by

Pengajian

Oleh : Ahmad Sarwat

Zaman saya kecil, kata mengaji itu identik dengan belajar membaca Al-Quran. Pagi sekolah SD, sore sekolah madrasah dan malam waktunya mengaji.

Nah, yang dimaksud dengan mengaji itu maksudnya belajar baca Quran mulai dari turutan alif ba ta, sampai Juz ‘Amma dan Al-Quran. Maksudnya baca mulai dari Al-Baqarah dan seterusnya.

* * *

Kesini-kesini istilah mengaji itu mulai mengalami pergeseran, bukan lagi belajar baca Quran, tetapi mendengarkan ceramah, pidato atau pun nasehat para kiyai. Padahal cuma mendengar saja, tapi disebut juga pengajian.

Jadi pengajian itu ternyata punya banyak makna. Namun menurut hemat saya yang lebih tepat berasal dari mengkaji. Maksudnya agar punya kesan ilmiyah dan bukan sekedar obrolan lepas, celoteh, ceramah, nasehat, atau pun orasi.

Makanya pengajian di Rumah Fiqih Indonesia yang rutin digelar tiap malam Kamis saya namakan menjadi : Kajian Malam Kamis disingkat KMK.

Soalnya saya ingin memberi kesan bahwa sebuah pengajian itu bukan sekedar cerita ngalor-ngidul, bursa hoaks, pameran cerita mistis atau gelar kisah sinetron azab.

Tapi pengajian itu pada hakikatnya benar-benar sebuah kajian yang ada pertanggung-jawaban ilmiahnya, serta punya literatur resmi dan tentu saja ada karya-karya pendukungnya.

Agar bisa benar-benar terpenuhi sisi keilmiahannya, menurut pandangan saya, harus jelas identitas cabang ilmu yang dibahas atau disampaikan. Itu adalah kunci utama.

* * *

Sejatinya dalam gugus ilmu-ilmu keislaman, setiap cabang ilmu memang sudah ada pemetaannya yang sudah dibakukan, persis seperti pada dunia akademik yang ada fakultasnya, program studi (prodi), mata kuliah dan silabus.

Setiap matakuliah diampu oleh dosen yang punya kemampuan akademik sesuai dengan matakuliah ya, dengan derajat yang pastinya lebih tinggi dari mahasiswanya.

Untuk boleh mengajar strata satu kudu sudah strata dua bahkan tiga. Dan untuk dapat derajat strata satu, dua dan tiga tentu harus lewat proses kuliah yang terstruktur dan legal.

Intinya, untuk bisa jadi pengajar secara akademik itu bukan bermodal dukungan massa pencinta dan penggembira, tapi berdasarkan kemampuan akademik yang legal dan diakui secara resmi. Biasanya yang diangkat jadi dosen terbatas yang punya indeks prestasi tinggi.

* * *

Sayangnya selama ini dalam dunia pengajian, semua ketentuan di atas ditabrak seenaknya.

Mentang-mentang pengajian itu tidak ada penilaian akreditasinya, kadang dikelola seenaknya. Yang disampaikan terkadang sudah bukan kajian ilmiyah, tapi malah masuk ke ranah lain seperti jadi ajang orasi politik, ajang promosi bisnis.

Kadang jadi tempat dukung mendukung calon kandidat tertentu, bahkan tidak jarang masuk ke area perdukunan.

Pokoknya dunia pengajian itu kacau suracau deh urusannya. Sebab siapa saja bisa bikin pengajian seenaknya, tanpa kemampuan akademik sedikitpun.

Siapa saja bebas ngomong apa saja terserah suasana isi hatinya. Siapa saja bebas memaki siapa saja, bebas ghibah, bebas ngomongin orang, bebas menuduh kafir, ahli bid’ah, thaghut dan sumpah serapah seenaknya.

Dan semua itu sah-sah saja dilakukan di dalam sebuah : pengajian.

Bayangkan betapa najisnya pengajian kita, najis mughallazhah alias najis berat, karena mencucinya kudu tujuh kali dimana salah satunya pakai tanah.

* * *

Lalu bagaimana kita yang awam ini bisa memilah antara pengajian yang berisi kajian dan yang bukan?

Sebenarnya mudah saja untuk mengukurnya, coba tanyakan saja di pengajian itu, ini nama mata kuliahnya apa dan masuk program studi apa?

Dari jawabannya mudah diterka seberapa ilmiyah pengajian itu dan seberapa abal-abal.

Tapi yang awam tetap saja tidak bisa menilai sebab yang terlihat adalah atribut-atribut belaka.

Penampakan dalam bentuk kostum dan gaya bicara, buat kalangan sudah bisa mengecoh, sehingga sulit menilai secara objektif.

Sumber : Status Facebook Ahmad Sarwat

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed