by

Puan-Ganjar Berseteru?

Oleh: Andi Setiono Mangoenprasodjo

Kenapa saya di usia menua, lebih mendekat kembali pada akar hidup saya: Jawa, Kejawaan, dan Kejawen. Jawa itu adalah metafora, penuh kelembutan. Tak mudah diraba, walau kehadirannya sangat nyata. Karena, justru makin ke sini cara orang modern (wabil khusus kaum milenial) memandang banyak persoalan sederhana justru menjadi rumit.

Padahal hidup ini sederhana saja, sesederhana bahwa hidup itu cuma sebuah ampiran. Mampir ngombe, mampir guyon, mampir ngobrol. Sangat sederhana!Apalagi di dunia hari ini, di mana hidup manusia dikuasai oleh medsos, yang sesungguhnya cuma diisi berita dan cerita sampah. Yang jauh realita dari esensi. Bullshit sekali!

Cara bacanya jatuhnya jadi “Jakarta” sekali, tampak gagah, menangan, hegemonik. Tapi sebenarnya rapuh, penuh bualan, dan sekali tepuk: rontok berkali-kali…

Dalam kasus apa yang disebut perseteruan Puan vs Gandjar. Mereka menganalisa seolah-olah dua kubu yang berseberangan. Dan terlibat dalam persaingan yang terlalu dini. Hanya karena ia tak diundang dalam satu kali rapat internal PDI-P. Hanya satu kali! Di mana mungkin ada ratusan kali rapat lain, yang terbuka maupun tertutup diberitakan!

Kesalahan dasar mereka, yang nyinyir itu. Mereka tak mengenal “hubungan personal” yang lebih dalam dari keduanya. Sehingga cara pembacaannya sedemikian brutal dan kacau!

Lalu mengunggah seolah Ganjar “lali oyod”. Mereka lupa gak ada oyod ki ya wis modyar toh ya! Ya selama masih ada hidup, kita gak perlu mengingat akar. Hawong akar yang menghidupi kita. Satu-satunya yang lupa akar, ya mereka yang telah mati. Mati jiwanya, mati raganya. Aneh!

Saat Ganjar di Bali, makan Indomie saja bisa dijadikan cara analisa yang sedemikian tengik. Hanya karena ia bilang “Mangan Indomie sik, kaya anak kost”. Lalu seorang analis politik menafisrkan sedemikian rupa. Bahwa sebagai kader PDI-P, ia sebenarnya tak lebih anak kost. Lalu didramatisir hanya karena ia tak pake saos merah, ia dianggap tak butuh PDI-P.

Sebaliknya karena Indomie warna kuning dan ada daun sawi berwarna hijau. Ia dianggap mengancam bahwa ada banyak kendaraan lain yang bisa ia pakai. Byuh, byuh….

Sampai hari ini, saya pun gak habis pikir. Oleh cara masyarakat media membaca Puan Maharani. Mereka berharap Puan ini bisa berpikir, bersikap, dan bertindak seperti Risma hari ini. Turun ke bawah langsung bersentuhan dengan rakyat.

Atau dulu sekali, ada tokoh perempuan lain bernama Rustriningsih. Yang bersedia bergelut langsung dengan wong cilik. Lalu kebablasan “merasa mampu dan penting”. Hayoh bablas ilang, dan dilupakan. Memang kalau demokrasi lalu boleh nranyak. Bebas ngelunjak?

Puan itu anak Presiden, cucu Presiden pertama. Seorang proklamator dan bapak bangsa. Ia lahir procot, langsung tertawa, gak pakai nangis. Gak pernah bingung, bagaimana bayar SPP sekolah. Gak pernah galau, saat token listrik bunyi tut..tut…tut.. Hakok disuruh mikir hal2 remeh temeh.

Nggak mungkin kita berharap Puan tiba2 main medsos-an, lalu lebay kayak anak2 gagal-nya Amin Rais atau SBY itu. Gak mungkin juga Di sinilah sebenarnya kedua sosok itu sebenarnya sangat saling melengkapi.

Ganjar sangat pandai memainkan sosmed untuk berhubungan dengan rakyat, sedang Puan tak merasa perlu. Mereka bekerja dengan cara yang berbeda, tapi sebenarnya saling “nggenepi”. Mereka berada pada titik yang berbeda. Puan ada di legislatif, Ganjar pada sisi eksekutif.

Yah, kalau Ganjar memang punya potensi. Sudah tugas Puan untuk meredam, menyimpan, menyembunyikan… Sekali lagi, orang atau media yang menganggap adanya rivalitas Puan dan Ganjar itu. Bukan saja kurang dolan adoh, kurang piknik yang bermutu, kurang ngobrol yang berkualitas.

Mereka terlalu berharap PDI-P pecah berantakan. Yang ada hidup mereka yang makin berantakan.

Tak kandyani ya: Puan dan Ganjar kuwi.

Ah rasida wae….

(Sumber: Facebook Andi Setiono M)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed