by

Sekolah Kedinasan

Oleh : Ahmad Sarwat

Saya pernah ngajar jadi dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara STAN. Kurang lebih selama 10-an tahun, bukan dosen PNS tapi honorer saja.

Kesan yang saya dapat bahwa meski hanya D3 dan bukan S1, tapi nampaknya para mahasiswanya punya pandangan ke depan yang fokus.

Gimana nggak fokus, lulus kuliah 3 tahun langsung kerja, bahkan jadi ikatan dinas dengan rumus 3n+1. Maksudnya wajib bekerja selama 3 kali masa kuliah yaitu 9 tahun plus satu tahun.

Dimana-mana anak lulus kuliah itu langsung jadi pengangguran. Kalau pun kerja, biasanya serabutan aja. Hampir pasti bekerja bukan di bidang yang sejalan dengan ilmu yang didapat waktu kuliah.

Lulusan STAN tidak mengalami dis-orientasi macam itu. Hampir semua ilmu yang dipelajari semasa pendidikan D3 terpakai semua dalam dunia kerja mereka.

Gaji pun sudah dipastikan bahkan di atas rata-rata PNS. Jenjang karir pun sudah baku dan pasti. Bahkan yang namanya rotasi, mutasi dan promosi sudah jadi rutinitas.

Kadang saya mikir, kenapa instansi yang lain tidak meniru saja bikin sekolah kedinasan macam STAN ini. Mahasiswanya pilihan yang terbaik dari berbagai SMA di seluruh Indonesia.

Gimana nggak terbaik, di masa saya dari 120 ribu calon pendaftar, yang diterima hanya 3000-an saja. Dan hanya yang paling tinggi nilainya saja yang diambil, sisanya dibuang.

Konon meski anak dosen bahkan anak rektor sekalipun, kalau dites masuk mentok nilainya, tetap tidak diterima. Tidak ada titipan anak pejabat. Nitipnya sama Allah saja.

Dan pengalaman saya memberi kuliah di tengah anak pintar itu menyenangkan sekali. Saya ngomong apa saja, mereka tetap nyambung dan bisa mengikuti.

Satu lagi yang bikin stamina mereka tetap awet, yaitu ancaman dropt-out kalau IP atau IPK mereka bermasalah. Resikonya jelas, langsung disuruh angkat koper, tereleminasi, pulang kampung ngempeng lagi sama emaknya.

Akhirnya kemacetan parah Jakarta yang bikin saya berhenti mengundurkan diri dari mengajar di STAN. Honor seuprit bukan masalah, terbayar lah dengan keunikan mahasiswanya. Tapi urusan macet 2 jam berangkat dan 2 jam pulang, buat saya lama-lama jadi masalah.

Bukan apa-apa, saya tinggal di tengah-tengah Jakarta dan aktifitas keseharian saya cuma di sekitaran rumah saya saja. Kajian rutin sehari-hari saya di berbagai gedung perkantoran di sekitaran rumah saya sendiri.

Beberapa di antaranya malah bisa saya tempuh dengan berjalan kaki saja, kalau pun naik motor hanya 5-10 menit saja. Misalnya kajian mulai jam 12.00, jam 11.45 pun saya masih asyik di rumah nonton YouTube.

Kalau ngajar di STAN kuliah jam 08.00, maka habis Shubuh saya sudah harus berangkat ‘keluar kota’. Sampai rumah lagi nanti lepas Isya’. Wah bisa tua di jalan nih saya kalau begini caranya.

Lagian ngajar di kampus jadi dosen itu capeknya minta ampun pakai banget. Kebayang lah ngomong teriak-teriak 50 menit kali tiga sama dengan 150 menit sama dengan dua jam setengah. Kalau sehari ada tiga kelas, sampai rumah badan rontok.

Beberapa mahasiswa saya, kini sudah ada yang jadi pimpinan di instansinya. Kadang masih ingat saya dan mengundang saya ngisi kajian keislaman di kantornya.

Hitung-hitung reunian lah sama mahasiswa sendiri.

Sumber : Status Facebook Ahmad Sarwat

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed