Oleh : Dimas Budi Prasetyo
Biasanya saya memberi keterangan foto di bagian akhir. Karena tulisan ini agak istimewa, saya akan memberikannya di awal tulisan.
Foto karya Mas Hafidz ini diambil ketika saya mengantarkan istri wisuda PhD di Taiwan tiga tahun lalu. Wajah saya yang aslinya buluk, semakin kelihatan makin burik, karena kebanyakan makan debu jalanan dan terkena sinar matahari.
Bekerja sebagai kurir antar, serabutan demi menopang hidup keluarga. Pun saya lakukan itu demi istri tetap glowing. Tak apa-apa, meskipun konsekuensinya saya yang jadi mirip trenggiling.
***
Tiba-tiba saya mendapat pesan masuk dari seorang teman, yang berisi sebuah link atau tautan. Saya kemudian membukanya. Berita viralnya tentang seorang suami, yang membiyai kuliah istrinya hingga memperoleh gelar dokter spesialis.
Tak hanya itu, selain hal tersebut di atas, sang suami harus rela menjalani hubungan jarak jauh dengan sang istri yang berkuliah beda kota. Sang suami lah yang juga merawat anak-anak dengan tetap mencari nafkah. Memasak untuk anak-anak, menyiapkan bekal buat mereka. Keren, kan?
Melihat sang suami itu, saya jadi ingat sosok laki-laki. Sosok itu juga sudah melakukannya, bahkan sepertinya lebih dulu daripada sang suami Bu Dokter tersebut. Tapi sayangnya, sosok itu nggak viral.
Siapa sih sosok itu? Bentar, kibasin poni dulu.
***
Setelah menikah, dengan tetap komitmen sebelum menikah adalah tidak menjalani hubungan jarak jauh, saya meninggalkan pekerjaan mapan untuk mendampingi istri melanjutkan studi S-3 atau PhD di Taiwan. Selain karena komitmen, membersamai istri adalah kewajiban suami.
Seorang wanita yang menuntut ilmu di tempat jauh, sangat butuh didampingi mahramnya.
Meskipun konsekuensinya, saya harus meninggalkan posisi yang nyaman di perusahaan, kemudian berakhir dengan bekerja serabutan. Jika saya tidak meninggalkan posisi itu, mungkin saat ini, seperti kawan-kawan satu angkatan Management Trainee lainnya, saya sudah berada di posisi Supervisor atau bahkan Manajer.
Apa saya menyesali? Tidak, sama sekali tidak.
Rumah tangga bagi kami adalah soal kesepakatan bersama. Bukan tentang balapan lebih baik antara suami atau istri. Rumah tangga adalah tentang menuju sebuah garis akhir yang jadi cita-cita bersama, yang mana lelaki sebagai suami yang harus menentukan tujuannya.
Dan, tujuan rumah tangga kami adalah memberi manfaat sebanyak mungkin. Tidak hanya pada kami, keluarga, tetapi juga pada sekitar.
Melihat sejauh yang kami tempuh hingga saat ini, semoga Allah benar-benar memberikan kasih sayang-Nya pada kami.
***
Saya tidak tahu pasti, tetapi melihat fenomena di sekitar, sepertinya ada beberapa laki-laki bergelar suami, justru tidak senang memiliki istri yang cerdas.
Saya tidak asal berbicara. Karena beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah status dari seorang laki-laki yang kebetulan punya jumlah follower puluhan ribu, mengatakan bahwa tidak perlu punya istri cerdas. Alasannya, nanti sang istri akan jadi istri pembangkang dan tidak mau menuruti suami.
Kemudian komentar-komentar dari mayoritas pihak lelaki pun bernada sama. Intinya, takut jika istrinya pintar kemudian melawan suami.
Hmm, begini. Ini menurut pendapat saya, ya.
Mempunyai istri cerdas itu lebih banyak manfaatnya, lho, bapak-bapak dan mas-mas sekalian. Saya jabarin satu per satu, ya.
Pertama, istri cerdas berpotensi melahirkan anak-anak yang cerdas. Sudah pernah baca jurnal penelitian yang berkaitan dengan fungsi kromosom X belum? Yang menentukan kecerdasan anak itu, mayoritas genetiknya dari ibu. Selain itu, ibu itu madrasah pertama anak-anak. Masa kalian tidak mau anak-anak kalian punya guru pertama yang cerdas?
Mbok ya kita kaum laki-laki harusnya sadar diri. Kita itu cuma urunan bahan saja, Pak. Urusan anak itu, mau tidak mau kita harus akui peran ibu lebih besar dari kita kaum bapak.
Kedua, istri cerdas itu banyak membantu. Bayangkan kita sedang kesusahan, istri cerdas akan hadir ikut membawa atau menawarkan solusi. Bukan malah meriwuki alias merepoti. Istri cerdas akan berpikir kreatif bagaimana rumah tangga bisa tetap berjalan dengan baik.
Ketiga, istri cerdas itu bisa diajak atau jadi partner diskusi yang menarik bin asyik. Rumah tangga itu akan hidup jika dua pilar utama, yakni suami istri berjalan dengan baik secara beriringan. Tidak berjalan atau berat sebelah. Perlu keseimbangan antara otak logika laki-laki dan kelembutan perasaaan wanita.
Nah, kalau istri sampeyan tidak bisa jadi partner diskusi yang menarik karena tidak sampeyan beri akses pendidikan yang baik, yang ada isinya istrinya sampeyan nesu-nesu tok, Pak! Kalau nggak gitu, pelampiasannya update nggak jelas di medsos atau gosip sama tetangga komplek. Mau punya istri seperti itu?
Terakhir, istri cerdas itu bisa menempatkan diri jika suaminya bisa dan pantas dihormati. Tidak perlu khawatir istri kalian tidak menghormati jika mereka cerdas. Caranya gimana? Ya kita sebagai laki-laki tampilkan wibawa dan jadi panutan yang baik!
Didik istrinya, bimbing mereka. Caranya? Ya jadi contoh yang baik. Ingin mereka pintar, ya kita juga harus pintar. Ingin dan menuntut istri cerdas tapi kita sendiri malas belajar. Ingin istri baik tapi kita tidak memberi contoh yang baik. Ingin istri nurut sama kita, tapi kita tidak cukup berwibawa untuk dihormati.
Begitulah, Pak. Istri itu tergantung bagaimana suaminya kok. Kenapa? Karena kita, laki-laki adalah imamnya. Kita yang memimpin mereka, bukan sebaliknya. Dan, kualitas kita akan terlihat dari bagaimana kita memperlakukan istri.
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya.”
(HR. At-Tirmidzi, 3/466; Ahmad, 2/250 dan Ibnu Hibban, 9/483. Hadits dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.)
Sumber : Status Facebook Dimas Budi Prasetyo
Comment