Saya mengamati gejala-gejala yang muncul di tengah masyarakat, termasuk saya sendiri. Awal muncul kasus pertama covid-19 di Indonesia, masyarakat begitu parno. Sekolah diliburkan. Beberapa kegiatan yang mengumpulkan banyak orang dicancel. Masjid untuk sementara tidak menggelar shalat jum’at dan jama’ah. Orang tidak lagi mau bersalaman.
Jujur saya awalnya juga ikut-ikutan parno. Saya tidak mau berjamaah dan shalat jum’at di masjid. Saya juga cenderung nyinyir dengan warga desa yang tetap ngotot menggelar shalat jum’at. Bahkan, saya tidak mau bersalaman dengan siapapun. Sampai suatu saat ada teman yang ingin berkunjung, saya minta ke dia untuk tidak bersalaman. Untungnya dia memahami dan bisa memaklumi.
Saya terus mengamati perilaku masyarakat di sekitar tempat tinggal. Mereka justru begitu santai menyikapi covid-19. Tetap bekerja seperti biasa. Tetap berkerumun dan saling berkunjung. Shalat jum’at pun tetap digelar. Mereka tak terlalu pusing. Tetap bekerja di ladang dan sawah, serta mencari rumput untuk makan kambing.
Jujur saya jadi malu sendiri. Saya sampai sengaja di rumah saja, tidak pergi ke kota. Semata-mata ingin mencegah penularan covid-19. Suatu saat karena ada perlu ke kota, saya nekat pergi. Tentu dengan memakai masker dan jaga jarak. Saya melihat secara umum tidak ada yang berubah. Kota berjalan seperti biasanya. Hanya mungkin tidak terlihat lagi bus-bus besar memadati jalan. Secara umum, kondisi perekonimian berjalan normal, meskipun mungkin tidak seramai seperi biasanya.
Setelah lebaran saya bahkan berkunjung ke rumah sakit untuk menengok orang sakit. Awalnya sempat takut karena di rumah sakit tersebut ada ruang isolasi buat pasien covid-19. Namun bismillah saya nekat berkunjung ke rumah sakit, tentunya dengan memakai masker, jaga jarak, dan berkali-kali menyemprotkan hand sanitizer ke tangan.
Saya sempat makan bakso di depan rumah sakit. Sempat melakukan wawancara kepada penjual bakso yang seorang ibu. Penjual bakso mengaku baru buka hari itu. Sebelumnya tutup sejak pertengahan maret. Tak terlihat raut wajah ketakutan kepada covid-19. Dia takut kalau tidak bisa berjualan lagi.
Setelah lebaran barangsur-angsur kehidupan ekonomi mulai terlihat normal. Kendaraan umum sudah mulai beroperasi. Sudah mulai jarang bahkan mungkin tidak ada lagi polisi yang melakukaj cek point di perbatasan kota. Masyarakat pun mulai tak terlalu peduli dengan penambahan kasus positif covid-19 baru. Padahal, setelah lebaran hingga sekarang bisa dikatakan sedang puncak-puncaknya. Penambahan kasus positif covid-19 berkali-kali mencapai angka di atas seribu.
Rakyat yang awalnya begitu takut dengan covid-19 sekarang lebih takut kalau tidak bisa makan. Rakyat juga mulai bosan dengan isu-isu negatif yang datang dari rumah sakit seperti banyaknya pasien yang sengaja di-covid-kan. Kepercayaan rakyat terhadap rumah sakit pun menurun. Jika sakit, orang menjadi tidak mau ke rumah sakit karena takut akan di-covid-kan. Lebih baik disembuhkan di rumah saja.
Menurut survei LSI Denny, saat ini masyarakat lebih cemas terhadap ekonomi dibanding cemas terhadap virus covid-19. Ada lima alasan yang membuat masyarakat lebih cemas terhadap ekonomi seperti sudah banyak negara yang mampu mengendalikan virus covid-19, protokol kesehatan seperti memakai masker dan jaga jarak dinilai mampu mencegah penyebaran covid-19, tabungan semakin menipis, jumlah masyarakat yang terpapar kesulitan ekonomi lebih banyak, dan kurva orang yang meninggal karena covid-19 semakin landai dan menurun.
Ketika negara-negara lain seperti di Eropa telah memulihkan kembali roda ekonomi, Indonesia pun seharusnya segera menyusul. Setelah kebijakan new normal diberlakukan, jangan sampai ditarik lagi hanya karena mendapat tekanan. Dengan protokol kesehatan yang ketat, saya kira penyebaan covid-19 bisa dikendalikan.
Meskipun jumlah positif covid-19 terus bertambah, namun jumlah pasien yang meninggal berhasil di tekan dan jumlah yang sembuh sudah 6x lipat dari yang meninggal. Padahal, di awal pandemi, jumlah pasien yang meninggal pernah lebih banyak dibanding yang sembuh. Artinya, saat ini para tenaga medis di Indonesia semakin terampil dan terlatih dalam menyembuhkan pasien covid-19. Hal ini patut untuk diapresiasi.
Yang pasti, saat ini ancaman kelaparan jauh lebih menakutkan dibanding ancaman covid-19.
(Sumber: Facebook Saefudin Achmad)
Comment