Oleh: Pepih Nugraha
Sandiaga berpamitan kepada partai yang selama ini membesarkannya, Gerindra.
Secara politik, perpisahan itu berlaku untuk Prabowo Subianto, “soulmate”-nya di Pilpres 2019 lalu sebelum dikalahkan pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Dengan pamitnya Sandiaga, terbuka peluang mantan teman seiring menjadi lawan potensial pada Pilpres 2024 nanti.
Mengapa ini bisa terjadi? Tentu bisa, sebab pamitnya Sandiaga tidak dengan rencana hampa. Ranselnya penuh dengan bola kristal ajaib yang bisa diusap menjadi apa saja; menjadi cawapres di partai lain, bahkan menjadi capres sekalipun!
Bagi seorang pengusaha visioner semacam Sandiaga, ia melenggang tidak dengan tangan kosong, juga tidak dengan pencapaian stagnan. Di luar sana, bentangan tangan siap menyambut dan memeluknya, PPP.
Sandiaga menyatakan dirinya telah berpamitan kepada pimpinan Gerindra untuk keluar dari kepengurusan maupun keanggotaan partai setelah mempertimbangkan selama sebulan penuh di saat puasa ramadan. Ia juga telah menyampaikan permintaan maaf khusus kepada bosnya di partai, Prabowo Subianto.
“Tadi juga saya sempet ngobrol tertutup sama Bang Dasco, saya sampaikan beberapa pemikiran sekaligus juga kalau ada kesalahan selama ini, mohon pamit. Mudah-mudahan tentunya di momen Lebaran ini terus pererat silaturahim, berjuang bersama. Tadi juga sudah mohon pamit, mudah-mudahan di momen spesial ini, di hari kedua Lebaran,” kata Sandiaga rumah dinas Wakil Ketua DPR RI F-Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, Minggu 23 April 2023.
Pamitnya Sandiaga tentu dengan rencana. “Roadmap” politik Sandiaga jika hanya kembali menjadi cawapres, adalah stagnan dalam rumus bisnisnya. Tidak ada kemajuan. Setiap bisnis yang dikelolanya harus selalu “growth” dari tahun ke tahun. Itu rumusnya. Jika model pertumbuhan bisnis semacam itu yang akan digunakannya, maka capres adalah jawabannya.
Jabatan Sandiaga di Gerindra boleh dibilang sangat tinggi dan terhormat, yaitu Wakil Ketua Dewan Pembina, hanya satu tingkat di bawah Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Umum, Prabowo Subianto. Namun menteri pariwisata dan ekonomi kreatif di kabinet pimpinan Joko Widodo itu menyatakan “sayonara” kepada Gerindra yang pada Pilpres 2019 menjadikannya cawapres berpasangan dengan capres Prabowo Subianto. “The willing to power”-nya Sandiaga demikian nyata.
Embel-embel yang dilekatkan kepada namanya hingga kini adalah “mantan cawapres”. Besar kemungkinan ia ingin mendapat “nomenklatur” baru di tahun politik ini sebagai capres!
Kok bisa capres? Bukankah capres potensial “hanya” ada tiga yang selama ini merajai elektabilitas sejumlah lembaga sigi yaitu Prabowo, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan? Kok bisa Sandiaga menjadi “capres keempat” atau menjadi capres “kuda hitam”?
Mari kita lihat peta Pilpres 2024 yang mungkin terjadi senyampang dengan PDIP yang telah mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai capres dari PDIP!
Diumumkannya Ganjar Pranowo oleh Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum yang ditandai pengenaan kopiah hitam di kepala Ganjar pada 21 April 2023 lalu mau tidak mau mengubah peta koalisi itu sendiri, mengingat PDIP bisa jalan sendiri tanpa harus berkoalisi. Pengumuman Ganjar selaku bakal capres yang terkesan terburu-buru di saat umat Islam menghadapi Lebaran diduga karena PDIP tidak ingin menjadi “follower” di Koalisi Besar yang digagas Joko Widodo.
Adalah terlalu “merendahkan diri sendiri” bagi partai berkuasa jika harus meminta jatah capres di gabungan koalisi saat PDIP bisa mencalonkan capresnya sendiri. Maka keluarlah nama Ganjar yang kesannya “ketiban pulung”, mengingat selama ini Ganjar sendiri “dilepeh” bahkan “direndahkan” oleh sejumlah kader topnya sendiri.
Tidak kurang rivalitas di tubuh partai terjadi, termasuk dengan Puan Maharani yang sesungguhnya diproyeksikan sebagai capres yang dikehendaki. Tetapi apa daya nama Puan tidak cukup seksi di mata publik. Elektabilitasnya tak kunjung beringsut. Itulah sebabnya mengapa pengumuman Ganjar terkesan mendadak dan sebuatan “ketiban pulung” bagi Ganjar tidaklah berlebihan.
Bagaimana peta koalisi berubah setelah PDIP mengumumkan Ganjar sebagai capres?
Taruhlah PDIP berjalan sendiri tanpa koalisi, amunisinya sudah cukup memenuhi Presidential Threshold, yakni 128 kursi atau 22,26 persen. Koalisi yang telah terbentuk saat ini adalah Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya beranggotakan Gerindra dan PKB dengan 136 kursi (23,6 persen). Lalu Koalisi Perubahan beranggotakan Nasdem, PKS, Demokrat dengan 163 kursi (28,3 persen). Kemudian Koalisi Indonesia Bersatu beranggotakan Golkar, PAN, PPP dengan 148 kursi (24,7 persen).
PDIP dan dua koalisi telah memiliki capresnya masing-masingnya, yaitu PDIP Ganjar Pranowo, KKIR Prabowo dan Koalisi Perubahan Anies Baswedan. Tinggallah KIB yang belum memiliki capres.
Nah, dari peta Pilpres 2024 ini, mudah ditebak, Sandiaga akan menjadi “komoditas” tersendiri di tubuh KIB yang salah satu anggota koalisinya adalah PPP, perahu baru yang akan ditumpangi Sandiaga.
Dengan modal visi dan terutama “gizi” yang penuh, tidak sulit bagi KIB yang diisi partai-partai pragmatis akan mendorong Sandiaga selaku capres, yang penting mahar politiknya terpenuhi di antara Golkar, PAN dan PPP.
Jika “roadmap” politiknya cukup menjadi cawapres bagi Ganjar, sebagaimana yang “diamanatkan” Jokowi, tinggal gabung saja KIB dengan PDIP. Jalan inipun sangat terbuka lebar.
Kesimpulannya, tidak tertutup kemungkinan adanya empat pasang capres-cawapres pada Pilpres 2024 ini dengan Sandiaga yang disebut Jokowi sebagai satu dari 7 bakal cawapres pendamping Ganjar hadir sebagai “kuda hitam” yang muncul belakangan. Bukan dengan predikat cawapres, tetapi capres.
Tinggallah Presiden Jokowi yang harus memeras kepala mengingat baginya idealnya hanya ada dua pasangan capres-cawapres yang bertarung di Pilpres 2024, bukan tiga apalagi empat pasang. Tiga, apalagi empat pasang, hanya akan menguntungkan Anies Baswedan sebagai antitesanya.
Ruwet!
(Sumber: Facebook Pepih Nugraha)
Comment