by

Sepenggal Kesaksian Kasus 27 Juli 1996

Aku semakin mempercepat jalan dan terkadang berlari agar cepat sampai ke lokasi. Jalanan sepi tak ada kendaraan lewat. Kulihat orang-orang dengan wajah cemas berjalan cepat menuju ke arah yang sama dengan aku.

Sesampainya di Megaria aku berhenti. Jalan menuju Markas PDI sudah ditutup aparat, tepat di bawah jalan layang kereta api. Kulihat aparat membersihkan jalan di depan markas itu dengan semprotan air. Terlihat satu mobil dan satu sepeda montor terbakar habis. Asapnya masih mengepul. Bunyi sirene ambulan meraung-raung, mereka keluar dari arah areal itu. Aku menduga mobil ambulan itu membawa korban peryebuan.

Di halaman Megaria kulihat seorang laki-laki menangis histeris. Dia berteriak-teriak kalau di dalam gedung DPP PDI banyak jatuh korban. “Teman kami pasti mati. Mereka mendapat serangan senjata tajam dari kelompok Suryadi. Jumlahnya banyak, berambut cepak dan berbadan tegap,” teriaknya dengan menangis histeris.

Awal aku datang di sekitar Megaria masih belum begitu banyak massa. Tidak sampai satu jam sudah ratusan memenuhi tempat itu. Secara spontan terjadi mimbar bebas. Mereka berteriak-teriak mengecam penyebuan yang terjadi pagi itu.

“Pembunuh,”

“Soeryadi antek Soeharto,”

Kemarahan Rakyat

Nyanyian Mega pasti menang, pasti menang, bergema berkali-kali

Ketika massa sudah memenuhi jalan Megaria suasana semakin panas. Entah siapa yang memulai mereka melempari aparat Brimob yang berjaga di sana. Batu-batu berterbangan di udara. Aku juga tidak tahu batu itu diambil dari mana. Terlihat di jalan beraspal itu penuh batu hasil lemparan massa.

Tak satupun muncul pimpinan struktural PDI untuk memimpin massa. Yang berorasi dan membakar massa adalah adalah para aktivis, yang terbiasa turun ke jalan.

Benar-benar tanpa kepemimpinan. Aku sempat bertemu dengan Budiman. Dia datang dari arah rumah Ali Sadikin, jalan Borobudur. Pagi itu Budiman sedang ada agenda rapat dengan Arief Budiman, Marsilam Simanjuntak, dan tokoh-tokoh oposisi lainnya. Dia datang bersama Arief Budiman, intelektual dari Satya Wacana Salatiga. Arief Budiman sempat beberapa menit menyaksikan pertempuran di kawasan Megaria itu.

“Bud, kalau ini nggak ada yang pimpin bisa terjadi kerusuhan. Aku berharap dirimu menemui pimpinan PDI. Mereka harus pimpin massa. Tidak boleh dibiarkan begitu saja. Aku takut aparat akan provokasi,” usulku ke Budiman.

Budiman adalah satu-satunya bisa bertemu dengan Taufik Kiemas dan Pimpinan DPP PDI. Budiman sering berapat dengan mereka.

“Hampir setiap pertemuan dengan pimpinan PDI mereka selalu mengatakan People Power. Sekarang ini saat yang tepat,” ungkap pemuda kutu buku ini.

Budiman mengiyakan usulku. Kami berdua rapat di tengah jalan depan Megaria, pada saat bersamaan di atas kami batu-batu berterbangan. Sungguh sebuah pertempuran di jalanan yang energinya tidak habis-habis.

Melihat situasi seperti ini instingku mengatakan kalau ini akan menjadi kerusuhan besar. Aku sependapat dengan apa yang dikatakan Munir beberapa hari yang lalu di Kantor YLBHI.

“Aku mendapat informasi dari intelejen. Ini sangat valid. Mimbar Bebas akan dibubarkan karena semakin hari menciptakan efek bola salju. Tercipta kesadaran rakyat untuk berani melawan Rezim Soeharto. Caranya, kantor diambil alih dengan paksa. Kalau perlu jatuh korban. Dan akan diciptakan kerusuhan. Dan kalian akan jadi kambing hitam. Dan selesai sudah,” ucap Munir dengan serius kepadaku dan Yokobus Eko Kurniawan.

Informasi penting dari Munir sempat kami bahas. Saat itu aku sendiri yang memimpin rapat. Yang hadir antara lain Budiman Soedjatmiko, Yokobus Eko Kurniawan, Anom Astika, Fransiska Ria Susanti, Nezar Patria, Ignatius Damianus Pranowo, Budi Sanyoto, Rubaidah, Wilson, Bimo Petrus, Garda Sembiring, Buyung Husnansyah, Sereida Tambunan, Ary Trismana.

Terjadi perdebatan apakah Militer akan menyerbu tempat itu dengan menunggangi kelompok Soeryadi atau tidak? Ada yang mengiyakan ada yang menolak. “Tidak mungkin mereka menyerbu. Rakyat bisa marah dan acara mimbar bebas itu sudah membesar,” ujar Pranowo.

Posisiku saat itu meyakini kantor itu akan diserbu. Tapi aku sendiri tidak mampu membayangkan kerusuhannya seperti apa?

Dan begitu kuatnya mempengaruhi pikiranku saat itu. Aku berusaha mengkoordinir kawan-kawan yang di lapangan. Setiap kawan-kawan yang kujumpai di lapangan aku instrusikan agar bisa memimpin massa. Mereka harus mencegah konsentrasi massa yang berlawan itu menjadi kerusuhan. Konsentrasi massa dijaga selama mungkin terkonsentrasi di sekitar Megaria, agar mampu menyeret massa lainnya.

Mereka harus berorasi program politik PRD: Cabut Dwi Fungsi ABRI dan 5 Paket UU Politik! Mereka harus juga meneriakkan Slogan: Satu Perlawan Satu Perubahan!

Kalau gelombang perlawanan massa ini bisa bertahan lama dan tidak cepat menjadi kerusuhan akan menjadi gelombang perlawanan yang dahsyat.

“Bung, banyak orang berambut cepak di lapangan. Mereka terus memprovokasi massa untuk mengambil alih kembali DPP. Aku yakin ini akan gagal karena tidak ada kepemimpinan. Pasti terjadi kerusuhan,” teriakku kepada Garda Sembiring yang kutemui di depan Kantor YLBHI.

Garda pun segera membantu aku untuk meneruskan instruksiku. Sungguh sulit mengkoordinir kawan-kawan di lapangan. Situasi massa begitu panas.

Aku memutuskan untuk masuk Kantor YLBHI. Barangkali aku bisa lebih berkonsentrasi untuk memikirkan langkah apa yang harus kuambil menghadapi situasi seperti ini.

Di dalam Gedung YLBHI juga dipenuhi tokoh-tokoh oposisi. Bambang Wijayanto (Ketua YLBHI), Teten Masduki, dan Munir sibuk memfasilitasi aktivis yang saat itu berkumpul di sana.

Sekitar Pukul 15.00 WIB Soetarjo Suryoguritno, salah satu pengurus PDI Pro Mega datang ke markas bantuan hukum itu. Ia berembug dengan beberapa tokoh oposisi untuk membuat rencana mendatangi Markas PDI. Dan rencana itu dijalankan, tetapi aparat menghalangi mereka.

Propaganda Hitam

Aku kecewa, karena mereka hanya ingin melihat Kantor itu saja. Ternyata tidak ada langkah untuk memimpin perlawanan massa di jalanan.

“Bung, coba tolong baca Koran Harian Berita Yudha. Tiga hari berturut-turut memuat berita tentang PRD,” ujar Garda Sembiring sambil nafasnya tersengal-sengal karena berlari menemui aku.

Kubaca dengan teliti koran milik angkatan bersenjata itu. Mulai dari tanggal 25, 26 dan 27 juli, di halaman depan memuat deklarasi PRD. Mereka juga mengutip Manifesto PRD cukup panjang lebar. Menganalisa struktur organisasi PRD dan menyimpulkan mirip PKI. Mereka juga menyebut ayah Budiman adalah mantan anggota PKI. Mereka ingin membuat opini PRD adalah penjelmaan PKI.

Rupanya militer sudah menyiapkan pra kondisi untuk memukul PRD. Mereka ingin menghentikan langkah PRD berjuang bersama elemen-elemen radikal di tubuh PDI melawan Rezim Soeharto. Bukan hanya di Jakarta, di berbagai daerah PRD bahu membahu dengan elemen maju PDI mendorong radikalisasi massa untuk melawan Rezim Soeharto.

Di Surabaya, Herman Hendrawan menjadi orang kepercayaan Sutjipto (Ketua DPW PDI Jatim). Dia menjadi penasehat utama urusan mobilisasi dan perlawanan aksi massa. Di Salatiga, PRD Semarang dan Yayasan Geni Salatiga berkoalisi dengan Struktur PDI Cabang Salatiga berhasil memobilisasi massa. Dan itu meluas ke berbagai kota lainnya.

Setelah membacan Koran itu, keyakinanku terhadap info Munir bertambah kuat. Aku juga teringat lagi, kalau dini hari tadi, sekitar Pukul dua pagi Wartawan Gatra mewawancarai Budiman. Rasanya terlalu dipaksakan wawancara itu, seperti tidak ada waktu lagi. Mereka bertanya tentang idiologi PRD? Kenapa struktur organisasi PRD ada underbouw nya? Bagiku itu jangal. Dan perasaan Budiman juga sama. Kami memberi makna akan ada peristiwa luar biasa. Entah kapan?

Keyakinanku begitu kuat. Dan itu kukatakan kepada Garda. “Bung cari kertas sebanyak mungkin. Dimana yang masih aman untuk kita bersembunyi dan berkoordinasi?” tanyaku ke Ketua SMID Jabotabek itu.

Garda langsung bergegas mencari kertas di salah satu ruangan. Dia mengatakan kalau di dekat IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Politik) Lenteng Agung masih ada kos-kos-an anggota SMID Jabotabek yang belum terdeteksi aparat.

Karena kertas yang diperoleh Garda sedikit, terpaksa kusobek kecil-kecil. Aku menuliskan instruksi agar semua kawan-kawan segera menuju ke alamat yang kutulis itu. Semua harus ditarik dari areal Megaria dan sekitarnya.

Dengan cara ini aku berharap semua anggota PRD bisa ditarik dari areal “pertempuran”. Saat itu tidak ada alat komunikasi. Kalau ada hanya pager yang kubawa. Dan itu hanya satu arah, informasi tersentral ke aku. Situasi begitu kacau dan kawan-kawan tercerai-berai ke segala tempat.

Baru saja aku selesai menulis surat intruksi itu, tiba-tiba terdengar orang-orang berlarian masuk ke Gedung YLBHI. “Ada kejadian apa bung Munir?,” tanyaku ke dia.

“Massa berhasil dipukul mundur. Mereka lari ke arah RSCM dan RS Corolus,” jawabnya.

Munir mengatakannya itu dengan terbata-bata. Nafasnya memburu karena baru saja berlari, menghindari pukulan aparat yang membabi-buta. Jari kelingkingnya diperlihatkan ke aku.

“Mungkin tulang jariku patah . Aku berusaha menolong anak SMA tapi turut terkena gebukan aparat,” ujarnya.

Dan tiba-tiba terdengar bunyi bummm! Suaranya begitu keras, rasanya bunyi ledakan itu tak jauh. Aku berlari keluar untuk memeriksa asal bunyi ledakan itu.

Ternyata sebuah bus tingkat PPD jurusan telah dibakar. Entah siapa yang memulainya. Apinya sudah hampir memenuhi sepertiga bus naas itu. Sungguh luar biasa, begitu banyaknya massa memenuhi jalan Diponegoro menuju RS Corolus. Baru pertamakali ini aku melihat lautan massa begitu banyak. Mereka dalam keadaan marah karena Rezim Soeharto benar-benar merebut Markas PDI dengan cara kekerasan.

PDI Tidak Siap

Dan aku yakin sebentar lagi jalan yang mereka lalui akan terjadi kerusuhan. Aku membayangkan akan ada banyak gedung terbakar. Aparat sepertinya membiarkan agar kerumunan massa itu berubah menjadi amuk. Mereka tidak lagi mengejar dan balik kembali ke areal Kantor DPP PDI.

Kulihat Garda dan beberapa anggota SMID Jabotabek sudah menjalankan instruksiku. Dalam keadaan kacau itu dia menyebar surat instruksiku.

Kuajak beberapa kawan segera cabut dari Gedung YLBHI, salah satunya Narso, seorang kawan yang bertugas mengorganisir kaum miskin kota. Aku berjalan melewati jalan Borobudur. Sesampainya di pertigaan antara Jalan Tambak dan jalan yang menuju ke Matraman, terlihat massa sudah merusak gedung-gedung sepanjang jalan itu dengan lemparan batu. Gedung-gedung yang berdinding kaca tak ayal hancur.

Aku berpikir gedung itu bukan simbol militer juga bukan simbol pemerintah tapi dirusak juga, Padahal massa yang marah sangat politis dan mereka marah kepada aparat dan rezim ini.

Selama lebih sebulan ini, Mimbar Bebas yang terjadi telah mampu memobilisasi massa dan memberi kesadaran politik kepada rakyat. Kesadaran politik perlawanan kepada rezim Orde Baru yang otoriter. Mimbar bebas itu adalah respon massa yang menolak Konggres Medan, 20 Juni 1996. Konggres itu telah mendongkel kekuasaan Megawati, dan menempatkan Soerjadi. Kongres itu adalah kreasi pemerintah.

Bahkan, terjadi aksi besar dan terjadi Peristiwa Gambir. Peristiwa Gambir membuat kesadaran baru anti militer di kalangan massa. Massa merasakan langsung tindak kekerasan yang dilancarkan aparat.

Mereka berhasil membuat aksi hari ini berujung amuk. Dengan begitu ada alasan rezim menindak. Dan aksi itu akan mengecil, tidak akan membesar lagi,

Itu adalah keahlian Orde Baru. Aksi massa yang punya potensi semakin membesar akan digembosin dengan kerusuhan. Setelahnya, pasti aparat akan ada represi. Pasti akan ada yang ditangkap dan harus bertanggungjawab atas kejadian ini.

Seperti tahun 1974, yang terkenal dengan Malari. Terjadi kerusuhan di Senen. Yang melakukan bukan mahasiswa. Kerusuhan itu rekayasa, dan Hariman cs diadili. Setelahnya gerakan menjadi surut.

Hari ini, 27 Juli 1996, rakyat yang tumpah di sekitar Megaria dan jalan Diponegoro ini harusnya dipimpin. Harusnya PDI berani memimpin. Atau mungkin MARI (Majelis Rakyat Indonesia) yang terdiri dari berbagai kelompok oposisi dapat memainkan peran. Massa yang berlawan ini bila terpimpin dan tidak terjadi amuk akan berpotensi membesar, dan akan menyeret gelombang perlawanan lebih besar lagi di berbagai daerah.

Sayang, PDI tidak siap. Mungkin mereka tidak berani. Kelompok oposisi juga tidak siap. Tidak ada yang berani saat itu

Sepanjang jalan yang kulalui aku selalu berteriak-teriak sendiri.

“Sayang!”

“Benar-benar sayang!”

“Gerakan hari ini akan segera surut!”

“Sayang!”

“Sekarang lah kesempatan terbesar untuk meruntuhkan kekuasaan Soeharto!”

Tiba-tiba aku teringat sekretariat. Aku segera menghubungi Anom yang memang berada di sana. Kebetulan ada telpon umum koin. “Nom segera evakuasi seluruh dokumen ya. Di sana ada siapa?” pintahku ke dia.

“Di sini ada Yudi dari Manado. Ok, kita akan sewa bajai saja. Dokumen akan dibawa ke rumah saudaranya yang terletak di belakang Showroom Mobilindo MT Haryono,” jawab Anom.

Aku juga memberi informasi seluruh kejadian hari ini. Aku minta Anom menginformasi kejadian ini lewat internet. Internet adalah satu-satu alat komunikasi kita untuk mengkampanyekan kejadian hari ini.

Sejenak aku beristirahat. Aku tidak tahu kapan bisa menemukan angkutan umum untuk menuju Lenteng Agung. Sepanjang jalan yang kulalui aku tak menemukan angkot atau Metro Mini. Benar-benar situasi kacau-balau.

Jakarta hari ini terbakar. Dari kejauhan aku bisa melihat asap hitam menjulang ke langit. Tidak hanya satu lokasi, aku memperkirakan sepanjang jalan Kramat Raya, baik yang ke arah Matraman atau ke arah Senen.

Aku baru menemui angkutan umum setelah sampai di Kampung Melayu. Di sini seperti tidak ada kejadian apa-apa. Semua berjalan normal. Situasi di Salemba tidak mampu berimbas sampai ke Kampung Melayu. Aku tidak tahu apakah televisi belum memberitakan. Atau Koran sore seperti Harian Terbit belum memberitakan. Kalau menyiarkan pasti aparat Militer dan Deppen menyensornya.

Dalang Kerusuhan

Ruangannya tidak terlalu besar. Mungkin 5 X 4 m2. Hanya satu ruangan. Persisnya ruang untuk tidur. Tapi malam itu ditempati orang melebehi kapasitasnya.

Satu persatu kawan-kawan berdatangan di tempat itu. Sobekan kertas surat instruksiku bisa menjangkau hampir semua kawan-kawan.

Waktu itu belum ada media sosial. Organisasi kami juga belum ada yang mempunyai hp,– walau saat itu sudah muncul hp generasi pertama.

Kawan-kawan memberi laporan kejadian di lapangan. Dari laporan kawan-kawan terkumpul data gedung-gedung yang terbakar. Gedung Persit Kartika Candra Kirana, merupakan gedung pertama yang diamuk dan dibakar. Wisma Honda di sebelah gedung Persit juga dibakar. Gedung Departemen Pertanian delapan lantai juga dibakar. Yang di daerah Matraman adalah Gedung Bank Swansarindo Internasional. Sedangkan di Jalan Salemba Raya, Showroom Auto 2000 dibakar beserta seluruh mobil yang dipamerkan, dan Bank Mayapada. Kemudian arah Salemba ke Senen gedung yang dibakar adalah Gedung Darmek dan Telkom

Saat itu diputuskan bahwa sekretariat Kebon Baru harus dikosongkan dari dokumen. Sekretariat SMID Jabotabek juga harus dikosongkan. Kami juga harus mencari sebanyak-banyaknya tempat persembunyian. Kami menyebutnya bunker.

Dan malam itu juga kami berpindah tempat. Untuk pusat komando kami menempati kos-kos-an Dedy Beruang. Masih di daerah sekitar IISIP.

Selain memutuskan untuk menyelamatkan dokumen partai, kami juga berhasil membuat mekanisme koordinasi. Kami benar-benar sedang menyiapkan organisasi bergerak secara klandestin (bawah tanah).

Secara bersamaan, kami juga masih memutuskan membentuk struktur agen-agen selebaran. Kami masih memproduksi selebaran untuk tetap membangkitkan perlawanan rakyat.

Pada tanggal 28 Juli, sehari setelah peristiwa itu, kami masih berani mendatangi markas di Jalan F, Kebon Baru,Tebet itu. Belum ada sikap resmi pemerintah terhadap terbakarnya gedung-gedung di sekitar Matraman dan Keramat Raya. Kami berhasil membawa beberapa dokumen yang belum dievakuasi Anom. Beberapa dokumen yang tidak bisa kita bawa aku titipkan ke tetangga.

“Bang Jaya, kami nitip dokumen ya. Situasi sedang kacau,” pinta Jayadi kepada Bang Jaya.

Bang Jaya memahami aktivitas kita. Kita sering berdiskusi dengannya. Dia pemilik warung sembako dekat sekretariat kami. Dia juga Sekretaris RT di sana. Ketika dimintai bantuan dia tidak keberatan.

“Maaf Bang Budi , tidak bisa bersih-bersih rumah. Rumah kami tinggalkan begitu saja. Kami juga belum membayar tagihan telpon yang terakhir. Semoga kita bisa jumpa lagi. Aku nggak tahu apakah setelah peristiwa kemarin aku dan kawan-kawan masih hidup?,” ujarku kepada pemilik rumah yang kita sewa.

Bang Budi memahami kesulitan yang sedang kita alami. Wajahnya tulus, dan ikut bersedih.

“Semoga semua kalian semua aman-aman saja. Biarlah, nanti tagihan telpon saya yang bayar,” balasnya.

Sehari berikutnya, tanggal 29 Juli 1996, Presiden Soeharto memanggil enam pajabat tinggi, yaitu Menko Polkam Soesilo Soerdarman, Pangab Jenderal TNI Feisal Tanjung, Kapolri Letjen Dibyo Widodo, Menteri Negara Sekretaris Kabinet Saadilah Mursjid, Menteri Kehakiman Oetojo Oesman dan Jaksa Agung Singgih SH.

Setelah pertemuan itu, segera saja Menko Polkam meminta masyarakat untuk waspada dan tidak mudah terpancing. Aparat juga diminta tak ragu-ragu mengambil tindakan.

Menko Polkam menyatakan, PRD dalang semua kerusuhan hari Sabtu itu. Kata Menko Polkam, Presiden Soeharto sendiri sudah mengetahui tindak-tanduk PRD itu. PRD dengan segala ormasnya sama dengan PKI di jaman dulu, kata Soesilo Soedarman.

Pernyataan itu dimuat oleh semua media massa. Ternyata sehari sebelumnya pimpinan media massa telah dikumpulkan aparat. Mereka mendapat brifing kalau PRD adalah organisasi yang mirip dengan PKI. PRD adalah dalang kerusuhan 27 Juli.

Isi pemberitaannya seragam, dan sealur dengan yang dimaui penguasa. Bahkan untuk TVRI dan RRI beritanya diulang-ulang.

Sejak pengumuman resmi itu, dimulailah perburuan kepada seluruh aktivis PRD. Dan tidak itu saja, seluruh oposisi mendapat tekanan yang luar biasa. Semua tiarap. Namun kami, PRD tetap berlawan!

Sumber : Bergelora.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed