendapat THR.

Mungkin penolakan TNI AL atas dana yang dikumpulkan masyarakat untuk membeli kapal selam dapat kita jadikan perbandingan. Kepala Dinas Penerangan TNI AL (Kadispen AL) Laksamana Pertama Julius Widjojono, menjelaskan bahwa  dana tersebut terpaksa ditolak karena ada persyaratan dan prosedur untuk membeli alutsista, termasuk kapal selam. Pembelian harus dilakukan melalui prosedur yang ada. 

Bisa kita lihat di situ, pengumpulan dana oleh masyarakat tidak serta merta dapat diterima negara meski untuk masalah pertahanan negara seperti pembelian kapal selam. Ada prosedur tersendiri. Seperti juga penyelenggaraan Perlindungan Masyarakat, meski dimungkinkan mendapat pendanaan dari masyarakat, tetapi penggunaannya jelas, aturannya jelas, dan ada aturan-aturan yang dikeluarkan khusus, sebelum pendanaan dari masyarakat dapat dilakukan.

Akhirnya, kejadian tersebut memberi kita seharusnya memberi sedikit perenungan. Betapa di era pandemi ini kita diharapkan memiliki kepekaan pada kondisi sosial di sekitar kita. Kedua, betapa usaha-usaha untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan berorientasi untuk melayani masyarakat patut kita dukung. Bukan dengan menentangnya untuk alasan-alasan kepentingan kelompok. Ini termasuk pula agar ASN/ PNS dengan paradigm lama yang menganggap pemungutan shodaqoh bagi Linmas menjelang hari raya adalah sesuatu yang wajar. Ingat, biasakan benar bukan membenarkan yang biasa.

Ketiga, mungkin kita perlu merevisi aturan-aturan lama yang memungkinkan celah untuk melakukan pemungutan di masyarakat. Dan terakhir, mungkin ini yang terpenting, kesadaran masyarakat untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan yang bersih dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat jangan dipadamkan oleh demo mendukung pejabat yang melakukan kesalahan.

Semua ini demi Lompatan Besar bagi Solo….

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed