Oleh : Fadly Abu Zayyan
Sebuah usulan mengejutkan terlontar dari Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto . Dalam sebuah forum diskusi antar Menhan se Asia Pasifik yang bertempat di Singapura, ia menyampaikan usul atau proposal perdamaian konflik Rusia – Ukraina. Usulan tersebut terdiri dari 3 langkah diantaranya,
genjatan senjata, menciptakan zona tanpa militer masing-masing sejauh 50 km, dan melakukan referendum di wilayah Ukraina yang sekarang dikuasai Rusia.
Usulan itu jelas ditolak mentah-mentah oleh pihak Ukraina karena dianggap menguntungkan Rusia. Tak hanya itu, publik Indonesia pun ikut gaduh karena kebetulan Prabowo Subianto adalah salah satu kandidat Pilpres 2024 mendatang. Bisa jadi efeknya tidak akan sedahsyat ini jika kita tidak sedang memasuki tahun politik. Namun segala isu yang terkait kandidat, pasti akan menjadi sensitif. Jangankan isu pertahanan keamanan, isu video bokep saja juga digoreng sedemikian rupa oleh netijen +62 yang “maha benar”.
Kegaduhan ini pun juga membuat Presiden Jokowi turun tangan. Rencananya beliau akan memanggil Prabowo untuk klarifikasi terkait hal ini. Dan poin yang menjadi pemicu kegaduhan adalah usulan referendum. Pertanyaannya, apakah usulan ini memang aneh, bahkan tak sedikit yang nyinyir kepada Prabowo menganggap ini sebagai sebuah kebodohan dan kecerobohan?
Pertama, Kementerian Pertahanan memiliki posisi yang sangat strategis dalam sebuah negara. Dan tentunya akan diisi oleh para “Think Tank” di dalam institusinya, yaitu mereka yang memiliki kapasitas dan kompetensi jauh di atas netijen yang masih membuka pintu mini market bertuliskan “Tarik” tapi malah didorong. Apa yang disampaikan oleh seorang Menhan pada sebuah forum global, tentu melalui kajian serius, jauh lebih serius daripada kita ketika memilih dan memilah produk di olshop yang akhirnya hanya menumpuk di wishlist tanpa di “check out”.
Kedua, usulan se-sensitif itu pastinya sudah sepengetahuan Kepala Negara. Lalu kenapa, Presiden Joko Widodo sampai harus turun tangan akan memanggil Prabowo seolah akan memarahi bawahannya yang disambut sorak gembira oleh para penyinyirnya seakan ini sudah akhir dari segalanya bagi Prabowo sebagaimana kalau kita mendengar kata “kita cukup berteman saja”?
Bagi saya, seorang Jokowi adalah politikus ulung dan ahli strategi di balik wajah polosnya. Dalam beberapa hal yang terkait isu strategis, beliau mampu memainkan dua tampilan yang seakan berbeda pada panggung politik baik di dalam ataupun luar negeri. Misalnya, perihal penolakan Timnas Israel pada event Piala Dunia U-20. Ketika info intelijen yang masuk dan mengatakan akan ada skenario rusuh, Jokowi tidak serta merta lalu membatalkan hajat sepakbola dunia itu. Melainkan melalui penolakan Kepala Daerah yang seolah berbeda pendapat akan hal ini. Tentu tidak lucu, jika seorang Presiden bicara apa adanya dengan mengatakan akan terjadi rusuh. Itu sama halnya dengan mengatakan bahwa aparat keamanan kita lemah dan tak mampu menjamin stabilitas. Selain memang amanah konstitusi yang mana kita tidak mengakui adanya Negara Israel.
Pun begitu dengan usulan Prabowo Subianto mengenai referendum. Saya melihat Jokowi sedang memainkan politik bebas aktif dan menjadi penyeimbang antara kubu barat dan timur. Sangat mungkin, kedekatan Jokowi kepada kedua belah pihak, baik Rusia ataupun Ukraina telah membuat dirinya merumuskan sebuah usulan bijak yang disampaikan melalui Menhan Prabowo. Sudah bukan rahasia bahwa kondisi Ukraina saat ini semakin terdesak, apalagi sejak Rusia terpilih menjadi Presiden Dewan Keamanan PBB. Gudang senjata milik Ukraina (termasuk gudang nuklir dan biologi) telah dihancurkan Rusia satu persatu. Jika perang diteruskan, besar kemungkinan Ukraina akan mengalami kekalahan dan Presiden Zelensky bisa saja berujung pesakitan sebagai penjahat kemanusiaan dengan berbagai bukti salah satunya keterlibatan BlackRock sebagai investor Vaksin dan pihak Ukraina sebagai pengembang virusnya.
Ketiga, referendum bukanlah usulan tabu bagi penyelesaian konflik dua pihak yang dalam perjalanan sejarahnya pernah menjadi satu bangsa untuk dipersatukan kembali. Kecuali referendum itu untuk memecah sebuah bangsa sebagaimana yang pernah kita alami di Timor Timur. Mungkin bagi Ukraina, ini menyangkut kedaulatan negara. Padahal bisa jadi karena ego politik para elitnya yang memang sedang dibackup blok barat.
Namun dari sisi kemanusiaan, bisa jadi rakyat mereka sedang memendam kerinduan sebagai satu bangsa sebagaimana dulu juga pernah terjadi pada Jerman Barat dan Timur yang akhirnya bisa bersatu kembali. Apalagi saat ini antara Rusia dan Belarus juga sedang menjajaki keinginan yang sama. Bisa saja mereka sedang merindukan Kejayaan Tsar sebagaimana Kejayaan Nusantara yang juga pernah menjadi bangsa besar namun dipecah belah oleh Imperialisme Barat. Paham ya?
Sumber : Status Facebook Fadly Abu Zayyan
Comment