Oleh : Agung Wibawanto
Setelah heboh Budiman Sudjatmiko mereda, kini publik dihebohkan dengan berita “perjodohan paksa” antara Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Sebetulnya sebuah peristiwa biasa jika tidak ada drama di belakangnya. Ini era perbaperan, tidak ada lagi yang bisa disembunyikan, bakal bocor. Ada drama dan gonjang-ganjing apa lagi ini yang melibatkan koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP)?
Disebut dengan peristiwa biasa karena memang publik sudah terlalu sering ditampilkan wacana pasangan bakalan capres-cawapres. Terakhir soal wacana pasangan yang menghebohkan antara Ganjar-Anies. Dan itu sudah clear dianggap dagelan yang tidak lucu berawal dari andai-andainya salah satu ketua DPP PDIP, Said Abdullah. Sebelum itu juga sudah banyak wacana pasangan di publik yang sejenis.
Apakah sudah ada deklarasi, semacam acara “lamaran” dan penerimaan lamaran pasangan? Kan belum ada? Makanya disebut pula dengan “perjodohan paksa”, belum menjadi kawin paksa. Lalu mengapa heboh? Pertama, karena yang heboh tidak hanya yang dari luar koalisi, bahkan yang di dalam koalisi ternyata lebih heboh. Demokrat merasa dikhianati, bahkan Andi Arief menyebut Anies sebagai berdarah dingin yang pengecut, di akun Twitternya.
Semakin mendebarkan saja koalisi ini yang sudah sejak awal memang ditengarai bakal bubar karena tidak ada kesatuan kehendak soal bacawapres buat Anies. Ceritanya, berdasar pembongkaran Demokrat, Anies sudah menyetujui berpasangan dengan AHY sejak 12 Juni 2023. Ketika itu, menurut Riefky (Sekjen Demokrat), Anies menghubungi via telp mengatakan segera berpasangan dengan AHY sesuai arahan ibu dan guru spiritualnya.
Untuk itu, Demokrat “ngotot” agar Anies segera mengumumkan pasangannya sampai akhir Juli. Namun Anies dan tim 8 nya tidak kunjung mendeklarasi pasangan. Hingga pada 30 Agustus kemarin Riefky mengaku mendapat klarifikasi dari Sudirman Said (tim Anies), bahwa benar Anies menerima Cak Imin sebagai bacawapres secara sepihak atas inisiatif Ketum NasDem, Surya Paloh. Anies yang mengaku sebagai “petugas rakyat” bisa apa?
Dalam nota kesepakatan yang ditandatangani oleh ketiga Ketum partai koalisi disebutkan menyerahkan sepenuhnya kepada Anies untuk memilih pasangan, lalu mengapa ada peran Surya Paloh yang bahkan sepihak tanpa komunikasi dengan partai koalisi lainnya? Sampai di sini sepertinya terlihat bahwa ternyata Anies adalah “petugas Surya Paloh”, dan berbau-bau oligarkhi yang dulu dikritik Anies. Seperti biasa, spekulasi liar lalu muncul.
Ada yang menyebut Surya Paloh tidak menyukai AHY yang minim pengalaman, hingga yang paling sadis mengatakan Surya Paloh sengaja menggagalkan peluang Anies maju capres, kok bisa? Dengan masuknya PKB dan menjadikan Cak Imin sebagai bakal cawapres Anies, menjadikan Demokrat meradang dan bisa keluar koalisi. Hal yang sama mungkin dilakukan PKS yang akan segera mengambil sikap setelah mendapat kepastian soal posisi cak Imin.
Dengan hanya berkoalisi dua partai (Nasdem dan PKB) maka dipastikan tidak cukup kuota buat Anies nyapres. Ada pula spekulasi Surya Paloh menelikung PDIP agar Cak Imin tidak diambil sebagai pasangan Ganjar dan membiarkan AHY menjadi pasangan Ganjar. Keriuhan ini bahkan mengalahkan maraknya judi online di Indonesia. Prabowo (Gerindra) sendiri tidak persoalkan karena sudah mendapat dukungan dari Golkar, PAN dan PBB.
Dengan Cak Imin di kubu Anies, tentu tidak sulit lagi Prabowo menunjuk bakal cawapresnya yang kemungkinan Ketum Golkar, Airlangga Hartarto. Spekulasi lain menyatakan bakal muncul koalisi baru yang akan mengusung AHY-Sandiaga, atau Sandiaga-AHY (PPP-Demokrat). Pergerakan partai diyakini masih akan terus berlanjut hingga mendekati hari pendaftaran pasangan capres-cawapres. Inilah nafas politik Indonesia yang dikenal dinamis dan tidak ideologis.
Setiap partai bisa mulur-mungkret mirip gelang karet. Kadang dibikin longgar kadang pula dikencangkan. Saya menyebutnya sebagai strategi politik “gelang karet’. Sangat mungkin pula PDIP akan ditinggalkan partai-partai Senayan dan akan berjuang sendiri bersama partai kecil (non Senayan). Namun demikian, PDIP bisa saja berkoalisi dengan rakyat pemilih karena merekalah kekuatan riil di lapangan. Sedang partai hanya mesin yang butuh digerakkan.
Dalam pengalaman pemilu terutama pilpres, tidak semua pemilih partai akan pula memilih capres yang diusung atau didukung partai tersebut. Pilpres mengandalkan sosok capres dan cawapres. Maka sudah terjadi, seperti di pilpres 2014 di mana Prabowo didukung banyak partai, namun dapat dikalahkan oleh Jokowi yang hanya didukung sedikit partai. Suara gabungan PDIP 18,95%, PKB 9,04%, Nasdem 6,72%, dan Hanura 5,62%, yakni 39,97%.
Sementara akumulasi suara Gerindra 11,81%, PAN 7,59%, PPP 6,53 %, PKS 6,79%, Golkar 14,75%, dan PBB 1,46%, yakni 48,93%. Dari data ini ingin dikatakan, terkadang partai sibuk di permukaan, sementara rakyat hanya menonton dan mencermati di bawah. Hingga pada akhirnya rakyat yang akan menentukan siapa yang mereka pilih. Rakyat terkadang lebih bijak, memilih sosok capres tanpa melihat partai pengusung dan pendukungnya siapa. Meski ada juga yang gunakan pertimbangan partai.
Sementara itu, saya masih terus menunggu reaksi dan sikap dari kelompok Amien Rais dan Rizieq Shihab cs. Mereka memutuskan bergabung pada salah satu gerbong koalisi atau menyatakan golput? Saya cenderung ingin agar kelompok tersebut memilih golput. Karena keaktifan mereka dalam pilpres kerap menimbulkan gesekan yang keras (polarisasi di masyarakat). Atau jika pun menggunakan hak pilihnya tanpa ikut berkampanye salah satu calon.
Sumber : Status Facebook Agng Wibawanto
Comment