by

Tahlilan 7 Hari Buya, Dalam Perspektif Teologi dan Politik

Oleh : Nurbani Yusuf

Terlalu sempit jika tahlilan dipandang hanya dalam perspektif fiqh, kemudian dicap bid’ah karena tidak adanya tuntunan dan uswah dari nabi saw dan salaf saleh—- bagi imperium Walisongo, tahlilan juga bermakna politis, sebab bisa berubah menjadi media ampuh untuk meng-hegemoni, mengkooptasi dan memudahkan Islamisasi. Cara cerdas mengalahkan lawan.

*^^^^^^^*

Siapa bisa larang orang mencintai Buya. Mereka mencintai Buya dengan caranya, seperti halnya saya mencintai Buya dan ulama Persyarikatan lainnya dengan cara yang aku pahami.

Mas Uda Alfi menulis: “Kemarin malam saya mendapat kiriman foto dari kawan-kawan BANSER Bantul yang berziarah ke Makam Buya Syafii.

Sampai hari ini, hampir seminggu dari wafatnya Buya, para pelayat dari berbagai kalangan tiada henti mengunjungi, berziarah ke makam Buya, mendoakan Buya.

Orang baik selalu dicintai orang banyak.

*^^^^^*

Yang perlu dipahami adalah, Tahlilan juga bernilai politis. Di era Walisongo tahlilan efektif untuk Islamisasi. Di era sekarang efektif untuk NU isasi— jadi tahlilan bukan hanya semata urusan fiqh. Inilah Politik Dakwah!

Dengan tahlilan itu orang NU begitu fleksibel, kenyal dan efektif — dengan tahlilan sebagai media, NU bisa melakukan apapun, di manapun tanpa ada halangan — tahlilan pantas dilakukan di masjid, mushala, lapangan, hotel bahkan istana atau pendopo. Dengan tahlilan, NU bisa masuk berdakwah ke ruang-ruang strategis yang tak tersentuh dan dijamah oleh kelompok kelompok lain termasuk Muhammadiyah. Sebab halaqah sangat elitis.

Tahlilan adalah ijtihad tingkat dewa— yang kemudian dipahami sempit karena dipandang tidak ada contoh dari Nabi saw. Sebab ada yang tak bisa bedakan antara mahdhoh dan ghairu mahdhoh. Tahlilian bukan termasuk ibadah mahdhoh, tapi ghairu mahdhoh sebab bermakna media, wasilah atau semacam metode dan strategi berdakwah kepada publik.

Bukankah ada yang berijtihad dengan cara lain semisal : takziah virtual yang menurut saya sangat elitis dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang perkotaaan terdidik. Jadi apa bedanya tahlilan dan takziah virtual jika keduanya dilakukan untuk mengenang si mayat?

*^^^^*

Tapi tahlilian lebih merakyat, karena bisa diikuti oleh banyak orang, efektif dan efisien sungguh cara cerdas yang humanis. Bahkan tahlilan lebih perfect dibanding takziah virtual yang hanya ngobrol tentang kebaikan almmarhum, yang kemudian dilanjutkan dengan testimoni atau menulis buku.

Lahu Al FAATIHAH —- 🙏🙏🙏🌹🌹🌹😍

Sumber : Status Facebook @nurbaniyusuf

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed