by

Status Jenderal Suryo Prabowo Merendahkan Kartini dan Kaum Perempuan

Oleh: Muhammad Jawy
 

Letnan Jendral (Purn) Johannes Suryo Prabowo membuat status yang menurut saya, merendahkan Ibu Kita Kartini, Kartini yang hanya cuma bisa “curhat” dan istri ke-4, seolah jauh lebih rendah daripada wanita TNI. Ditambah lagi dengan frasa penutup “jangan mau cuma “dibelakang””.

Tidak hanya Kartini yang diserang, tapi sebenarnya juga wanita secara umum.

Saya belum purna membaca pemikiran Ibu Kita Kartini, setidaknya ada beberapa poin yang saya kurang setuju, dan ada poin yang saya setuju dengan beliau.

Misalnya yang menarik buat saya, adalah supaya wanita bisa memiliki kemampuan untuk pengembangan diri, self learning, percaya diri, solider, bisa memotivasi diri, dalam bingkai sikap religius, cantik dan bijaksana. (Zelf-ontwikkeling, Zelf-onderricht, Zelf-vertrouwen, Zelf-werkzaamheid, Solidariteit, Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid.)

Kritik beliau dalam perkara religi, misalnya ketika mempertanyakan betapa sedikit Quran atau materi pembelajaran Islam yang diterjemahkan dalam bahasa Nusantara waktu itu, sehingga membuat orang kesulitan untuk mempelajari apa yang ingin dicintainya. (Pada masa itu akhir abad 19 terjemahan Quran bahasa Nusantara masih sangat jarang, dan sulit didapat. Mungkin hampir sama dengan kondisi di Eropa sebelum era Marthin Luther tahun 1500an untuk Bible)

Bukan berarti Kartini adalah wanita paling hebat di negeri ini, melebihi pahlawan seperti Tjoet Nja’ Dhien, Tjoet Nja’ Meutia, Martha Christina Tiahahu, Nyi Ageng Serang. Tidak perlu kita menilai mana yang lebih perkasa, mana yang lebih hebat, karena mereka semua adalah pahlawan negeri ini yang seharusnya kita hormati, tanpa kita harus menyetujui semua pendapat mereka.

Kartini meninggal dalam usia yang sangat muda, 25 tahun, beberapa hari paska melahirkan putra pertama (semoga beliau mendapat pahala syahid). Usia 25 tahun dalam kondisi Indonesia terjajah, jangankan wanita, laki2 pun banyak yang tidak bisa mengenyam pendidikan menengah, pemikiran Kartini memang sangat menginspirasi banyak wanita lain.

Kita hormat kepada wanita TNI sebagaimana kita hormat kepada pahlawan tempur wanita kita terdahulu, tapi bukan berarti kita boleh melecehkan para wanita yang berperang dengan pena-nya. Bahkan dalam banyak kasus pena itu bisa jauh lebih tajam daripada peluru dan pedang. Hormatnya kita kepada wanita berpendidikan tinggi, tidak menjadikan kita memiliki pandangan hina kepada ibu-ibu yang sejak sebelum Subuh sudah mempersiapkan dagangannya di pasar sayur.

Legacy orang tidak melulu harus dibuktikan dengan pangkat, atau lama tahun dia memegang senjata, Bahkan menjadi ibu rumah tangga penuh, jika disertai dengan dedikasi yang tinggi, itu menjadi jalan bagi legacy-nya. Tidak harus dikenal luas oleh masyarakat, karena bisa jadi orang yang tulus dan berdedikasi tidak dikenal di kampung dunia, tapi nanti akan menjadi orang terkenal di kampung akhirat.

Biarlah para wanita bisa memilih jalannya masing-masing tanpa harus meninggalkan kodratnya sebagai orang yang dirindu suaminya dan ditunggu didikan oleh anak-anaknya. Mau jadi peneliti, ustadzah, dokter, perawat, polwan, pedagang, marketing, ibu rumah tangga, dll itu semua adalah pilihan profesi yang harus kita hormati dan kita dukung.

21 April 2016.

 

(Sumber: Facebook Muhammad Jawy)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed