by

Pentingkah Jadi Lulusan Luar Negeri?

Oleh : Pitoyo Hartono

Banyak orang yg bangga karena dirinya atau anaknya manjadi lulusan luar negeri.

Pentingkah ini? Sangat nggak penting banget2.

Nggak ada orang yg bisa makan hanya dengan predikat “lulusan luar negeri”.

Lalu apa yg penting ?

Tentu skill dan knowledge yg dipunyai orang itu. Bagi pihak yg “membeli” skill dan knowledge tsb, tidak penting skill dan knowledge itu didapat dari luar negeri, dalam negeri, luar planet atau luar semesta.

Tentunya mungkin dengan sekolah keluar negeri seseorang bisa mendapatkan skill yg sulit didapatkan di dalam negeri, misalnya kemampuan berbahasa asing, mengerti akan budaya lain, dan kalau sekolahnya bermutu, pendidikan bermutu yg mungkin lebih baik dari apa yg bisa didapatkan di dalam negeri.

Tapi ingat, dengan bersekolah di dalam negeri, ada skill yg tidak didapatkan di luar. Misalnya kemampuan utk bekerja dan berkomunikasi di masyarakat yg khas. Ini juga skill yg ada harganya. Ada juga bidang2 yg “arena” nya memang di dalam negeri. Jadi dikotomi dlm negeri vs luar negeri itu sebenarnya remeh temeh.

Banyak juga orang sekolah keluar negeri utk gengsi yg remeh temeh. Mereka “belajar” di sekolah kelas kambing yg mungkin kekurangan murid di negaranya sendiri. Sekolah semacam ini tidak menawarkan apa2 kecuali ijasah luar negeri. Banyak juga orang yg menyia2kan kesempatan belajarnya. Di Jepang banyak mahasiswa/i Indonesia yg kumpul hanya dengan orang Indonesia, membentuk kantong2 komunitas jago kandang. Mereka menyia2kan kesempatan utk belajar bahasa dan budaya lain, kesempatan utk melebarkan horizon nya dng berinteraksi dengan orang lain.

Sekali lagi yg diapresiasi oleh market adalah skill dan knowledge bukan ijasah.

Problemnya, sistem apresiasi di Indonesia sering meleset dengan hanya melihat ijasah dan bukan skill sepembawa ijasah. Karena itu banyak universitas di Indonesia yg tujuan utamanya bukan menghasilkan orang2 yg terdidik, tapi orang yg berijasah. Dan “tawaran” dari universitas ini “disambut” pula oleh masyarakat. Sehingga ekosistem pendidikan bermutu tidak terbentuk. Sampai sekarang, mutu universitas di dalam negeri masih ada di zona antah berantah, bukan saja di dunia tapi di tingkat asia. Ekosistem macam ini juga yg menyebabkan adanya pengagungan ijasah luar negeri. Sesuatu yg sangat tidak sehat.

Ini hanya dapat diputus dng terbentuknya sistem pendidikan dan assessment hasil pendidikan yg baik di Indonesia. Sayangnya ini tidak pernah terjadi di pemerintahan manapun, termasuk 2 periode pemerintahan Jokowi. Saya sangat skeptis bahwa bonus demografi akan terjadi. Moga2 saya salah.

Di era Industry 4.0, persaingan di dunia sangat terbuka. Tanpa disadari kita harus terus menerus bersaing dengan bangsa lain. Kecepatan berinovasi sangat krusial dalam merebut pasar. Sebentar lagi, saingan kita bukan cuma manusia tapi AI.

Di era ini akan banyak pekerjaan yg hilang, tapi akan banyak juga perkerjaan yg muncul. Hanya, pekerjaan2 baru itu hanya bisa dilakukan oleh orang yg mempunyai pengetahuan dan skill yg baik. Kalau 30 tahun yg lalu, transformasi dari buruh pabrik menjadi misalnya penjaga toko dapat dilakukan dengan mudah oleh siapapun, di era ini tidak akan gampang utk “menguasai” pekerjaan2 baru ini. Sekali lagi ijasah nggak ada harganya kalau tidak disandingkan dng skill dan pengetahuan yg patas utk ijasah itu. Itu cuma kertas, yg nggak penting ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing.

Semoga calon presiden kedepan (yg sampai sekarang masih terlihat bermutu rombengan tanpa visi) bukan saja mempunyai visi utk memperbaiki ekosistem pendidikan kita, tapi juga punya kekuatan utk menjalankan visi itu.

Sumber : Status Facebook Pitoyo Hartono

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed