“Si Vis Pacem Para Bellum”, sebuah istilah yang berarti bersiaplah perang bila perdamaian adalah apa yang anda inginkan. Ya..,mereka baru mau berpikir apa itu berdamai bila tahu kita kuat.
Pernah suatu saat dulu, dia mengusulkan nama Pangab dan DPR menyetujuinya. Di kemudian hari, ternyata jabatan sebagai Panglima tetinggi tidak otomatis mengendalikan.
Tidak selalu sama antara apa yang dijanjikan UU dengan fakta politik.
Bila pilpres keduanya adalah tentang bergerak tanpa halangan, lima tahun pertamanya harus bicara tentang kaderisasi. Ada cukup waktu merekrut mereka yang berpangkat mayor dan letkol dan di masa jabatan keduanya, merekalah yang kemudian akan duduk pada posisi strategis.
Menjadi sangat logis ketika lima tahun pertamanya presiden tidak pernah menanggapi ajakan tawuran. Presiden tahu bahwa dia belum kuat. Presiden tahu bahwa aparat yang seharusnya adalah bagian dari kekuasaannya dapat berbalik dalam tempo sangat singkat ketika dia salah langkah.
Sama seperti jagoan kampung, bila ajakan kelahi tak ditanggapi, membuat emosi dengan banyak cara agar kita marah dan terjebak terus dilakukan. Berusaha membuat Presiden marah dengan gebukin pihak yang lemah dan tak mampu melawan, mereka lakukan. Mereka sengaja sering persekusi minoritas.
Presiden memilih kerja dan kerja. Ada dua poin didapat, kepercayaan diperoleh dari rakyat yang berakibat pada cara mengeliminir para orang kuat menjadi semakin nekad dan membuat fondasi kuat dalam ekonomi ketika pembangunan sudah merata.
“Ini sudah satu tahun periode keduanya, mana bukti Presiden jadi berani? Justru sebaliknya, mereka makin nekad to?”
Di tahun 2018, revisi UU tentang melibatkan TNI dalam pemberantasan terorisme telah di teken oleh DPR. Perpres tentang tata cara mengaturnya juga sudah di teken dan infonya hanya tinggal menunggu penomoran.
Perpres No 73 tahun 2020 tentang Kemenko polhukam kini membuat BIN langsung berada di bawah Presiden.
Siapa Danjen Kopasus, pasukan elit angkatan darat yang baru saja di lantik beberapa hari yang lalu? Mayor Jendral Mohamad Hasan. Dia sudah bertugas di Paspampres tahun 2014-2016 dan kemudian naik pangkat menjadi Komandan Grup A.
Grup A adalah pasukan khusus untuk pengawalan Presiden. Dia bertugas selama dua tahun yakni 2016-2018. Dekatkah dengan Presiden? Hmm…
Angkatan Laut juga memiliki pasukan khusus yang sangat dibanggakan. Mayor Jendral TNI (Mar) Suhartono adalah Komandan Korps Marinir saat ini.
Siapa dia? Tahun 2017-2018 dia adalah Komandan Pasukan Pengamanan Presiden dimana pernah dijabat oleh Mayor Jendral Andika Perkasa yang kini adalah Kepala Staf Angkatan Darat. Dekat dengan Presiden?
Demikian pula Kabareskrim, jabatan top marktop dan sangat strategispun ditempati oleh orang yang dikader Presiden sejak lima tahun lalu. Komjen Listyo Sigit Prabowo.
Tahun 2011 secara tidak sengaja, menjadi Kapolres Solo saat Jokowi adalah wali kota dan secara kebetulan pula Marsekal TNI Hadi Tjahjanto yang saat ini Pangab adalah Dan Lanud Adi Sumarmo Solo. Di tahun 2014-2016 Listyo adalah Ajudan Presiden.
“Apa hubungannya sih???”
Bukan tentang kapan para begundal kurang ajar itu akan dihabisi, ini tentang bagaimana membuat mereka mundur teratur dan berdamai dengan keadaan.
Bukankah mereka adalah saudara kita yang hanya sedang linglung? Tak sepantasnya kita bersorak hanya karena mereka pernah salah jalan dan kita habisi, bukan seperti itu.
Mereka yang kemudian sadar meski masih terpaksa, adalah saudara yang masih bisa kita ajak pulang. Ajaklah…!
Lain hal bila mereka tetap ngeyel dan tidak punya niat kembali pada pertiwi. Mereka akan menerima ganjaran setimpal sama dengan para pemberontak dan pengkhianat negara di masa lalu.
“Yakin Jokowi sudah kuat?”
Sekali lagi, memukul dengan kekerasan bukan tentang apa yang sedang direncanakan Jokowi selama lima tahun ini.
Mendapatkan dan bila perlu memaksakan perlunya dukungan maksimal dari seluruh komponen birokrasi dan aparatur negara dengan kaderisasi dari orang-orang terdekatnya selama bertahun tahun adalah tentang kekuatan psikologis yang harus didapatkannya.
