by

Paradoks Moral dan Realisme Politik AS

Oleh : Labib Muhsin

Banyak orang mungkin bingung melihat sepak terjang Pemerintah AS terutama dalam politik dan ekonomi serta perdagangan di luar negeri. Sebagian dari kita tak habis pikir bagaimana ia menjadi negara yang begitu konsisten dalam sikap dan police yang arogan dan meremehkan kedaulatan semua negara meski berganti presiden dan pemerintahan? Mengherakan! Meski Biden dan Trump sangat berbeda pandangan dan gaya secara kontradiktif dan keduanya terlibat dalam polemik sengit dan saling menjatuhkan usai pengumuman hasil pilpres, sikap dan cara AS menghadapi seluruh dunia, terutama terhadap Iran, tak berubah.

Apakah demokrasi dan kekisruhan yang mengiringi persaingan politik partai Republik dan partai Demokrat hanyalah sandiwara? Apakah moralitas para pemimpin AS memang bobrok semua hingga menganggap penindasan, invasi dan intervensinya di seluruh dunia sebagai sikap wajar yang tidak bertentangan dengan etika kemanusiaan? Ataukah memang AS tidak mengimani moralitas kemanusiaan sebagai standar nilai? Ataukah AS menggunakan standar selain etika dan moralitas? Mengapa mendukung rezim-rezim yang nyata tak demokrais seperti Arab Saudi dan negara-negara Arab di Teluk, dan pada saat yang sama mengganggu negara-negara yang demokratis dan mengintervensi sejumlah pemerintahan yang didukung rakyat seperti Iran, Suriah dan Venezuela?

Banyak orang mungkin bingung melihat sepak terjang Pemerintah AS terutama dalam politik dan ekonomi serta perdagangan di luar negeri. Kita tak habis pikir bagaiman ia menjadi negara yang begitu konsisten dalam sikap dan police yang arogan dan meremehkan kedaulatan semua negara meski berganti presiden dan pemerintahan? Mengherakan!

Meski Biden dan Trump sangat berbeda pandangan dan gaya secara kontradiktif dan keduanya terlibat dalam polemik sengit dan saling menjatuhkan usai pengumuman hasil pilpres, sikap dan cara AS menghadapi seluruh dunia, terutama terhadap Iran, tak berubah. Apakah demokrasi dan kekisruhan yang mengiringi persaingan politik partai Republik dan partai Demokrat hanyalah sandiwara? Apakah moralitas para pemimpin AS memang bobrok semua hingga menganggap penindasan, invasi dan intervensinya di seluruh dunia sebagai sikap wajar yang tidak bertentangan dengan etika kemanusiaan?

Ataukah memang AS tidak mengimani moralitas kemanusiaan sebagai standar nilai? Ataukah AS menggunakan standar selain etika dan moralitas? Mengapa mendukung rezim-rezim yang nyata tak demokrais seperti Arab Saudi dan negara-negara Arab di Teluk, dan pada saat yang sama mengganggu negara-negara yang demokratis dan mengintervensi sejumlah pemerintahan yang didukung rakyat seperti Iran, Suriah dan Venezuela? Sikap AS di bawah pemerintahan Bush terhadap Iran dan sejumlah negara di Timur Tengah terlihat sangat keras, sangat tidak manusiawi dan mengundang kekecewaan dunia. Mungkin karena itu, Obama mengambil langkah yang terlihat lebih lunak demi memperbauki citranya dengan menandatangani kesepakatan bersama 5 negara Eropa sekutunya dengan Iran terkait program nuklir Iran.

Penandatangan yang yang sempat menumbuhkan optimisme warga dunia karena dihasilkan dari perundingan alot lebih dari 3 tahun itu seolah tak pernah terjadi sama sekali saat Trump, pelanjut Obama, memutuskan secara sepihak keluar dari kesepakatan, bahkan menimpakan sanksi-sanksi tambahan atas Iran dengan serangkaian keputusan yang tak termaafkan, yaitu pembunuhan atas perwira unggulan, Hajj Qasem. Bagi Iran, terutama di mata Khamanei, pemimpin tertinggi, seluruh alasan untuk memposisikan AS, siapapun presidennya, sebagai maha musuh sudah lengkap. Karena itu Iran memilih risiko terisolasi di bumi ini ketimbang mempercayai dan duduk semeja dengan AS.Di sisi lain, kita juga patut mengakui fakta sebagian masyarakat AS berperilaku baik dan menjunjung tinggi moralitas yang selalu menentang sejumlah kebijakan luar negeri Pemerintahnya meski diskriminasi rasial dan kebencian terhadap minoritas etnik dan agama kerap terjadi.

Dengan kata lain, moralitas dalam negeri AS kadang terlihat kontras dengan sepak terjang para pemimpin yang dipilihnya. Ini terlihat seperti paradoks.Bagaimana menyelesaikan paradoks dan kontradiksi antara immoralitas Pemerintah AS dan moralitas sebagian rakyatnya?Apakah rakyat dan para pemimpin mereka, dari Demokrat dan Republik, memang seolah bersepakat menggunakan standar ganda dan berlainan moralitas sebagai sesama rakyat juga sesama manusia, dan immoralitas sebagai negara dan Pemerintah?

Bila melihat persoalan kontradiksi ini dengan standar moral kemanusiaan, apalagi moral ketuhanan, maka yang tentu yang muncul di benak adalah ambiguitas dan kompleksitas yang membingungkan bahkan mungkin menimbulkan kekaburan.Latar belakang di balik paradoks ini mungkin bisa dibongkar bila merujuk kepada sebuah aliran dalam filsafat, disebut realisme politik, yang dirintis oleh Niccolò Machiavelli, dan Thomas Hobbes dalam “realisme politik klasik” lalu dikembangkan oleh sejumlah filsuf politik dan politikus modern dalam “realisme politik liberal”.Realisme politik memberikan pengaruh mendalam terhadap politik internasional Amerika Serikat.

Dalam pandangannya realisnya, kepentingan dimaknai sebagai kekuasaan semata di berbagai bidang. Pada aspek pertahanan, Amerika Serikat membangun politik pertahanan yang ofensif, yaitu dengan menyerang ‘musuh’ ketimbang diserang. Dalam diplomasi luar negeri, hubungan politik yang menguntungkan adalah yang menempatkan posisi menguntungkan ada di sisi mereka. Termasuk diterimanya sistem demokrasi liberalnya dalam sistem politik suatu negara menjadi salah satu alasan Amerika Serikat memberikan ‘catatan positif’ bagi pemerintahan negara lain. Dalam pandangan realisme politik, tidak ada paradoks moralitas, sebab politik internasional tidak boleh didasari prinsip moral universal.

Moral politik Amerika Serikat bersifat ‘khas’, dan menjadi landasan kebijakan umum luar negeri meskipun pemerintahannya berganti. Sebagian besar kebijakan luar negerinya justru mendapatkan penolakan di dalam negeri, karena kecenderungan publik Amerika Serikat yang masih mengedepankan pandangan moral universal sebagai landasan politik luar negeri. Dengan demikian dapat dipahami mengapa sikap politik Amerika Serikat terhadap Iran tetap sama meskipun terjadi pergantian kekuasaan dengan latar belakang pantai politik yang memiliki landasan berbeda.

Sumber : Status Facebook Labib Muhsin

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed