Dari birokrasi yang dipenuhi mentalitas korup dan priyayi dekaden, jumawa, masih berlagak pamong-praja dan bukan aparat yang melayani rakyat, apa yang diharap? Ada begitu banyak aturan membelenggu, dan hanya menjadi kemungkinan pat-gulipat, persekongkolan ekonomi dan politik biaya tinggi.
Terus, tahu-tahu jika ada pejabat korupsi, Presiden disuruh bertanggung-jawab. Tapi kalau aturan mau dikocok-kocok, diguncang-guncang, Presiden dipersalahkan, dituding ugal-ugalan. Walhal, ini negeri brengsek yang memang harus diguyah-rebah sebagaimana istilah Chairil Anwar.
Di tengah Kaum Urakan, WS Rendra di tahun-tahun 70-an terus bersabda: “Kita sendiri mesti merumuskan keadaan/ kita mesti keluar ke jalan raya/ keluar ke desa – desa/ mencatat sendiri semua gejala/ dan menghayati persoalan yang nyata/ …”
Kalau revolusi mental masih mentul, juga masih suka mentil, soal perubahan peradaban dan karakter manusia tak ada yang berjalan cepat, revolusioner, kecuali dengan tangan besi. Kekuasaan yang totalitarian. Mau? Nanti cerewet lagi.
Kalau ada yang bilang sistem pemerintahan kita presidential, sungguh omong kosong. Sejatinya pemerintahan kita menyandera presiden dalam sistem quasi parlementer. Yang membuat presiden tak bisa leluasa menjalankan peran sebagai eksekutif.
Lha, kalau kita mau nerusin masalah ini, lucu-lucunya keluarga Jokowi di mana? Dii situ lucunya, ketika sama sekali nggak ada lucunya dan sontoloyonya. Karena banyaknya politikus sontoloyo yang bersimaharajalela.
Jokowi adalah antitesis. Kalau dinilai ugal-ugalan, sebetulnya kurang ugal-ugalan. Masih berada di ranah kompromi, karena itung-itungan efek politik. Padahal, kuncinya sederhana, tegakkan hukum tanpa pandang bulu, mau bulu ketek atau bulu selangkangan. Pokokmen, tegakkan seadil-adilnya seperti tuntutan iwan Fals.
Jika pemerintahan Jokowi adem-adem, pasti ada yang salah. Gejolak pemerintahan karena ia sedang menggebrak keadaan. The President is shaking things up. Kaum formalis dan pragmatis, yang comfortable zone-nya terusik, pasti tak senang. Itu biasa. Kalau mereka nyebar fitnah dan hoax, itu karakter pecundang.
Mana yang lucu dalam situasi demikian? Yang lucu adalah musuh-musuh politik kehilangan angle. Makin ngawur. Apalagi kalau sudah ngrangkul agama. Di mana sorga bisa didapat dengan 0% DP. Oke-oce pokoknya, asal tidak milih Jokowi. Ketika saya tanya pada Jan Ethes, dia tak menjawab. Pada cucu Jokowi yang kedua, Sedah Mirah Nasution, jawabnya malah cuma ah-uh-ah-uh mulu. Nggak lucu lagi ta?
(Sumber: Facebook Sunardian W)
Comment