Tak ada lagi ngeyel-ngeyelan dan membuat berat langkah pemerintah saat bangsa ini ingin berlari kecang membangun negara.
Bukankah HTI sudah mampu dibubarkan?
Bukankah cara halus Jokowi sudah mampu membuat kutub HRS berantakan ketika dia harus kabur ke Arab?
Bukankah ketika mereka kemudian bersatu dalam kubu AB di Ibu Kota dan tiba-tiba kacau balau tanpa kutub lagi saat KAMI dideklarasikan?
Bukankah KAMI seperti berubah menjadi gerakan lucu-lucuan tatkala semua berantakan termasuk kasus dubes Palestina? Dan itu kebetulan semata? Welleehhh…!!
Bukankah 212, gnpf atau apapun yang mereka miliki sebagai herakan perlawanan tak lagi memiliki perekat sebagai pemersatu?
Bukankah partai milik sang putra Orde Baru telah direngut darinya tanpa mereka mampu berbuat apapu selain memaki?
Bukankah mbah tak jujur dan suka ingkar janji atas nasar jalan kaki Jakarta Jogja juga telah didepak dari Partai yang dulu pernah dia dirikan?
Bukankah MUI seolah tak lagi bergigi dan hanya sekedar jadi lembaga guyon?
Bukankah KSPI juga demikian?
Adakah saat ini sosok yang mampu membuat oposisi bersatu?
Klan SBY akan masih tetap menjadi pemilik harta terbanyak, tak diragukan. Namun Demokrat menjadi Partai gurem, lihat saja.
Dan semua kejadian-kejadian itu hanya faktor kebetulan belaka? Tak ada kaitannya dengan cara si kurus ini berstrategi?
Speechless? Naif? Mbuhh…!!
Ya…,kita masih merasa Jokowi tak melakukan apapun sehubungan dengan kegaduhan kaum intoleran bersembunyi di balik agama karena kita ingin menyaksikan pemerintah yang tegas. Pemerintah yang akan gebuk tanpa pandang bulu. Dan itu memang tidak terjadi sampai hari ini.
“Tapi, petugas keamanan masih seolah berpihak pada mereka dalam banyak kasus. Mereka diam dan materai 6000 selalu menjadi alat bila sudah saling lapor! Ga dengar apa mereka malah saling gebuk di Ciracas?”
Februari yang lalu, Jendral Moeldoko hadir dalam acara Banser. Moeldoko secara implisit menyatakan bahwa Banser adalah Komponen Cadangan, apa maksudnya?
Ucapannya yang dilakukan secara terbuka adalah bentuk dukungan tak langsung. Dalam ranah pllitik, itu dapat diartikan, bergeraklah bila mereka yang bertugas menyapu tak hadir dan sampah sudah keburu berserakan.
“Berarti, negara sengaja mengadu rakyatnya?”
Terlalu jauh pikiran seperti itu. Moeldoko tahu kepada siapa dia bicara. Demikian pula Banser, mereka tahu makna apa yang tersirat dalam dukungan Moeldoko. Keduanya bukan anak kemarin sore.
Disamping itu, sangatlah mustahil seorang Jokowi ingin berakhir dengan kenangan rakyatnya sebagai Presiden penakut apalagi kejam oleh mereka yang minoritas.
Terlalu prematur menyatakan Jokowi sebagai Presiden penakut hanya karena belum bertindak dan terkesan membiarkan kesewenang-wenangan meraja dari para bandit berkedok agama itu.
Masih ada cukup waktu meski harus di sela dengan bencana Covid ini. Namun, berharap Jokowi main hajar hanya karena dia sudah semakin kuat, jelas tak akan pernah terjadi.
Jokowi bukan Soeharto, Jokowi adalah ayah. Tak ada seorang ayah yang akan tega menyakiti, apalagi membantai anak-anaknya sendiri.
Menyapa, menegur dan kemudian mengajak berbicara adalah tipe Presiden yang satu ini. Ada kala ketika dia marah, mungkin proses hukum adalah jalan terbaik. Manusiawi. Namun membuatnya murka dan lepas kontrol, jelas tidak.
Sekali lagi bagi mereka yang berharap Jokowi akan gebuk tanpa ampun dengan kekuatan besar seperti layaknya pemberontak harus diperlakukan, jelas tak akan terjadi. Bukan itu esensi dikejar.
Sebentar lagi, Perpres tentang keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme dan UU Omnibus Law pasti diumumkan. Itu adalah tanda “Si Vis Pacem Para Bellum” sebagai sebuah makna betapa kuatnya Jokowi dikabarkan.
Masih sangsi? Saya tidak. Selalu ada jalan bagi kebaikan, apalagi demi orang banyak.
.
.
.
RAHAYU
Sumber : Status Facebook Karto Bugel
Comment