by

Selamat jalan, Neta S Pane

Oleh: Supriyanto Martosuwito

Melihat jenazahnya turun ke liang lahat, dada ini terasa gemuruh. Dan sesak. Ada rasa tak percaya bahwa di balik peti putih itu jasadnya: sahabat kami, yang tak lagi bersama kami, Neta Saputra Pane.

Terus terngiang canda tawanya. Pernyataan pedas dan blak blakannya, analisa analisanya, yang kerap jadi kutipan media, gaya nyentriknya saat mengisap cerutu dan dan uluran kebaikannya serta sawerannya saat berlimpah rezeki – yang membikin teman teman kangen.

Saya menerima kabar duka sekira satu jam setelah kematiannya, Rabu pagi jam 11:30. Saat membuka WA grup, Neta telah pergi pada jam 10:30. Saya langsung lemas. Tak percaya. Segera menelepon Yon Moeis, yang beberapa hari terakhir memonitor dari sebelah rumah sakit, menemani keluarganya, sejak dinyatakan positif Covid 19 dan dirawat.

Dan dia membenarkan. Terasa kaki ini tak menapak di lantai.Saya bergegas mandi dan berangkat untuk mengantarkan langsung ke haribaanNya. Naik KRL ke Bekasi. Belum tahu, apakah harus ke rumah sakit, rumah duka atau ke TPU.

Keadaan juga belum jelas. Jenazah masih di RS Mitra Keluarga. “Ngumpul di gedung Koni dulu aja di sebelah rumah sakit. Teman teman sudah di sini, ” saran Yon Moeis, pensiunan jurnalis “Koran Tempo” itu.

DUDUK di KRL, saya merenungkan perjalanan kami, sejak masih sama sama reporter koran harian ibukota di pertengahan 1980-an. Saya reporter di Surat Kabar Harian (SKH) “Pos Kota” Jakarta sedangkan dia di koran harian “Merdeka”.

Kami sama sama mulai aktif di media sejak 1984. Sama sama masih jalan kaki dan naik turun bus kota. Kemudian dia menjadi Redaktur Pelaksana di koran BM Diah itu, sejak 1991, lalu menjadi asisten Redpel di koran sore “Terbit” 1993, Redpel tabloid “Aksi” Jakarta, Redpel “Berita Buana” 1997-2001 , Wakil Pemimpin Redaksi SKH Jakarta” 2002-2004. Kemudian hijrah sebagai aktifis dan mulai kondang sebagai Ketua Presidium IPW (Indonesia Police Watch) 2004–2021, dan kerap masuk TV.

Sejak jadi pengamat polisi dan jadi “selebritis” media itu, praktis kami tak kontak lagi. Saya sibuk di media hiburan dan hanya mengamati sepak terjangnya dari jauh. Sampai dua tahun terakhir dipertemukan kembali di Kandang Ayam Rawa Mangun, markas para jurnalis pensiunan.

Saya sedang ber”bulan madu” lagi dengannya, dimana kami saling berbual bual lagi, nostalgia, mengenangkan kisah lama, sembari makan sop kambing, minum wine, lalu mengisap cerutu, ketika Coronavirus Covid-19 merenggutnya dari kami. Gempuran langsung ke jantung pertahanan Markas Kandang Ayam.

Ulang tahun ke 56 yang dirayakan di markas Kandang Ayam tahun 2020 lalu ternyata merupakan perayaan ultah terakhir baginya.

DI LINGKUNGAN rumahnya di Rawa Lumbu – Bekasi, Neta dikenal orang baik. Begitu banyak tetangga juga para remaja yang menyambut kedatangan jenazahnya dan menyolatkan. Dia ternyata penuh perhatian pada kegiatan masjid di seberang rumah tinggalnya.

“Beliau murah hati dan selalu memberi support pada remaja yang sedang tadarusan, ” kata pengurus masjid setempat. “Kami berikan kesaksian bahwa almarhum orang baik, ” kata Ketua DKM Al Hidayah, H. Eliadi Daulay, dengan suara tersekat, sebelum menshalatkan jenazah di depan mobil ambulan.

Sesuai prosedur Covid, mobil jenazah hanya mampir di halaman parkir masjid dan tidak diturunkan. Setelah dishalatkan segera diberangkatkan ke TPU Pedurenan, Bekasi Barat. Pelayat di masjid Al Hidayah juga mengingiri hingga liang lahat.

Banyak mobil dan motor menyertai. Tak biasanya jenazah kovid sampai dihantar pelayat. Biasanya hanya keluarganya saja. Tanda Neta Pane orang baik dan dihormati. Karangan bunga dari tokoh tokoh nasional dan pejabat tingi pemerintahan juga menegaskan keluasan pergaulannya.

Neta Pane adakah aktifis yang gagah berani. Dia masih berkerabat dengan sastrawan Sanusi Pane dan Armijn Pane. Jurnalis dan aktifis kekahiran Medan, 18 Agustus 1964 ini kritis pada lembaga kepolisian yang selama ini memang dikenal amburadul dan korup.

Dia disegani tapi juga dibenci oleh petinggi korps berbaju coklat itu. Informasi yang disebarkan bersumber dari A1. Valid. “Saya sering ditanya, ‘Abang dapat info A1, dari mana?’ Saya bilang saja, ada lima ribu polisi jadi informan saya,” selorohnya.

Joseph Erwiyantoro, Komandan Batalion Markas Kandang Ayam menyatakan dari 600 ribu anggota Polri, separuhnya benci Neta Pane separuhnya pro Neta Pane. Jegal menjegal dan saling sikut di kalangan petinggi polisi dimanfaatkan almarhum untuk menggali informasi.

Masing masing kubu yang berebut jabatan, saling buka aib saingan. “Kalau sampean nanya, ‘apa masih ada petinggi polisi yang lurus dan bersih?’ – jawaban saya, ‘nggak ada’. Setiap petinggi polisi ada aibnya. Ya, semua Kapolres, Kapolda atau Kapolri punya aib masing masing, ” katanya dalam obrolan di mobil, jelang penentuan Kapolri yang baru pengganti jendral polisi Idham Azis tahun lalu.

SISI LAIN dari kehidupan Neta Pane yang jarang terungkap adalah dia percaya pada mistik. Mungkin juga sekadar sugesti. Atau iseng. Atas saran seorang wanita paranormal dia mengaku sudah lama dia tak menggunakan nama tengah ‘Saputra’.

Dulu, dia menyebut diri Neta S. Pane – kemudian jadi nama Neta Pane saja. Wanita yang sama, yang diperkenalkan kepada saya di sebuah hotel di Kebayoran Baru, saat reunian bareng Bagus Sudharmanto – partnernya di tabloid ‘Aksi’ dan senior saya di ‘Pos Kota’ – menyarankan saya agar menjadi nama Dimas Priyanto saja. Untuk peruntungan baik.

Kini Neta Saputra Pane telah pergi. Selamat jalan sahabat. Salam damai di alam keabadian. Kiranya Allah menghapus dosa dosa dan mengampuni semua kekhilafanmu, memberikan pahala bagi semua amalanmu dan peristirahatan terbaik untukmu. Amiin.

(Sumber: Facebook Supriyanto M)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed