by

Pesan Untuk Fachri : Jangan Anggap Sepele Soal Adab dan Etika

Oleh : Agung Wibawanto

Ada hal yang saya anggap bukan lagi main-main, buntut dari kritikan BEM UI kepada presiden Jokowi. Ceritanya, Jokowi merespon gelar olokan terhadap dirinya sebagai King of Lip Service. Ia mengatakan hal yang biasa jika dirinya diolok-olok, sudah teramat sering. Menurutnya itu salah satu ekspresi yang disampaikan masyarakat kepadanya. Namun demikian, Jokowi juga berpesan dan mengingatkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang penuh kesopan-santunan. Nah, kata sopan-santun itu pun ditanggapi oleh Politikus Partai Gelora, Fahri Hamzah.

Ia menyindir Jokowi agar tidak membesar-besarkan soal sopan-santun. Fahri menambahkan bahwa ia lebih memilih benar ketimbang sopan. Pernyataan Fahri ini seolah benar namun sesungguhnya banyak salah kaprah. Saya akan jelaskan. Pertama, perlu dipahami dulu perbedaan antara “benar” dan “sopan”. Kedua istilah tersebut tidak berada pada dimensi yang sama. Sebuah “kebenaran” itu adalah materi, sedangkan “kesopanan” itu adalah nilai (value). Kesopanan adalah salah satu dari adab atau moral atau etika yang kedudukannya lebih tinggi ketimbang “benar”. Kedua, pernyataan Fahri seolah membenarkan pendapat “mending benar tapi tidak sopan, ketimbang sopan tapi tidak benar”.

Ia mengatakan seperti itu karena menempatkan keduanya pada satu dimensi yang sama (padahal beda). Seyogiayanya, tidak ada yang tidak benar jika etika yang lebih dikedepankan. Jalan yang ditempuh akan benar dan hasil yang dicapai akan benar jika mengutamakan etika. Sebaliknya, kebenaran apapun yang diperoleh namun dengan mengedepankan “kebencian”, misalnya (tentu tidak beretika), maka hanya akan menimbulkan masalah. Apa yang disampaikan Fahri dapat saya analogkan kondisinya mirip dengan orang pandir.

Contoh, seseorang yang uangnya dirampas, maka membolehkan dirinya melakukan apapun untuk mengambil kembali uang yang merupakan haknya, meski dengan kekerasan dan membunuh. Atau, seseorang membolehkan dirinya mencuri karena keluarganya lapar. Atau, siapa saja membolehkan dirinya memaki dan mengolok-olok seseorang lain atas nama hak nya berpendapat dan berekspresi. Kondisi berpikir seperti ini yang ada di kepala Fahri. Sementara Jokowi menolak cara berpikir atau “pembolehan” seperti itu.

Untuk itulah etika itu ada dan hukum pun hadir, agar tidak semau-mau kita sendiri. Indonesia pun bukan penganut faham liberal yang bebas tanpa batas. Nanti lama-lama boleh dong ada sex bebas, minuman beralkohol atau juga berjudi, hal ini atas nama kebebasan dan hak asasi manusia. Boleh gak Fahri? Bebas dong anaknya ataupun istrinya Fahri memaki-makinya karena tidak menafkahi mereka, misalnya?

Dalam Islam pun mengajarkan bahwa tidak akan menjadi pahala atas sesuatu yang didapat dengan cara yang salah/haram. Sebaliknya, jika melakukan dengan cara yang benar, halal dan diridhoi maka insha Alloh akan mendapatkan hasil yang baik dan halal pula. Bila sudah melakukan cara yang baik namun belum mendapatkan hasil yang baik, maka itu belum rezekinya. Mungkin nanti di lain waktu, karena rezeki tidak akan pernah salah ataupun tertukar. Poin ketiga, soal “benar” yang dimaksud Fahri terkait postingan BEM UI. Apakah yang disampaikan dalam postingan itu adalah benar (materinya)? Apakah bukan lebih dekat kepada “tuduhan” ataupun sindiran? Mengapa? Karena belum ada pembuktian baik secara akademik maupun hukum yang berkesimpulan dan memvonis Jokowi sebagai raja “pembohong” atau tukang janji (istilah lain dari king of Lip Service).

Hal lain, apakah itu suara rakyat mayoritas atau cuma representasi segelintir oposan? Hal lain lagi, tidak usah lah presiden, kepada seorang pimpinan perusahaan saja, atau bahkan kepada seseorang, jika kita telah mempermalukan apalagi masuk kategori mencemarkan nama baik dan menebar kebencian di depan publik melalui media online, maka dapat diproses hukum ITE oleh orang yang diolok-olok tadi. Apalagi seorang presiden? Etika, adab dan sopan-santun yang lebih diutamakan tidak akan menghilangkan substansi kebenaran itu sendiri.

Misal, BEM UI mengajukan surat kepada pihak istana untuk berdialog menyampaikan aspirasinya. Sama seperti Sang Ketua BEM UI sekarang yang pernah diundang dan menghadap SBY (bahkan senang banget hanya sekadar bertemu dengan ibu negara). Jokowi pun tentu akan lebih apresiatif. Jokowi dikenal sering mengundang masyarakat dengan berbagai latar belakang status dan profesinya ke istana (gerobak sate dan bakmi nasi goreng pun pernah diundang). Sampaikan aspirasi yang menjadi uneg-uneg pengurus BEM. Jika langkah sopan ini yang diambil, tentu akan lebih sampai pesannya bahkan mungkin dapat direspon secara langsung oleh presiden.

Terakhir, pesan buat bung Fahri. Sebagai “kakak pembina”, silahkan bisa dibimbing lebih baik lagi adik-adik mahasiswa itu. Mereka tengah mencari identitas diri. Ajarkan kepada mereka soal adab, etika dan sopan-santun layaknya yang diajarkan Rasulullah Muhammad SAW. Jangan pernah sepelekan adab dan etika, karena jika itu sudah tidak ada, maka kita atau bangsa ini akan memasuki suatu kondisi yang mirip di masa jahiliyah dulu. Hormati orangtuamu, gurumu, dan pimpinanmu serta hargai sesamamu maka insha Alloh mendapat keberkahan. Itu yang dimaksud Jokowi, tidak berlebihan kan?

Sumber : Status Facebook Agung Wibawanto

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed