by

Saya Bangga Menjadi Buzzer

Bertumbuh-kembangnya buzzer di panggung media sosial ini salah satunya karena ada keinginan untuk mendobrak dominasi media mainstream yang dalam kenyataannya dikuasai oleh kelompok kepentingan tertentu. Ada sumbatan informasi publik yang dicoba ditembus oleh para buzzer dengan menghadirkan suara pembanding untuk melawan ototarian media mainstream yang selama ini dengan pongah menguasai ruang publik. Para buzzer ini karena kemampuannya membangun narasi, akhirnya mendapat pengikut atau follower yang banyak.

Dalam era perkembangan teknologi informasi yang tak terbendung dan ada keinginan untuk menyuarakan suara pembanding ini menjadikan kehadiran buzzer merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Di sisi ini saya tidak setuju dengan pernyataan Ketua Umum Muhammadiyah Haidar Nasir dan anggota Dewan Pers yang menyatakan keberadaan buzzer membahayakan dan menjadi ancaman pers nasional. Dalam menghadapi perubahan ini seharusnya mereka mau berubah dan menyesuaikan diri daripada sekedar sibuk menyalahkan kehadiran buzzer. Mereka ibaratkan “buruk muka cermin dibelah”.

Dalam perkembangannya harus diakui ada dua jenis buzzer, yaitu buzzer berbayar dan buzzer sukarela. Buzzer berbayar, melakukan aktivitasnya karena menyuarakan kepentingan kelompok tertentu untuk mempengaruhi opini publik. Narasi yang dibangun para buzzer berbayar ini bisa jadi suatu kebenaran yang ingin disuarakan tuannya, bisa juga bersifat penyesatan informasi atau hoax. Dan mereka mendapat imbalan yang tertentu dalam melakukan pekerjaannya. Dalam kaitan ini, buzzer sudah menjadi profesi bagi yang bersangkutan.

Sedangkan buzzer sukarela, melakukan aktivitasnya karena panggilan nurani untuk membela kepentingan yang lebih besar semata-mata untuk menyuarakan harapan dan informasi konstruktif. Meskipun tujuannya sama yaitu mempengaruhi opini publik, para buzzer sukarela ini bersifat independen dan tidak terkait kepentingan kelompok tertentu. Dan biasanya ‘sang penyuara kebenaran’ ini tidak menjadi buzzer sebagai profesi. Tapi semata-mata kesadaran dan panggilan nurani. 

Jadi amat sangat bodoh dan konyol kalau orang atau lembaga apapun menyamaratakan pengertian buzzer semata-mata hanya dalam pengertian negatif. Saya juga heran kalau Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus repot-repot mengeluarkan fatwa haram untuk kehadiran buzzer. Juga Pengurus Muhammadiyah. Mereka mungkin cupet pikir atau mempunyai kemampuan narasi yang rendah. Atau jangan-jangan mereka juga sedang menyuarakan kepentingan orang atau kelompok tertentu. Jadi secara tidak sadar mereka juga berperan menjadi buzzer juga pada akhirnya.

Bagi saya, mereka tidak bisa melihat secara obyektif makna dan fungsi buzzer yang bisa positif atau negatif. Seperti sebuah pisau. Apabila ada pisau yang digunakan oleh seorang penjahat untuk melukai atau membunuh seseorang, apakah kita serta merta menghakimi bahwa pisau itu haram? Padahal pisau juga sangat bermanfaat untuk keperluan dapur dan kepentingan positif lainnya.

Jadi apakah saya buzzer? 

Saya belum sehebat itu. Saya belum layak mendapat julukan setinggi itu. Karena saya belum mampu melakukan apa-apa untuk negeri ini. Saya hanya ingin bersuara dan membangun narasi untuk menjaga keindonesiaan Indonesia. Saya hanya berusaha untuk menjaga negeri ini sekemampuan saya. Kalau ada yang menyebut saya buzzer juga tidak apa-apa, saya tidak keberatan. Malah justru suatu kehormatan bagi saya. Yang jelas selama saya membangun narasi dan bersuara untuk negeri ini, saya belum pernah menerima uang sepeserpun dari siapapun, apalagi dari Pemerintah.

Jadi, saya abaikan saja fatwa haram MUI tentang buzzer. Juga suara negatif dari Muhammadiyah atau kelompok lain. Apalagi kalau ada suara miring tentang buzzer dari individu tertentu.
Preettttlah……

Salam SATU Indonesia

(Sumber: Facebook Rudi S Kamri)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed