by

Satukan Visi Dahulu, Capres Kemudian

Oleh: Pepih Nugraha

Beda pandangan atau “platform” koalisi yang berimbas pada sosok bakal calon presiden mencuat antara Partai Demokrat dan Partai Nasdem. Perbedaan pendapat yang tajam dan diametral itu seharusnya dihindari mengingat yang diperlukan Nasdem, Demokrat dan juga PKS yang berencana membentuk Koalisi Perubahan adalah kesamaan.

Kesamaan visi, misi, dan “platform” koalisi adalah yang paling penting untuk meyakinkan publik, dalam hal ini calon pemilih, khususnya saat bermuara pada penentuan bakal capres atau cawapres yang akan mereka usung.

Pada Pilpres 2024 hanya PDIP yang dapat mencalonkan capres-cawapres tanpa harus berkoalisi karena telah memenuhi 20 persen Presidential Threshold (PT), sementara partai lain harus menjalin kerjasama. Di sini poin pentingnya.

Gerindra misalnya telah menjalin kerjasama dengan PKB, sementara Golkar, PPP dan PAN membentuk Koalisi Indonesia Baru (KIB). Memang tinggal Nasdem, Demokrat dan PKS yang belum juga mewujudkan perkongsian yang mereka sebut Koalisi Perubahan.

Perbedaan pandangan atau pendapat antara Demokrat dengan Nasdem berbeda soal figur capres yang mereka usung, Anies Baswedan misalnya, dapat dinilai publik sebagai kekurangkompakkan dan pandangan yang belum serasi.

Demokrat -dan juga PKS- menilai Anies tetaplah antitesis terhadap Jokowi yang harus dipelihara sebagai isu kampanye, sedangkan Nasdem cenderung membuat rumusan baru menghindari “antitesis” bahwa Anies merupakan gabungan figur Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dua hal yang berbeda.

Persoalan antitesis ini ditegaskan oleh Deputi Bappilu Demokrat Kamhar Lakumani yang berkeyakinan bahwa Anies merupakan antitesis dengan sosok orang yang berkuasa saat ini, yaitu Jokowi. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku ketua umum Demokrat sejalan dengan pandangan ini.

Kamhar beralasan Demokrat melihat penting bagi Anies Baswedan menjadi antitesis pemerintah karena banyaknya kebijakan Jokowi yang harus dikoreksi. Termasuk soal pemerintah menjadi alat pukul bagi lawan politik.

Sedangkan Nasdem menilai, Anies merupakan gabungan antara Jokowi dan SBY. Dengan cara pandang ini, tidak ada yang harus dikoreksi oleh Anies atas kepemimpinan Jokowi. Dua hal yang saling bertentangan dengan apa yang dinarasikan Demokrat.

Wakil Ketua Umum Nasdem Ahmad Ali misalnya tidak sepakat dengan Kamhar Lakumani yang menyebut Anies Baswedan sebagai antitesis pemerintah saat ini. Ia lebih setuju jika Anies merupakan penggabungan karakter Joko Widodo dan SBY.

“Kami (Nasdem) melihat Anies ini dia berhati-hati seperti SBY dan dia tanggap, gesit, cepat soal keputusan seperti Jokowi. Jadi penggabungan dua figur yang menurut saya ada pada Anies,” kata Ali sebagaimana dikutip sejumlah media, Kamis 2 Februari 2023.

Mewujudkan cita-cita membentuk Koalisi Perubahan antara Nasdem, Demokrat dan PKS masih terus diupayakan di tengah dinamika politik kepartaian yang berkembang mendekati pelaksanaan Pilpres 2024. Penjajagan terus dilakukan dengan melakukan serangkaian pertemuan “tripartit” bahkan sampai pada konferensi pers demi meyakinkan publik bahwa Koalisi Perubahan solid dan tinggal dideklarasikan saja.

Benar bahwa ketiga parpol itu telah bersepakat sama-sama memajukan Anies sebagai bakal capres, sebagaimana yang lebih dahulu diproklamirkan Nasdem. Semula antara Demokrat dan PKS “ngotot” bahwa cawapres yang pantas adalah dari partainya masing-masing, tetapi belakangan mereka berdua menyerahkan siapa cawapres kepada Anies. Harga tawar yang terpaksa mereka turunkan demi terbentuknya Kaolisi Perubahan ini.

Ketiga partai, bahkan Nasdem sendiri, menunggu keputusan Surya Paloh yang masih “galau” dengan politik zig-zag-nya yang masih sulit ditebak. Kadang dia bertemu Presiden Jokowi di Istana, bertemu ketua umum Golkar Airlangga Hartarto, bertemu Luhut Binsar Panjaitan, sementara pertemuan resmi dengan Demokrat dan PKS belum terlaksana.

Ini menjadi pertanyaan publik apakah Surya Paloh serius atas pilihannya mencapreskan Anies atau menjadi “bimbang dan ragu” setelah bertemu dengan beberapa tokoh yang disebutkan barusan. Mana tahu ada deal-deal yang lebih menguntungkan posisinya dan juga Nasdem andai menarik dukungan terhadap Anies.

Jika ini terjadi, wajar Demokrat dan PKS panik, sebab dengan hanya berdua saja PT mereka tidak sampai 20 persen dan terpaksa harus mencari kawan lain. Tetapi siapa dan partai mana kawan lain yang bisa diajak, mengingat PDIP, Gerindra, PKB, PAN, PPP dan Golkar sudah memiliki teman koalisi sendiri-sendiri?

Mengajak Golkar di KIB untuk bergabung dan sama-sama mengusung Anies, adalah “hil yang mustahal” meminjam istilah Srimulat. Malah kebalikannya, justru KIB yang mengajak Nasdem masuk ke koalisinya.

Jika ini terjadi, Koalisi Perubahan pun terancam hanya tinggal cita-cita. Bahkan Anies Baswedan yang telah aktif memperkenalkan diri ke berbagai daerah sebagai capres, juga terancam hanya tinggal harapan.

Karena faktor kesejarahan pada Pilkada DKI 2017 dan posisinya yang terus berada di pemerintahan, Surya Paloh tampaknya lebih nyaman bersama Golkar, PPP dan PAN yang selama ini menjadi bagian dari pemerintah Jokowi.

Dengan telah dekatnya PKS-Demokrat dengan Anies sejak lama, tentu hal ini akan menguntungkan kedua partai itu dibanding Nasdem di mata pemilih fanatik dan simpatisan Anies.

Sementara PKS dan Demokrat justru sebaliknya, yaitu memposisikan diri sebagai oposisi terhadap pemerintah. Dengan bergabung bersama PKS dan Demokrat, apakah Nasdem bersedia terjun menjadi oposan terhadap pemerintah pemerintah Jokowi?

Inilah yang sedang dihitung Surya Paloh yang untuk sementara waktu kelihatan galau dan bahkan limbung.

(Sumber: Facebook Pepih Nugraha)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed