Oleh: Satria Dharma
“Saya kecewa pada Jokowi dan Gibran…” demikian ungkap seorang teman dengan wajah muram ketika ngobrol kemarin.
“Ternyata Jokowi sama saja dengan penguasa lain. Dia juga gila kekuasaan dan mendorong anak-anaknya untuk berkuasa juga. Sama saja dengan para penguasa lain.” Ia menarik napas dan matanya menerawang. “Gibran yang saya puji sebelumnya juga ternyata ambisius dan pingin juga berkuasa. Sungguh saru dan ora pantes dia memanfaatkan kuasa dan pengaruh bapaknya untuk bisa menjabat.. Dia ini melakukan aji-aji mumpung.”
Saya ndlahom mendengar uneg-uneg teman saya yang polos ini. Ternyata dia ini termasuk orang yang bertipe mencintai dengan cinta yang bersyarat. I love you if… But if you don’t qualify my standards or expectations, I will hate you instead…
Makanya jangan mencintai atau membenci seseorang terlalu berlebih-lebihan, kata orang bijak entah siapa saya sudah lupa. Jangan sampai kita mencintai sesuatu secara berlebihan, karena itu akan membuat kita menderita. Kita bisa dibuat majnun atau bodoh, kita bisa dibuat linglung dan beleng-beleng (pinjam istilahnya Ustad Das’ad). Bisa jadi yang kita sangat cintai itu akan mengecewakan kita sehingga membuat kita sangat sakit dan menderita. Membenci sesuatu juga jangan keterlaluan. Karena bisa jadi suatu saat apa yang kita benci justru akan kita cintai dan dambakan. Malah justru kalian bisa jatuh hati kepadanya. Sudah banyak contoh yang seperti itu. Dulu benci, sekarang cinta.
Makanya saya sama istri juga begitu. Saya tidak pernah mencintainya berlebih-lebihan. Saya hanya mencintainya sepenuhnya. Kalau cinta saya sudah penuh ya tidak saya gelontor terus. Saya kuatir cinta saya yang amber berlebih itu kemudian dipungut wanita lain. Bisa gempar dunia persilatan…
Tapi apa benar bahwa Jokowi dan Gibran itu gila kekuasaan, memanfaatkan kekuasaan demi pribadi, dan aji-aji mumpung? Apakah benar bahwa Jokowi mendorong anaknya untuk maju menjadi walikota Solo? Jika pun itu benar, apakah itu sikap yang salah? Saya kok tidak yakin bahwa Gibran maju itu karena dorongan ayahnya. Saya yakin Jokowi tidak punya ambisi untuk mendorong anaknya jadi walikota. Selama ini ia sangat bangga dengan karir anaknya sebagai pengusaha. Kalau tiba-tiba Gibran berbelok ingin menjadi walikota saya kok menduga bahwa itu adalah hasil pergaulannya dengan orang-orang politik yang mau tidak mau pasti mengelilinginya dan menggosok-gosoknya untuk maju. Apakah para penggosok politik ini salah? Ya, tidak. Justru memang begitulah seharusnya partai politik bersikap. Mereka harus mencari sosok-sosok yang prominent dan menonjol dan punya kapabilitas untuk didorong masuk ke politik. Kalau ada partai politik yang pengurus dan anggotanya hanya mau mendorong dirinya pribadi untuk menjadi calon pemimpin daerah maka jelas partai itu partai gurem yang tidak punya visi.
Jadi saya menduga keras bahwa Gibran memang telah diprospek cukup lama oleh para pengurus partai yang berpengaruh. Dia diyakinkan bahwa dengan menjadi walikota Solo maka ia bisa lebih bermanfaat bagi banyak orang, bagi bangsa dan negara bahasa kerennya, ketimbang hanya jualan martabak.
Seenak-enaknya jualan martabak masih lebih enak jualan properti, kata teman saya yang profesinya broker properti. Saya yakin cukup lama Gibran diprospek dan digosok-gosok sehingga akhirnya ia bersedia. “Warga Solo menjerit ingin dipimpin olehmu, Mas Gibran. Tolonglah…! Janganlah bersikap egois…” begitu kira-kira rayuan maut Mr. Politics Broker. Begitu Gibran bersedia maka mekanisme politik pun bergerak secara sistematis sampai saat ini. Ketika Gibran sudah bulat tekadnya maka ia pun baru minta restu dari ayahnya, yang kebetulan sudah jadi Presiden, melalui telpon (sila cek kisahnya). Kalau Tutut, Puan, Agus Harimurti mah tidak perlu minta restu. Lha memang mereka udah disiapkan untuk itu.
Apakah Jokowi tidak tahu bahwa anaknya digosok-gosok oleh para broker politik untuk naik jadi walikota Solo? Ya tahulah, Bro. Kan dulunya dia juga digosok-gosok oleh broker politik untuk naik jadi walikota Solo. Ini same storylah… Tapi tentu keputusan mau atau tidaknya Gibran dicalonkan adalah hak sepenuhnya dari Gibran. Jokowi tentu tidak ingin merecoki jalan hidup Gibran yang sudah mantap jualan martabak tersebut. Beda dengan Pepo dan Memo yang memang sejak awal sudah menggariskan bahwa anak-anaknya harus jadi gubernur atau presiden melalui partai yang sudah didirikannya. Semua anggota dan pengurus partainya sudah tahu semua bahwa anak-anak Pepo adalah putra mahkota yang sudah disiapkan. No question about it..
Jadi saya tidak yakin bahwa Jokowi memang menginginkan anaknya jadi calon walikota Solo. Itu pekerjaan para broker politik yang mengendus sebuah peluang dan prospek klas diamond. Tapi seandainya pun Jokowi menginginkan Gibran jadi calon walikota, apakah itu salah? Bukankah Megawati juga menginginkan Puti jadi wagub, Puan jadi Menteri, dan Ani Yudhoyono menginginkan anak-anaknya jadi Capres dan Cawapres?
“Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Max Sopacua berpandangan wajar jika Ani memang memproyeksikan anaknya sebagai presiden. Hal itu, kata dia, sama sekali tidak menyalahi aturan dan SANGAT WAJAR. Saya pikir orang tua mana yang tidak inginkan anaknya jadi pemimpin. Saya juga ingin, semua orang tua punya hak, untuk itu tidak ada dosa, itu bukan persoalan haram,” ujar Max di Gedung DPR, Jakarta, Senin (16/12). https://fajar.co.id/…/dua-putra-sby-disiapkan-jadi…/
Bagaimana menurut Anda? Apakah wajar seorang ibu dan bapak menginginkan anaknya menjadi wapres dan cawapres dengan mempersiapkan kendaraan politik untuk mereka? Apakah wajar seorang Amien Rais menginginkan agar anaknya yang cantik itu jadi menteri di era Jokowi?
“Tapi kita kan tidak bicara soal Soekarno, Soeharto, Megawati, SBY, Amien Rais, Syahrul Yasin Limpo, Sutrisno Kediri, Ratu Atoet Banten, Teras Narang Kalteng, dll. Kita ini bicara soal Jokowi…” sahut teman tadi dengan bersungut-sungut. “Jokowi mulai melakukan politik dinasti….”
Benarkah…?!
Apa sih Politik Dinasti itu?
“Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih identik dengan kerajaan. Sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga”. (Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia).
Kalau kita lihat dengan cermat dan tanpa pretensi maka sebenarnya Jokowi sama sekali berbeda dengan orang-orang yang saya sebut di atas. Jokowi bukan hanya tidak punya minat dan mempersiapkan anaknya untuk menjabat, ia bahkan tidak punya kuasa untuk itu. Jokowi tidak punya partai politik yang bisa ia gunakan untuk mempersiapkan anaknya menjadi pemimpin. Ia sendiri naik karena didukung oleh PDIP, partai yang sekarang juga mengggadang-gadang Gibran.
“Tapi Jokowi kan bisa melarang Gibran untuk mencalonkan diri, minimal sampai jabatannya sebagai Presiden selesai dululah. Itu supaya citranya tidak tercoreng…” sahut teman saya tetap dengan wajah kesal.
Nah, di sini saya baru ngakak kencang….
Jadi ini rupanya masalah citra saja bagi teman saya ini. Ini bukan masalah pelanggaran hukum, etika, sopan santun, kepatutan, kapasitas pribadi, kurangnya pengalaman, dll. Ini hanya masalah citra Jokowi bagi teman saya.
Saya sebetulnya mau misuhi dia sambil ngakak tapi gak jadi wis… Mending nyruput kopi saya yang tinggal sedikit itu.
Surabaya, 22 Juli 2020
Satria Dharma
Comment