Oleh : Ary Sudiargo
Kasus pembunuhan brigadir yoshua seharusnya membuat kita semua paham ada kemungkinan penyalahgunaan jabatan dalam tubuh polri.
Kita lihat di tiktok foto-foto almarhum yoshua sedang menyetrika baju seragam sekolah anak-anak atasannya. Dari rekaman cctv yang beredar luas di medsos, kita melihat polisi-polisi berpangkat rendah seperti yoshua, eliezer dll membawakan tas, menyetir mobil milik atasannya. Bahkan dari foto-foto di rumah milik tersangka sambo kita melihat ada 10 orang polisi muda menjadi ajudannya.
Pertanyaannya adalah apakah polisi-polisi muda berpangkat rendah itu dididik untuk menyetrika baju seragam anak-anak, membawakan tas dan menjadi sopir? Aku sudah baca kurikulum sekolah polisi negara untuk level bintara dan tamtama dan aku tidak menemukan adanya pelajaran menyetrika, menyetir dan membawakan belanja atasan sama sekali disitu.
Tersangka sambo punya 10 ajudan. Misalnya, setiap kapolda juga punya 10 ajudan seperti tersangka sambo, dan di indonesia ada 34 kapolda, maka mungkin ada 340 orang polisi yang jadi ajudan. Jika setiap kapolres punya taruhlah 5 ajudan dan di indonesia ada 455 polres, maka ada 2275 orang polisi yang jadi ajudan. Belum lagi polisi yang jadi ajudan perwira tinggi di markas besar polri.
Artinya ada ribuan polisi yang dididik untuk melakukan tugas kepolisian, digaji sesuai standar sebagai pegawai negeri sipil untuk menjadi polisi untuk melayani masyarakat dan menegakkan hukum dan diberi perlengkapan bertugas sebagai polisi bagi masyarakat tetapi diperbantukan untuk melakukan tugas apa saja untuk melayani secara pribadi atasannya. Artinya ada ribuan polisi yang sedang berada dalam usia paling produktifnya dilucuti kemampuannya sebagai polisi untuk menjalankan tugas-tugas melayani secara pribadi bagi atasannya dan keluarganya. Sama sekali tidak ada benarnya menggunakan polisi yang dididik di sekolah polisi negara untuk melayani kepentingan pribadi atasannya.
Jadi kasus pembunuhan brigadir yoshua ini seharusnya menjadi awal bagi masyarakat untuk menyadarkan lembaga kepolisian yang dihidupi oleh pajak seluruh rakyat indonesia bahwa polisi itu kerjanya ya menegakkan hukum di masyarakat, bukan menyetrika baju seragam atasannya atau membawakan koper istri jenderalnya. Itu penghinaan terhadap fungsi polisi namanya.
Kalau si jenderal mau pakai sopir ya silahkan merekrut sopir sendiri pakai uangnya sendiri, mosok punya lexus dan land cruiser tapi sopir masih minta digaji negara kan gak lucu. Kalau mau asisten pribadi untuk istri sah yang cantik menik menik atau istri hasil nikah siri ya silakan cari aspri sendiri seperti artis yang punya aspri belasan. Nikah siri saja mampu tapi aspri masih minta dikasih kantor, kan gak lucu: aslinya beneran kaya atau kere sih? Kalau untuk bantu-bantu administrasi bisa minta dibantu sama pbs di mabes yang jumlahnya banyak di mabes polri.
Jadi kalau ada polisi yang ngasih alasan kekurangan tenaga polisi untuk menghadapi demonstran atau untuk membasmi preman kriminal atau alasan apa gitu, mungkin sebabnya karena polri menggunakan ribuan anggota polisi untuk hal-hal yang tidak semestinya: melayani kepentingan pribadi para atasannya. Kalau ribuan polisi itu ditempatkan di polsek-polres mungkin ada ribuan kasus kriminal yang bisa diselesaikan dan ada masyarakat yang lebih terlindungi dan terlayani.
Sumber : Status Facebook Ary Sudiargo
Comment