Oleh : Tri Agus Susanto Siswowiharjo
Namanya identik dengan Tapol, sebuah lembaga kecil tapi nyaring, yang melakukan kampanye tentang pelanggaran HAM di Indonesia. Saya mengenalnya di Pijar Indonesia awal 1990an lewat buletin Tapol yang diterbitkan secara berkala. Sebagai pengelola Kabar dari Pijar tak jarang saya mengutip Tapol. Baru pada 1997 saya bertemu Carmel Budiardjo di London. Selain berkunjung ke Tapol, saat itu saya juga dijadwalkan berdiskusi di Amnesty Internasional, yang difasilitasi oleh Kerry Brogan.
Ada rencana melanjutkan kegiatan ke Irlandia, sudah ada visa, namun dibatalkan. Selama di London saya menginap di Tapol. Di situ bertemu aktivis Timor Leste, Arsenio Bano dan Kupa Malae. Ada kejadian yang tak mungkin saya lupakan karena membuat Carmel dan Kerry Brogan cemas. Ceritanya setelah menghadiri sebuah acara di salah satu sudut London saya kesasar tak bisa menemukan rumah Carmel atau kantor Tapol pada tengah malam. Saya kesasar karena melihat penampilan rumah-rumah di sana mirip. Jangankan di London, saya paling sering kesasar jika ke kantor Walhi atau Infid di Mampang Prapatan Jakarta Selatan.
Mestinya saya bisa menginap di hotel kecil sekitar rumah Carmel tapi entah kenapa selalu ditolak katanya full. Akhirnya saya kembali naik kereta dan tidur di Central Station London. Pagi hari baru kembali ke rumah Carmel. Pertemuan kedua dengan Carmel saat kali pertama mantan penghuni penjara Bukit Duri selama tiga tahun di awal orde baru itu kembali ke Indonesia pada 2001. Saya menyambutnya di Bandara Soekarno-Hatta bersama Coki Naipospos dan ibu-ibu mantan tapol Bukit Duri.
Selama Carmel di Jakarta saya mendampinginya saat bertemu dengan beberapa tokoh seperti Pramudya Ananta Toer, Joesoef Isak, Munir dan reuni dengan para mantan penghuni rumah tahanan perempuan Bukit Duri. Ketika bertemu pak Pram, di rumahnya di Utan Kayu Rawamangun, hadir juga Poriaman Sitanggang. Ketika reuni dengan ibu-ibu mantan tapol sambil makan siang di sebuah restoran di Matraman Jakarta, menjadi ajang melepas rindu penuh haru namun juga ada yang lucu. Satu tapol yang paling dikangeni adalah tapol yang saat itu di bawah umur.
Mungkin saat itu umurnya 14 tahun. Ia tak tahu apa-apa tapi jadi tapol. Ada juga yang nyeletuk, “Tak arani kowe kuwi wis mati, jebul isih urip.” (Tak kira kamu sudah mati ternyata masih hidup). Carmel adalah sosok yang konsisten terus menerus melakukan kampanye pelanggaran HAM di Indonesia sejak orde baru. Melalui Tapol Carmel juga melakukan hal serupa kampanye pelanggaran HAM di Timor Leste, Aceh dan Papua. Tak heran Carmel mendapat penghargaan dari tiga tempat berbeda itu. Selain tentu saja ia pernah menerima hadiah Right Livelihood semacam Nobel alternatif dari Swedia.
Carmel menulis buku Surviving Indonesia’s Gulag: A Western Woman Tells Her Story (1996) dan The war against East Timor (1984). Selamat jalan Bu Carmel Budiardjo. Terima kasih, sebagian atas jasamu, membuat Indonesia berubah menjadi lebih demokratis.
Sumber : Status Facebook Tri Agus Susanto Siswowiharjo
Comment