by

Pandangan Buya Soal LGBT dan Pancasila

Oleh : Alim

Tahun 2018 DPR membahas soal LGBT dalam KUHP, Bambang Soesatyo sowan Buya di kediamannya. Dalam pertemuan itu Buya berpesan pada Bamsoet agar LGBT tidak dilegalkan karena berlawanan dengan jiwa Pancasila. Atas pesan itu Ketua DPR menyanggupi dengan mempertaruhkan jabatannya.

Fakta ini mungkin bertentangan dengan apa yang dibayangkan oleh sebagian orang bahwa Buya itu “liberal” dalam makna peyoratifnya termasuk menghalalkan hal² yang haram.

Di tahun yang sama ketika terjadi gempa Palu, pemimpin oposisi Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi, mengeluarkan statement bahwa gempa itu karena banyak LGBT di Palu.

Mendengar itu Buya merasa heran, statement semacam itu kok bisa²nya keluar dari seorang tokoh (yang tentu berpendidikan tinggi). Buya mengingatkan Zahid bahwa Indonesia terletak di dalam ring of fire, sebuah wilayah dengan gunung berapi aktif yang rawan gempa bumi.

Sikap Buya ini sesuai dengan konsepsi Fikih Kebencanaan Muhammadiyah. Memang benar bahwa ada ibrah dalam nash² Islam bahwa umat terdahulu dihukum Allah karena perilaku LGBT atau maksiyat lainnya. Tapi tidak serta merta mudah ditafsirkan dan digunakan secara terbalik bahwa setiap kejadian bencana/emergency merupakan tanda azab dari Allah. Persoalannya pendapat semacam ini bisa digunakan secara sewenang wenang oleh orang: kalau diri dan kelompoknya kena bencana ditafsirkan sebagai cobaan sementara kalau orang lain atau musuh yang kena tafsirnya adalah azab.

***

Yang menarik bagi saya, penolakan Buya atas LGBT dalam kerangka berbangsa-negara, momen ketemu Ketua DPR, menggunakan argumentasi Pancasila dan bukan pakai ayat² keagamaan. Bagi saya ini penting, bahwa ketika berinteraksi dengan sesama anak bangsa, apalagi yang berbeda, maka pakainya Pancasila sebagai kalimah sawa’ atau konsensus nasional yang kemudian diartikulasikan dalam bentuk hukum positif.

Kalau masing² golongan yang berbeda di bangsa ini lebih dominan menggunakan argumentasi dan bahasa masing², maka konflik horizontal sangat mudah terjadi. Itulah pentingnya konsensus nasional Pancasila. Mengambil istilah Kuntowijoyo (1943-2005), Pancasila merupakan obyektifikasi dari agama dan ajaran² luhur yang berbeda². Dengannya anak² bangsa Indonesia memiliki bahasa yang sama² dipahami dan disepakati.

Tentu penggunaan konsensus nasional ini tidak mudah. Kita punya pengalaman pemaksaan tafsir Pancasila oleh Orde Baru untuk kepentingan politiknya. Buya sering menyampaikan itu. Pun demikian, bukan berarti Pancasila tidak lagi berfungsi sebagai kalimah sawa’ hanya karena pernah terjadi abuse oleh ORBA.

Sumber : Status Facebook Alim

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed