by

NKRI sudah Khilafah

 

Di ruangan itu, rapat sudah selesai. Hal-hal yang menyangkut penanganan hukum atas HTI, sudah ketemu dan fix. Ada rasa getir di hati setiap kali menatap Indonesia. Tapi secara pribadi saya bersyukur karena lembaga Negara, aparat Pemerintahan maupun Hizbut Tahrir, faktanya “tidak kenal” saya. Jadi saya merdeka. Namun demikian saya tetap wajib “lapor” kepada diri saya sendiri:

Mohon izin saya bersangka baik bahwa NKRI ini sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan segala keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya, mulia hinanya serta indah joroknya. Termasuk niat suci atau kemunafikan pelakunya. Apakah khilafah NKRI sengaja atau tidak, sadar atau tidak, niat atau tidak, urusannya nanti dengan Maha-Owner kehidupan ini.

Karena saya tidak mau bikin perkara dengan Tuhan Yang Maha Esa, yang ‘policy’ utamanya dalam menciptakan manusia adalah “Inni Ja’ilun fil-ardli khalifah”: Sesungguhnya Aku menjadikan manusia sebagai Khalifah di bumi. Ada Hizbul-Wathon atau tidak, ada Hizbut-Tahrir atau tidak, pakai Hizib-Nashr atau tidak, takdir khilafah tidak bisa diurai dari wujud adanya manusia.

Ketentuan khilafah sama niscayanya dengan kelapa bukan semangka, kerbau tak bisa terbang, rambutnya Nabi Isa lurus halus, rambut Nabi Musa keriting, rambut Nabi Muhammad ikal. Saya tidak bisa tahu berapa tinggi badan Nabi Khidlir, apakah di perut Nabi Adam ada pusar-nya, beliau ketemu Ibunda Hawa di Kebumen atau Magetan — tetapi saya tidak punya secuilpun peluang untuk mengingkari khilafah.

Tetapi khilafah bukan Negeri Surga. Khilafah adalah tuntunan manajemen agar perjalanan sejarah kita memproduksi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Semoga pada suatu hari Allah mengizinkan keinginan saya menulis tentang Memahami Pancasila dengan Metoda Khilafah. Juga Memahami Khilafah lewat Pintu Pancasila.

La yukallifullahu nafsan illa wus’aha”, Allah tidak membebani manusia melebihi kadarnya. Khilafah adalah Allah mentransfer benih-benih, manusia menanamnya, memilih kondisi tanahnya, mencoba merawat sebisa-bisanya. Allah tidak menagih hamba-hambaNya berkebun dengan menghasilkan buah-buah surga. Bahkan hanya Allah yang sejatinya menerbitkan buahnya, manusia hanya menanam dan merawatnya.

Khilafah itu “kukuruyuk”, Anda boleh menamakannya “kukurunnuk”, berdasarkan wacana Kitab Suci atau sumber filosofi Anda. Kita tinggal cari komponen-komponen yang bisa dikerjasamakan, dirajut, di-tunggal-ika-i, disinergikan. Juga kita daftar ketidak-cocokan di antara kita, faktor-faktor inkompatibilitasnya, daya tolak air-minyaknya, ketidak-satu- gelombang-annya. Belajar terbuka dan jujur saja.

Daftar perbedaan itu kita sepakati jangan menjadi alat dan medan untuk kita berperang. Belajar menentukan kadar “puasa” dan tahan diri masing-masing, agar dicapai titik tengah dan keseimbangan. “Khoirul umuri ausathuha”, sebaik-baik perkara itu tengah-tengahnya. “Wassama`a rofa’aha wawadlo’al mizan”, Allah mengarsiteki bumi, langit mengatasinya, meletakkan keseimbangan pada keduanya.

Indonesia tidak didirikan oleh Nabi Adam dari Nol-Peradaban, sehingga semua benih Khilafah bisa dicocok-tanamkan secara murni dari awal persemaian. Di Kebun Nusantara sudah terlanjur banyak jenis pepohonan, rerumputan liar, alang-alang, dan benalu. Khilafah memerlukan kearifan manajemen, memahami batas pencapaian cocok-tanamnya, dan berendah-hati untuk menahan diri dari kemungkinan perusakan terhadap segala sesuatu yang sudah terlanjur tumbuh.

Allah juga memberi keringanan kepada kelemahan manusia. Ia tidak menuntut suatu desain besar Islamatau desain Islam besar, yang berlaku di setiap jengkal tanah di bumi. Apalagi sebagai wacana, evolusi sistem nilai Islam mencapai kesempurnaan “baru kemarin sore”, 14 abad silam, tatkala Ia menyatakan kepada Muhammad kekasih-Nya: “Hari ini telah kulengkapkan Agama-Ku untukmu, kusempurnakan nikmat-Ku kepada kalian, dan Kurelakan kelengkapan dan kesempurnaan itu” sebagai modal untuk membangun peradaban di sisa senja hari usia alam semesta.

Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke dalam Silmi secara kaffah”. Tuhan tidak memilih kosakata “Masuklah ke dalam Islam…”. Sudah di 3789 titik di seantero Nusantara selama 30-40 tahun ini saya “nekad” menanam dan menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam substansial”, “Islam esensial”, “Islam lokal-konstekstual” — di lapangan bawah masyarakat. Kabupaten ke bawah: kecamatan, desa, kampung, pesantren, padepokan, sanggar — berbagai “ruangan hati rakyat kecil”. Saya berpuasa dari Negara “besar”, politik “elite”, mowo-toto politik praktis, yang puncak pencapaiannya adalah jabatan, kekuasaan dan penguasaan.

Sinau Bareng” dengan anak-anak muda, Bapak Ibu Kakek Nenek dusun, Pak Kadus, Pak Lurah, Camat, Bupati, Kapolres, Dandim, Danramil, Kapolsek, para Sesepuh, lingkaran-lingkaran patriot-patriot bisu dan simpul-simpul nasionalisme yang tidak gegap gempita. “Indonesia Bagian Dari Desa Saya” buku 1979 kami jadikan landasan berpikir, bersikap dan mengkhalifahi keadaan-keadaan lokal. Kita mencintai dan mengabdi kepada Tuhan sehingga rajin merawat Tanah Air, menjunjung Ibu Pertiwi, menegakkan nasionalisme, berlatih menjadi Satriyo.

Tapi harus bikin pagar komplet agar Indonesia Besar jangan menjadi faktor destruktif bagi lokal Indonesia Kecil. Pagar jasmani rohani agar jangan terlalu mudah diracuni oleh “Indonesia Besar”, pemerintahan Jakarta, industrialisme global, kapitalisme maniak serta berbagai “hawa global”, jenis rabun jiwa dan katarak batin manusia lainnya.

72 tahun merdeka belum cukup untuk membangun Indonesia Besar yang tidak besar kepala di Jakarta. Yang bisa membedakan antara “otoritas” dengan “otoriter”. Antara “kewenangan” dengan “sewenang-wenang”. Yang tidak Adigang adigung adiguna kepada rakyatnya. Tidak memusuhi siapa saja yang seharusnya dirangkulnya. Tidak merasa pantas untuk sewenang- wenang. Tidak mengambil alih otoritas Tuhan. Tidak meminjam tangan Iblis. Tidak berkostum Malaikat. Atau perilaku apapun agar tercapai kepentingannya.

 

(Sumber: caknun.com)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed