by

Swasembada Pangan Era Orba, Rapuh dan Fatamorgana

Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada dekade 1970-an. H.S. Musa dalam Implementasi Kebijakan Strategis untuk Peningkatan Produksi Padi Berwawasan Agribisnis dan Lingkungan suntingan Suparyono dan kawan-kawan (2001) menyebutkan, Indonesia mengimpor 2 juta ton beras pada 1977 dan itu mencapai sepertiga dari beras yang tersedia di pasar internasional (hlm. 25).

Situasi serupa terjadi pula pada 1980. Menurut data FAO yang diolah Siswi Puji Astuti dalam tulisan berjudul “Analisis Impor Beras di Indonesia Periode 1980-2010” (2011), impor beras Indonesia juga nyaris menyentuh angka 2 juta ton pada 1980 (hlm. 42).

Selepas itu, kondisi pangan nasional berangsur membaik, hingga akhirnya Indonesia meraih swasembada pada 1984.

Namun, apakah ketahanan pangan nasional sudah benar-benar aman dan tidak perlu impor lagi? Atau, swasembada beras hanya fatamorgana yang tidak berlangsung lama?

Rapuhnya Ketahanan Pangan

“Dulu, tanggal 10 November 1984, kita didaulat menjadi swasembada pangan. Pada saat itu masih ada impor 414 ribu ton,” kata Menteri Pertanian RI Amran Sulaiman usai membuka Rapat Kerja Nasional Pertanian di Jakarta (15/1/2018).

Berdasarkan data FAO, seperti dikutip dari tulisan Suwarno berjudul “Meningkatkan Produksi Padi Menuju Ketahanan Pangan yang Lestari” dalam Jurnal PANGAN (September 2010: 235), hal itu memang benar.

Meskipun swasembada, Indonesia ternyata masih mengimpor beras pada 1984, kendati jauh lebih kecil daripada tahun 1977 atau 1980.

Tahun 1984 itu, produksi beras nasional mencapai angka sekitar 27 juta ton, sementara konsumsi beras dalam negeri sedikit di bawah 25 juta ton. Jadi, masih ada kurang lebih 2 juta ton stok beras cadangan kendati masih harus melakukan sedikit impor demi menjaga stabilitas ketahanan pangan.

Entah terselip kepentingan lain atau memang demi kemakmuran rakyat Indonesia, yang jelas pemerintahan Orde Baru memang meraih swasembada pangan saat itu, diakui FAO, dan bahkan masih mampu menyumbang 100.000 ton beras untuk rakyat Afrika.

Indikator ketahanan pangan, dikutip dari C.P. Timmer dan W.P. Falcon dalam Food Security in Indonesia (1991), oleh pemerintah Orde Baru dimaknai pada stabilitas harga beras. Artinya, ketahanan pangan dinilai aman selama harga beras dapat dijangkau masyarakat.

Maka dari itu, sejak medio 1970-an, rezim Soeharto menerapkan “strategi kembar” yang meliputi jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek berupa stabilisasi harga beras pada tingkat yang terjangkau, sedangkan jangka panjang yakni mencanangkan target swasembada mutlak.

Target tersebut akhirnya tercapai pada 1984. Namun, ketahanan pangan di bawah pengelolaan Orde Baru ternyata rapuh. Swasembada yang dibanggakan itu, sebut Pantjar Simatupang dan I Wayan Rusastra dalam Kebijakan Pembangunan Agribisnis Padi (2004), hanya bertahan lima tahun (hlm. 32).

Pemerintah salah perhitungan karena mengartikan ketahanan pangan terlalu sempit. Hingga medio 1980-an, pembangunan terfokus pada stabilitas harga beras saja. Harapannya, pemerataan akan muncul dengan sendirinya. Namun, ketahanan pangan yang benar-benar kokoh ternyata tidak sesederhana itu.

Kembali Mengimpor Beras

Memasuki dekade 1990-an, Indonesia terpaksa kembali mengimpor beras dari negara lain. Bahkan, pada 1995, ketergantungan terhadap impor beras melambung hingga mencapai angka sekitar 3 juta ton.

Situasi beranjak parah lantaran kala itu krisis ekonomi mulai mengintip kawasan Asia, yang kemudian benar-benar melanda Indonesia pada 1997 dan 1998. Data BPS dan Kementerian Pertanian menyebutkan, produksi beras nasional tahun 1998 hanya sekitar 33 juta ton, sedangkan konsumsinya mencapai lebih dari 36 juta ton.

Inilah yang menyebabkan pemerintah harus mengimpor lebih banyak beras dari luar negeri. Pada 1999, berdasarkan data FAO, Kementerian Pertanian, dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dihimpun Astuti (2011), impor beras Indonesia nyaris menembus angka 5 juta ton.

Sementara menurut riset Simatupang dan Rusastra (2004), rekor impor beras Indonesia tertinggi sepanjang zaman terjadi pada 1998 dengan jumlah sekitar 6 juta ton (hlm. 32). Perpaduan krisis ekonomi, pangan, juga politik, membuat Soeharto jatuh dari kursi kepresidenan.

Perekonomian Indonesia, khususnya dalam impor beras dan ketahanan pangan, mengalami masa-masa sulit dan mulai relatif membaik pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak 2004. Pada 2005, menurut data BPS, Indonesia hanya mengimpor kurang dari 190 ribu ton beras meskipun sedikit naik menjadi 438 ribu ton pada 2006.

Tahun 2007, untuk mengatasi kenaikan harga di pasar domestik, terjadi peningkatan impor beras yang cukup besar, yakni 208 persen atau mencapai lebih dari 1.406.000 ton (Astuti, 2011: 43). Namun, dua tahun selanjutnya, impor beras kembali stabil, di bawah 260 ribu ton.

Dari pengalaman itu, yang patut diperhatikan adalah persoalan definisi swasembada pangan

Apabila ukuran swasembada adalah sama sekali tidak mengimpor beras, maka, Indonesia sudah meraih pencapaian itu pada 2016 dan 2017 lalu.

Namun, jika hanya berdasarkan stabilitas harga beras—seperti versi Orde Baru dulu—dan masih mengimpor beras dari negara lain, swasembada kala itu boleh dibilang hanya fatamorgana yang terbukti cuma nikmat sesaat.

Sumber : Status Facebook Zulfikar Mahdanie

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed