Oleh : Mimi Hilzah
Ongkos pendidikan hari ini sangatlah mahal, Bund. Serius. Kemarin pas anak kami mendaftar jalur mandiri ke 3 universitas, total yang saya bayarkan hampir sejuta. Itu masih lebih baik daripada pas kakaknya kalap mendaftar ke entah berapa banyak universitas yang membuka jalur mandiri sekitar 2 tahun lalu. Harga berkisar mulai 200rb sekali mendaftar sampai setengah juta rupiah. Tahun ini saya dengar ada universitas yang mematok harga 750rb untuk biaya pendaftaran jalur mandiri. Dengan catatan, itu baru uang pendaftaran seleksi. Belum tentu keterima sebab presentase jumlah pendaftar tidak dibatasi sedangkan slot kursi hanya sekian persen.
Itu urusan now. Belum berhitung biaya pendidikan jika diakumulasi sejak mereka pertama masuk sekolah. Saya hanya bisa membatin; sukur pas anak butuh, uangnya ada…
Untuk mereka yang duitnya tidak berseri, ini jelas bukan masalah. Waktu saya sedikit mengeluh soal uang masuk universitas yang di kisaran 45 juta (belum biaya lain-lain), Hilmi nyeletuk seorang kawannya rencananya akan mendaftar di sebuah universitas swasta dengan tarif masuk 800 juta. Seketika saya merasa miskin hahahaha… Lalu dilanjut pembayaran SPP satu semester di kisaran 50 juta rupiah.
Oh Tuhan ya Maha Kaya, kok susah sekali menghayati bahwa kita ini sudah cukup kaya setelah mendengar hal-hal semacam itu
Maka apa? Maka sibuklah saya nyerocos soal pentingnya melek finansial sejak dini. Sukur-sukur jika kita adalah orang yang bergelimang warisan, punya aset tanah, emas, deposito yang cukup untuk membayar biaya-biaya memuluskan impian anak-anak soal pendidikan. Tapi kemudian jadi bullshit, sebab tidak semua orang bernasib mulus dan baik. Ada nasib baik, tidak semua punya kekuatan mendisiplinkan diri jika itu soal uang. Ada nasib baik, pinter manajemen uang, eh punya keluarga besar yang tuntutannya segambreng. Macam-macam ujian hidup tiap orang.
Saya lantas jadi merenung. Di titik ini saya merasa cukup mempersiapkan, meski tetap tidak bisa memungkiri bahwa nilainya belum cukup baik. Bagaimana dengan orang tua yang abai atau memang tidak punya cukup kemampuan untuk mempersiapkan biaya pendidikan yang semakin hari semakin naik-naik ke puncak gunung? Masih banyak mereka yang gajinya pas-pasan, mau kerja lain umur udah lewat. Mau buka usaha, modal nggak ada. Belum yang single fighter, support system nggak jalan, semua harus diperjuangkan sendiri. Apa mereka ini tidak boleh bermimpi anak-anak mereka bisa mendapatkan pendidikan di institusi pendidikan yang berkualitas?
Duluuu, anak-anak semua kami sekolahkan di sekolah negeri. Uang pembangunan tak seberapa, uang SPP gratis, buku dipinjamkan sekolah, paling membayar biaya LKS. Dan les-les tambahan dari guru kalau ada.
Makin ke sini, macam-macam jenis sekolah muncul. Yang paling mengagumkan biayanya ya di antaranya sekolah swasta bertajuk boarding school atau sekolah berlabel agama. Biayanya sayangnya tidak sesuai nafas agama soal kesederhanaan dan saling membantu. Uang masuknya ada yang bisa mengalahkan uang mahar calon mempelai perempuan untuk satu anak. Uang SPP bisa melebihi belanja bulanan yang setengah mati dihemat anggarannya. Tapi masya Allah, sekolah-sekolah mahal tak kekurangan peminatnya. Bukti bahwa ada banyak sekali orang tajir di negara ini.
Cara menyiasatinya mungkin adalah memasukkan mereka di sekolah negeri sampai tingkat SMA, anggaran besar disiapkan untuk tingkat universitas. Atau kita memang ingin kualitas terbaik sejak mereka di usia belia, sebaliknya kita yang harus bekerja lebih keras untuk membayarnya. Atau penghasilan sekian tahun pas-pasan saja, tapi soal tabungan pendidikan itu harus jadi prioritas. Kerja terus nggak pernah liburan, siap-siap menerima komentar macam itu.
Nilai uang hari ini rasanya keciiilll sekali… Kadang saya merasa miris. Sekali saya mengirim biaya pendidikan ke anak-anak pesantren yang orang tuanya tidak mampu, itu bisa cukup membiayai 5-6 anak. Sementara anak sendiri di sekolah swasta, uang itu hanya cukup untuk satu anak. Uang SPP tok, belum lain-lain.
Lalu saya ingat anak-anak yang tahun ini tidak lulus jalur seleksi normal utbk dan kebetulan penghasilan orang tuanya pas-pasan, bagaimana kabar mereka? Jangankan membayar uang masuk sekian puluh juta, uang semester sekian juta, membayar biaya pendaftaran seleksi pun bisa jadi pusing tujuh keliling mencari uangnya.
Jangan mudah nyeletuk; Makanya Bund, punya anak tu yang pinter biar bisa dapat beasiswa… Tidak semua anak cemerlang di bidang akademik, thus tidak semua anak pintar beruntung bisa mendapatkan beasiswa.
Membayangkan standar biaya pendidikan turun jauh rasanya mustahil, ya. Ini mungkin yang membuat banyak orang tua sangat berambisi melihat putra-putrinya berprestasi sebab berhitung biaya yang sudah mereka keluarkan. Besok-besok standar prestasi itupun menjadi jebakan tersendiri, kalau sudah lulus harusnya langsung dapat pekerjaan yang hebat. Sogok sedikit gpp, sogok banyak juga mau diapa. Yang penting terlihat bahwa usaha tidak mengkhianati hasil. Padahal…
Kalau tidak jadi apa-apa, ketakutannya adalah mendengar cibiran sekitar. Bukan mengecek, apakah si anak sudah bahagia dengan pilihannya? Kalau tidak, adakah impian lain yang sebaiknya mereka kejar sebab hidup cuma satu kali. Biar terlambat, biar bukan bagian dari cita-cita orang tua, biar seisi dunia mencibir pilihan itu, tapi yang penting si anak bisa menjalani hidup seperti yang diinginkannya. Punya orang tua selegowo itu yang tidak pandai mengungkit-ungkit pengorbanannya, merekalah anak-anak yang beruntung.
Bagus kalau anak-anak tidak terbebani saat berusaha menyelesaikan misi prestasi dari orang tuanya. Sukur-sukur jika pilihan ilmu yang mereka tekuni adalah bukan kamuflase dari impian orang tuanya.
Kita yang rasanya semakin jauh dari mencetak generasi yang percaya kepada dirinya sendiri dan bahagia hati juga pikirannya. Mampu berdaya dan kuat membuat orang lain ikut berdaya. Dan melupakan kalimat yang sudah sangat merasuki diri dan pikiran kita; bahwa tanpa kekuatan uang yang banyak, masa depan bukan apa-apa. Tanpa koneksi dan privilege, we are nothing.
Lalu tanpa sadar (atau sadar?), sebagian orang tua sibuk mengulang catatan biaya-biaya apa saja yang harus dibayarkan oleh si anak secara bertahap ke orang tua, dalam bentuk bakti, pengorbanan bahkan status. Tidak peduli, menghidupi dirinya sendiri saja masih payah. Karenanya ada banyak orang dewasa yang secara kasat mata sehat, berpendidikan, berpenghasilan cukup tapi sebenarnya tetap rendah diri oleh sebab memikul beban yang terlalu banyak. Hidup bukan lagi untuk dinikmati dan dijalani dengan tenang dan senang. Hidup semacam perjalanan panjang yang sangat melelahkan karena isinya hanya membayar dan membayar, entah sampai kapan.
Allahu…
Menjadi orang tua yang itu berat. Tapi menjadi anak pun tak kurang beratnya.
Sumber : Status Facebook Mimi Hilzah
Comment