Oleh : Agung Wibawanto
Pada awalnya, saya melakukan semacam riset tipis-tipis, mengapa orang memilih Prabowo-Gibran? Menurut saya (sebagai asumsi), paslon ini merupakan dua kubu yang di 2019 saling berseberangan, kini bersatu. Dalam pemikiran saya, tentu mereka memiliki pendukung sendiri-sendiri. Lantas jika digabung bagaimana? Pada kebanyakan ditemukan responden yang misalnya, pendukung Jokowi (Gibran) yang coba (jika tidak ingin dikatakan terpaksa) menerima Prabowo.
Artinya, sesungguhnya mereka tidak suka Prabowo karena pernah mereka lawan dua kali di 2014 dan 2019. Namun karena ini dikatakan arahan atau kehendak Jokowi, terlebih menjadikan Gibran sebagai cawapres, maka mereka mau tidak mau ikut mendukung. Jika saja tidak ada Gibran, mungkin mereka enggan memilih Prabowo meski direkom Jokowi, “Saya sampai hapal betul apa saja rekam jejak negatif Prabowo, karena dua kali kami menyuarakan itu,” ujar Tatik dari Solo.
Namun begitu, kini ia siap mendukung Prabowo, “Sekarang ada Mas Wali dan ini pilihan pak Jokowi, jadi saya ngikut pak Jokowi,” tambah Tatik. Demikian pula yang disampaikan Bimo (Yogyakarta) yang merasa terpaksa milih Prabowo karena ingin tegak lurus dengan Jokowi, “Mau gimana lagi? Kita relawan Projo kan bisanya tegak lurus Jokowi. Untungnya ada Mas Gibran, sih,” ucapnya. Tatik dan Bimo ternyata tidak hanya berdua tapi banyak.
Ada lagi Woro, seorang mahasiswa dari Sukoharjo yang mengaku ngefans dengan Gibran. Tapi saat ditanya soal Prabowo, Woro mengatakan tidak begitu mengenal pribadi Prabowo, “Aku itu milih Mas Gibran, bukan karena partainya apalagi karena Prabowo. Awalnya aku ngarep Mas Gibran sama Pak Ganjar, kan asyik ganteng-ganteng dan muda-muda,” ujar Woro tertawa. Pencarian saya alihkan kepada pendukung sejati Prabowo.
Muchlis (Solo), mengaku akan tetap setia dengan Prabowo, sejak 2014, “Saya mungkin salah satu pendukung sejati pak Prabowo, Mas. Kalau yang lainnya sih saya yakin cuma ikut-ikutan. Apalagi setelah datangnya Gibran,” tutur Muchlis seperti agak sinis. “Saya jujur kurang senang aja, Mas. Dulu kita melawan dan menyerang Jokowi, eh sekarang malah barengan. Kenapa coba Jokowi ikut mendukung Prabowo? Kenapa gak mendukung Pak Ganjar dari partainya sendiri? Kan aneh?”
Sepemikiran, Maryam dari Karanganyar juga memiliki pandangan yang sama, “Mungkin Prabowo punya peluang besar untuk menang kali ini, makanya pak Jokowi ikut-ikutan ke kubu pak Prabowo. Yang saya gak begitu respek, kenapa harus ngajukan anaknya sih? Seperti gak percaya saja dengan pak Prabowo untuk ngelanjutkan program Jokowi?” Terang Maryam. Rupanya Maryam lebih sreg kalau Prabowo berduet dengan Erick Thohir atau dengan Ridwan Kamil.
“Ya, keliatan banget terlalu dipaksakan tuh Gibran. Baru juga dua tahun jadi walikota. Itupun kan dibantu pamannya di MK kan, supaya lolos persyaratan. Pokoknya saya gak sreg sih, meski tetep pilih pak Prabowo,” tambah Maryam. Ini semakin menarik, ternyata ada pendukung die hard di keduanya. Saya membayangkan bagaimana saat kampanye? Bagaimana kalau debat di medsos? Pendukung Prabowo akan diam saja ketika Gibran diserang.
Sebaliknya demikian, pendukung Gibran cuek nanggapi serangan kepada Prabowo? Pendukung setia Prabowo tetap inginnya Prabowo menjadi dirinya sendiri, tidak perlu terlalu ngikutin dan menjual nama Jokowi. “Pak Prabowo sekarang sudah berubah. Saya seneng dengan Prabowo yang dulu, singa podium, yang bisa marah dan teriak-teriak membela rakyat. Sekarang dengar pidatonya agak males sih,” kali ini pendapat Ningsih dari Sukoharjo.
Ini fenomena yang baru terjadi, mungkin di seluruh dunia. Ada paslon kandidat pilpres yang masing-masing memiliki pendukung die hard, dan kedua kelompok pendukung sama-sama belum move on dari peristiwa 2014 dan 2019 yang lalu. Sebenarnya sama-sama gak suka tapi disatukan karena keadaan. Berbeda dengan pengurus partai baik tingkat DPP hingga DPC yang semua harus sepakat bahwa pilpres itu sepaket (capres-cawapres).
Sekali lagi, ini riil suara rakyat pendukung paslon Prabowo-Gibran, yang coba saya tangkap melalui dialog langsung. Sengaja saya seharian berkeliling kota Solo untuk bertemu dengan responden yang saya pilih random, yang pasti mereka pendukung Prabowo. Kita belum tahu bagaimana hasil suara yang akan diraih paslon ini. Apakah Gibran memiliki efek positif ataukah sebaliknya? Ini pertaruhan bagi Prabowo yang mungkin akan menjadi kesempatan terakhirnya.
Sedangkan bagi Gibran, jika kalah, tidak terlalu masalah justru dijadikan batu loncatan menuju popularitas yang lebih menasional di kesempatan selanjutnya. Adanya dua kubu die hard ini juga bisa dijadikan kelemahan bagi lawan yang menganggap tidak kompak dan tidak militan. Keduanya (kubu die hard) justru memegang kunci keburukan masing-masing. Akan menjadi PR berat eks Projo untuk menyatukan dukungan. Keduanya juga mengaku sama-sama punya pendukung yang banyak.
“Kerjasama dengan habib dan ustadz seperti 2019 lebih klik ketimbang dengan Projo,” ungkap warga yang tidak ingin disebut namanya. Menurutnya, Islam adalah mayoritas, jadi harusnya kelompok Islam dilibatkan, “Saya dulu sering ikut kajian politik di masjid-masjid. Sekarang mana ada? Projo mana bisa diajak main dari masjid ke masjid?” Tambah warga dari Kampung Arab Solo tersebut. “Mungkin di putaran kedua kelompok Islam gabung lagi?” Pancing saya. Dia hanya tertawa.
Sumber : Status Facebook Agung Wibawanto
Comment